Djoko Tjandra
Djoko Tjandra
RMOL. Kejaksaan belum bisa melaksanakan perintah Mahkamah Agung untuk mengeksekusi terpidana kasus cessie (hak tagih utang) Bank Bali Djoko S Tjandra alias Tjan Kok Hui. Aset buronan ini yang disita pun baru sebatas rumah di bilangan Simpruk Golf I, Permata Hijau, Jakarta Selatan.
Kepala Pusat Penerangan HuÂkum Kejaksaan Agung Noor RochÂmad menyatakan, Kejagung belum menerima salinan putusan peninjauan kembali (PK) dari Mahkamah Agung (MA) kasus Djoko Tjandra.
Karena hal ini, kejaksaan beÂlum bisa merinci lanÂgkah detil unÂtuk menyeret puÂlang Djoko dari Singapura. “Kami belum teÂrima salinan putusan PK dari MA. Belum ada itu,†katanya, JuÂmat sore (24/2).
Salinan putusan MA, lanjutÂnya, mutlak diperlukan untuk mengeksekusi terpidana maupun aset terpidana. Namun, dia tak bisa memastikan, kapan keÂjakÂsaÂan akan menerima salinan putuÂsan PK ke Kejagung. “Itu weweÂnang MA,†kata jaksa yang akan bertugas sebagai Kepala KejakÂsaan Tinggi Sumatera Utara ini.
Selaku pelaksana tugas ekseÂkusi aset Djoko, Kepala KejakÂsaÂan Negeri (Kajari) Jakarta SeÂlatan Mayhudi pun mengaku beÂlum bisa melaksanakan perintah terÂsebut. Senada dengan KÂaÂpusÂpenÂkum, dia mengatakan, piÂhakÂÂnya belum menerima temÂbuÂsan berupa salinan putusan PK dari MA.
Kepala Biro Hukum dan HuÂmas MA Ridwan Mansyur meÂnyataÂkan, MA tidak bisa begitu saja meÂngirim salinan putusan PK ke keÂjaksaan. Menurut dia, ketetapan isi putusan PK tersebut perlu dirangÂkum dan dibenahi. Setelah ada pembenahan, baru salinannya diÂkirim ke kejaksaan untuk ditinÂdaklanjuti dengan proses eksekusi serta ke tangan terpidana.
Sumber di lingkungan MA meÂngÂinformasikan, untuk meraÂpiÂkan salinan putusan PK, perlu waktu minimal satu bulan. “PaÂling cepat satu bulan setelah putuÂsan, salinannya akan dikirim. Tapi kami berusaha selesaikan ini secepatnya,†kata dia.
Sebelumnya, Ketua Tim PemÂburu Koruptor (TPK) Darmono mengatakan, pihaknya masih melacak jejak pelarian Djoko. IroÂnisnya, dia menyebut bahwa keÂberadaan buronan tersebut samÂpai kini belum diketahui.
WaÂkil Jaksa Agung ini pun meminta bantuan semua pihak yang meÂngetahui keberadaan Djoko agar berkoordinasi dengan kejaksaan. Saat ditanya mengenai eksekusi aset Djoko, dia juga belum mau mengomentari hal ini secara gamblang.
Menurutnya, kejaksaan telah menyiapkan rencana eksekusi pada 16 Juni 2009. Akan tetapi, pada 10 Juni 2009, yang berÂsangÂkutan sudah kabur dari Indonesia. Alhasil, eksekusi badan terhadap Djoko gagal dilakukan. Tim eksekutor yang terdiri dari jaksa Kejari Jaksel hanya menemukan rumah Djoko di bilangan Permata Hijau, Jaksel.
Sejak saat itu, Kejagung berÂkoordinasi dengan kepolisian inÂterÂnasional (Interpol) dan Ditjen Imigrasi. Pelacakan jejak Djoko diintensifkan dengan memÂaÂsukÂkan nama yang bersangkutan ke dalam daftar pencarian orang (DPO) Interpol.
Menanggapi perburuan Djoko, Kepala Bagian PeneÂraÂngan Umum Polri Kombes Boy Rafli Amar menyatakan, data Interpol seÂlama ini mengÂidenÂtiÂÂfikasi DjoÂÂko TjanÂdra berada di SiÂngaÂpura. “KeÂbeÂraÂdaannya diÂidenÂtifikasi Interpol di SingaÂpura. InÂformasi meÂÂngeÂnai hal ini seÂlalu diterima SekÂreÂtariat InÂterÂpol Polri,†katanya.
Hanya, selama ini kepolisian menemukan kendala dalam meÂngeksekusi Djoko. Kendala yang dimaksud antara lain, tidak adaÂnya perjanjian ekstradisi dengan Singapura serta belum tuntasnya perÂkara hukum yang melilit buÂronan tersebut. Bekas Kasat RanÂmor Polda Metro Jaya ini berÂhaÂrap, putusan PK MA, bisa dimanÂfaatkan Interpol memaksa buÂroÂnan itu pulang dari luar negeri.
Untuk eksekusi putusan PK MA terhadap bekas Gubernur Bank Indonesia (BI) Syahril Sabirin, Noor Rochmad juga beÂlum bisa memperkirakan langkah yang akan dilaksanakan kejakÂsaan. Pasalnya, Syahril seÂbelumÂnya sudah menjalani penahanan dan menyelesaikan kewajiban hukumnya. Kajari Jakarta Pusat Febrytrianto pun mengaku seÂnaÂda. Dia belum bersedia memberi keterangan rinci.
Persoalan eksekusi mencuat akibat MA menolak permohonan PK terpidana kasus BLBI terkait cessie Bank Bali, Djoko Tjandra dan Syahril SaÂbiÂrin. “MeÂnyaÂtaÂkan menolak permohonan PK terÂpidana Djoko S Tjandra dan meÂnyatakan putusan PK Nomor 12 PK/Pidsus/2009 tertanggal 12 Juni 2009 tetap dinyatakan berlaÂku,†ujar Ridwan Mansyur.
REKA ULANG
Dari Tingkat Pertama Hingga PK
Djoko S Tjandra adalah terpiÂdana kasus korupsi Bank Bali. Di pengadilan tingkat pertama, putuÂsan majelis hakim menyatakan Djoko lepas dari segala tuntutan hukum.
Majelis menilai, dakwaan jaksa terbukti, tetapi perbuatan Djoko bukan tindak pidana. SelanjutÂnya, jaksa kasasi dan putusan maÂjelis hakim agung kasasi diwarnai dissenting opinion yang meÂnyatakan Djoko dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum.
Di tingkat PK (pertama), perÂmoÂhonan PK jaksa dikabulkan. Djoko divonis dua taÂhun penÂjara dan diwajibkan memÂbaÂyar denda Rp 15 juta. Uang DJoko seÂbesar Rp 546 miÂliar di Bank Permata -dulu Bank Bali- pun diÂsita negara.
Sehari setelah puÂtusan PK itu, Djoko dinyatakan buÂron ke PaÂpua Nugini dan meÂlanjutkan peÂlarian ke Singapura. Dalam peÂlariannya ini, Djoko mengajukan PK melalui kuasa hukumnya OC Kaligis. Hingga kini, Djoko maÂsih dinyatakan buron.
Kasus ini bermula dari piutang Bank Bali di Bank Dagang NeÂgara Indonesia (BDNI) sebeÂsar Rp 598 miliar dan Bank Umum Nasional (BUN) Rp 200 miliar. Pada 11 Januari 1999, Bank Bali dan PT EGP (yang mengaku bisa menarik kembali dana tersebut) membuat perjanjian pengalihan hak tagih piutang (cessie).
Pada 3 Juni 1999, Badan PeÂnyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menginstruksikan transÂfer dana dari rekening Bank Bali di BI ke sejumlah rekening seÂniÂlai Rp 798 miliar. Rinciannya adaÂlah sebagai berikut, Rp 404 miÂliar ke rekening PT EGP di Bank Bali Tower, Rp 274 miliar ke rekening Djoko Tjandra di BNI Kuningan, dan Rp 120 miliar ke rekening PT EGP di BNI Kuningan
Setelah tagihan itu cair, PT EGP menyurati BPPN bahwa permintaan agar kewajiban BUN kepada Bank Bali£sebesar Rp 204 miliar dan bunga Rp 342 miÂliar (total Rp 546 miliar) dibaÂyarÂkan kepada PT EGP. Selanjutnya, uang Rp 546 miliar tersebut menÂjadi fee PT EGP yang berÂhasil mengalihkan piutang.
Namun karena kasusnya meÂnÂcuat dan Djoko Tjandra diadili, PT EGP menaruh duit tersebut di escrow account Bank Bali. SyahÂril juga ikut diadili dalam kasus tersebut karena dianggap terlibat dalam menyetujui pembayaran kepada PT EGP. Padahal, transfer dana ke rekening Bank Bali di BI tidak termasuk program penjaÂmiÂnan pemerintah. Ini mengaÂkiÂbatkan negara dirugikan hingga Rp 904,64 miliar.
Dari tiga terÂdakÂwa dalam kaÂsus ini, yakni Syahril, DjoÂko TjanÂdra dan PanÂde N Lubis (seÂlaku Wakil Ketua BPPN), hanya Pande yang awalÂnya teÂrÂbukti berÂsalah. Pande diÂganjar huÂkuman empat tahun penÂjara, plus denda Rp 30 juta subsider enam bulan kuÂrungan.
Tidak Boleh Lupa Tangkap Buron BLBI
Trimedya Pandjaitan Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Trimedya Pandjaitan meminta Jaksa Agung Basrief Arief tidak takut menghadapi Djoko SoeÂgiarÂto Tjandra. Selain menguÂpaÂyakan penangkapan, jaksa diminta gencar mengembalikan aset negara yang dikemplang koÂÂruptor dana Bantuan LikuiÂdiÂtas Bank Indonesia (BLBI) itu.
“Yang paling krusial dalam kasus ini adalah bagaimana jakÂsa mengupayakan peÂngemÂbaÂliÂan kerugian negaranya,†kata dia. NaÂmun, persoalan penangÂkapan buronan BLBI dalam kaÂsus Bank Bali itu juga tak boleh diÂlupakan. Hendaknya ada langÂkah sisteÂmatis kejaksaan dalam memuÂlangkan buronan ini. “JakÂsa Agung tidak boleh takut deÂngan Djoko S Tjandra,†tandasnya.
Dia menilai, belum disamÂpaiÂkanÂnya salinan putusan peninÂjauan kembali (PK) dari MA ke kejaksaan, tidak boleh jadi alasan jaksa tak menuntaskan masalah ini.
Trimedya pun mengingatkan, PK adalah proses hukum luar biasa. Semestinya, sebelum masuk tahap PK, jaksa sudah bisa bergerak mengeksekusi aset para koruptor.
Dengan kata lain, begitu perÂkara masuk tahap kasasi, keÂjakÂsaan sudah mengeksekusi aset mereka. Atau paling tidak, memÂÂbekukan dan memblokir aset orang-orang yang diduga bermasalah hukum. Dengan beÂgitu, para terdakwa tidak semÂpat lagi melarikan atau mengÂhiÂlangkan aset mereka. SeÂhingÂga, kendala kesulitan menyita aset tidak senantiasa meÂngÂganÂjal proses pengembalian keÂrugian negara.
Dia menambahkan, Djoko Tjandra lihai memanfaatkan celah hukum untuk meloloskan diri. Karena itu, penegak hukum tak boleh kalah melawan manuÂver koruptor ini. Dia mengÂingatÂkan, kelihaian Djoko terÂlihat dari keberhasilannya kabur ke luar negeri. Selain itu, setelah bertahun-tahun, jaksa dinilai nyaris tak bisa menyentuh aset-aset Djoko di luar harta berupa rumah di kawasan Permata HiÂjau, Jakarta Selatan.
Ketakberdayaan jaksa melaÂwan manuver buronan yang diÂduga sembunyi di Singapura ini, tambahnya, menjadi pekerjaan rumah besar bagi kejaksaan. Dia pun berjanji akan menagih janji Jaksa Agung membeÂresÂkan hal ini.
Perlu Kerja Sama Dengan Yang Lain
Fadli Nasution Ketua PMHI
Ketua Perhimpunan MagisÂter Hukum Indonesia (PMHI) Fadli Nasution menyatakan, kepiawaian Djoko S Tjandra memporak-porandakan hukum di Tanah Air jadi pelajaran bagi jajaran penegak hukum. Ia pun meminta semua pihak memberi penilaian proporsional dalam menanggapi persoalan ini.
Di satu sisi, menurut dia, keÂjakÂsaan mempunyai tangÂgungÂjawab terbesar dalam kasus Djoko Tjandra. Namun peranan institusi lain dalam menangani kasus ini juga tidak boleh diÂabaiÂkan. Menurutnya, Ditjen ImigÂrasi Kementerian Hukum dan HAM, Interpol, KemenÂteÂrian Luar Negeri dan KemenÂteÂrian Keuangan hendaknya beÂkerjaÂsama intensif dalam menguÂpaÂyakan pemulangan buronan ini.
“Tanpa sinergi dari seluruh elemen tersebut, saya yakin Djoko S Tjandra tidak akan bisa dibawa pulang ke Tanah Air,†katanya. Dengan kata lain, dia meÂngingatkan, persoalan meÂnyangkut buronnya Djoko, henÂdaknya tidak dibebankan pada kejaksaan saja. Seluruh jajaran yang kompten di bidang terseÂbut, semestinya bahu-membahu menuntaskan kasus ini.
Dia menyatakan, ketidakÂmamÂÂpuan Tim Pemburu KoÂrupÂtor saat ini, semestinya tak dijadikan sebagai alat menÂdiskreditkan kejaksaan. Justru sebaliknya, kinerja tim tersebut seharusnya didukung semua pihak. Apalagi sambungnya, tak sedikit koruptor di luar negeri mendapat perlindungan negara yang jadi lokasi persemÂbuÂnyianÂÂnya. Jadi, meski suÂdah ada putusan hukum mengikat, keÂjaksaan kerap gagal mengÂekÂseÂkusi badan koruptor.
“Tidak adanya perjanjian ekstradisi dengan negara lain membuat eksekusi badan koÂruptor di luar negeri menjadi sulit,†tuturnya.
Karena itu, dia meminta peÂmeÂÂrintah serius mengupÂaÂyaÂkan langkah hukum lain dalam meÂngatasi problem model deÂmiÂkian. Dengan kata lain, jaÂngan sampai perjanjian eksÂtradisi seÂnantiasa jadi alasan yang meÂngganjal perburuan koruptor. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12
Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30