RMOL. Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masih menjadi ancaman terbesar bangsa Indonesia. Aksi kekerasan dan penghilangan paksa hingga terorisme masih terus terjadi di sejumlah wilayah. Seolah negara tidak hadir saat pelanggaran HAM terjadi. Kondisi seperti itu harus disikapi secara tegas jika Indonesia masih mau dianggap sebagai sebuah bangsa yang bermartabat.
Pernyataan itu diutarakan aktivis 1998 yang kini mencalonkan diri menjadi anggota Komnas HAM periode 2012-2017, Dodi Ilham.
"Tindak terorisme terjadi berkali-kali telah menyentak kita. Namun, penanganan secara hukum masih bernuansa politis. Meski beberapa pelaku terorisme sudah menjalani proses hukum di pengadilan, tapi lebih banyak yang dieksekusi atas nama hukum tanpa proses pengadilan. Bahkan, hingga saat ini masih belum diketahui akar persoalan yang menyebabkan munculnya terorisme," ujar Dodi.
Di sisi lain, lanjut Dodi, ada bahaya yang jauh lebih besar yaitu lunturnya nasionalisme yang diakibatkan pergeseran budaya dan tsunami konsumerisme. Sebagai sebuah bangsa dalam tatanan dunia, sampai saat ini kebijakan luar negeri Indonesia masih menganut politik bebas aktif. Artinya, meski tetap berhubungan secara normatif dengan negara-negara dunia, namun Indonesia tetap harus menjaga kedaulatan nasionalnya.
"Peran strategis Indonesia sebagai pasar dunia tidak berarti serta merta mengikuti kemauan negara-negara industri. Kita membuka diri untuk perdagangan dalam tata ekonomi dunia baru. Namun posisi selaku tuan rumah harus benar-benar dicamkan oleh seluruh stakeholder bangsa. Suatu pasar yang ideal sepatutnya memberi maslahat bagi penjual, pembeli dan pasar itu sendiri,†ulas Dodi.
Dengan demikian, menurut Dodi, persoalan mendasar bangsa ini terletak pada aspek hukum dan HAM di dalam suatu aturan main yang semestinya lebih jelas. Aspek inilah yang membentangkan landasan bagi hidup dan tumbuhkembangnya suatu bangsa. Terutama dalam berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
"Komnas HAM kita terkesan mengambil posisi aman sehingga tidak greget. Bisa jadi, kecilnya alokasi anggaran salah satu penyebabnya," ujar Dodi.
Namun, Dodi berpendapat, peran kecil atau besar bergantung pada para pimpinannya. Komnas HAM membutuhkan personil yang berani mengambil keputusan dan berwawasan jauh serta siap mengambil risiko demi bangsa dan Tanah Air.
"Kita harus berkaca pada Reformasi 1998. Bukankah perubahan atas kebekuan politik selama 32 tahun rezim Orde Baru dipelopori dan dilakukan oleh mahasiswa yang notabene masih hijau dibanding para politisi, pakar, dan aktivis lain?" pungkas Dodi.
[ald]