Berita

ILUSTRASI

X-Files

Polri Lawan Gugatan Koalisi Antikorupsi Ayat Rokok

Kasus Hilangnya Ayat Tembakau Di UU Kesehatan
SELASA, 21 FEBRUARI 2012 | 09:49 WIB

RMOL. Mabes Polri bersikukuh melawan gugatan praperadilan Koalisi Antikorupsi Ayat Rokok (Kakar).

Kepolisian hari ini berencana mengajuan materi sanggahan atas gugatan penerbitan Surat Pe­rintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus dugaan hilangnya ayat rokok. Replik disampaikan me­nyusul penerbitan SP3 oleh Di­rektur I Pidana Umum Ba­reskrim Polri 12 Oktober 2011.

Diwakili kuasa hukum dari Divisi Pembinaan Hukum (Div-Binkum) Polri, Kombes Yusmar Latief, Polri meyakini, prosedur penerbitan SP3 sesuai aturan. Dia menyatakan, penghentian perkara merupakan kewenangan pe­nyi­dik.

Dia menilai, penyidik kasus ini menyimpulkan, tidak mene­mu­kan unsur pidana pada perkara peng­hilangan pasal tembakau. Karena itu, kepolisian me­mu­tus­kan untuk menghentikan perkara.

Kalaupun belakangan mencuat gugatan praperadilan, hal itu menjadi kewenangan penggugat. “Kami tetap akan mengajukan argumen,” katanya.

Ditanya seputar kesiapan ke­polisian menyanggah tuduhan Ka­kar, dia menyebut, pihaknya siap menyampaikan sanggahan di persidangan, Selasa (21/2). Na­mun dia menolak menyampaikan substansi sanggahan tersebut.    .

Seusai persidangan,  Yusmar me­nyatakan, Polri menolak selu­ruh dalil permohonan praper­adil­an. Sebab, proses SP3 ditetapkan se­telah ada rangkaian pe­nye­li­dikan. Penyidik yang memberkas per­kara kasus ini sudah  meng­ana­lisa dan menghubungkan se­mua alat bukti dan saksi yang ada.

Hasilnya, seluruh hasil  pe­nye­lidikan sama sekali tak mem­punyai nilaipembuktian. Ke­te­rangan saksi yang satu dengan lain­nya berbeda-beda, sehingga kepolisian sulit menarik kesim­pulan bahwa tindakan para ter­sang­ka masuk kategori tindak pidana. “Atas hal itu, SP3 ke­luar,” ucapnya.

Dalih kepolisian itu, tam­paknya tak membuat Kakar puas. Mereka tetap menilai, penerbitan SP3 dilatari ketakprofesionalan penyidik.

Karena itu, pada sidang ke­marin, kuasa hukum Kakar yang diwakili Ki Agus Achmad me­minta hakim memerintahkan, Polri melanjutkan penyidikan. “Bahwa termohon belum mak­simal menyidik per­kara,” tegasnya.

Di luar itu, Kakar memohon ha­kim memerintahkan polisi se­gera melimpahkan perkara ini ke kejaksaan. Dalam argumennya, dia menilai, pengembalian Ayat (2) Pasal 113 Undang-Undang Ke­sehatan juga tidak bisa lang­sung menggugurkan hak untuk me­nuntut pelaku. Oknum-oknum yang diduga sengaja meng­hilangkan pasal tersebut, tegas dia, harus tetap diproses dengan Pasal 266 KUHP.

Lebih jauh, ia mengaku siap menghadapi pembelaan Polri. Dia menyatakan, apapun materi pembelaan yang disampaikan ke­polisian merupakan hak tergugat. Yang paling penting, gugatan Kakar sudah masuk proses hu­kum.

Menurutnya, apapun putusan pengadilan nanti diharapkan se­suai keinginan Kakar. Dengan be­gitu, diharapkan, oknum-ok­num anggota DPR tidak main-main saat menggodok produk undang-undang. Dan, lanjutnya, penegak hukum semestinya tidak ragu mengambil tindakan hukum pada anggota DPR.

“Pada prinsipnya, semua warga negara mempunyai ke­dudukan yang sama dalam hu­kum,” tu­turnya.

Jika preseden seperti ini di­biar­kan, bukan tak mungkin, peng­hilangan pasal akan terjadi pada proses perancangan produk un­dang-undang lainnya. Dia pun meminta semua pihak senantiasa mengawasi proses perancangan undang-undang di DPR.

Dia berharap, hakim cermat dalam menimbang materi gu­gat­an. dalam gugatan ini, Kakar menyertakan dokumen berupa memo kepada sekretariat DPR yang diparaf tiga oknum DPR se­bagai terlapor. “Memo yang di­paraf para terlapor berisi agar Pa­sal 113 Ayat 2 Undang Undang No­mor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dihilangkan.”

Kakar juga menyertakan bukti lain berupa Surat Permohonan Nomor: 307/A-83/ XI/2009, tang­gal 29 September 2009. Surat itu berisi permohonan agar Ayat 2 UU Nomor 36 Tahun 2009 ten­tang Kesehatan dihilangkan. Se­mestinya, dokumen-dokumen itu dijadikan petunjuk kepolisian da­lam menyidik perkara.

REKA ULANG

Raibnya Tembakau Sebagai Zat Yang Merugikan

Ketua Koalisi Antikorupsi Ayat Rokok (KAKAR) Hakim So­rimuda Pohan melaporkan tiga anggota DPR ke Mabes Polri, Maret 2010.

Tiga anggota DPR yang dila­porkan adalah Ribka Tjiptaning, Aisyah Salekan, dan Mariani A Ba­ramuli. Namun, setelah me­la­kukan pemeriksaan atas barang bukti dan sembilan saksi, Mabes Polri menge­luarkan SP3 pada 15 Oktober 2010.

Polisi beralasan, perkara yang dilaporkan bukan merupakan tindak pidana.  Hal ini memicu penilaian KAKAR bahwa polisi ter­kesan buru-buru menge­luar­kan SP3. Penerbitan SP3 dila­ku­kan tanpa memeriksa Ribka Tjip­taning yang ketika itu sudah dite­tapkan sebagai tersangka.

Kasus ini bermula dari Un­dang-Undang Kesehatan yang sudah disahkan paripurna DPR ternyata berbeda dengan Undang-Undang Kesehatan yang dikirim ke Sekretariat Negara (Setneg) untuk disahkan Presiden.

Perbedaan terdapat pada Pasal 113. Yang disahkan DPR terdiri dari tiga ayat, tapi yang dikirim ke Presiden hanya berisi dua ayat. Mabes Polri mengeluarkan SP3 pada Oktober 2010, namun baru memberitahu pihak KAKAR se­bagai pelapor hampir setahun ke­mudian, atau September 2011.

Dasar yang digunakan KA­KAR untuk mengajukan gugatan, yang pertama adalah alasan polisi yang menyatakan bahwa peng­hi­langan ayat 2 Pasal 113 UU Ke­sehatan bukanlah sebuah tindak pidana. Padahal, menurut So­ri­muda, polisi sudah menetapkan Ribka sebagai tersangka, yang berarti ada indikasi tindak pidana.

Ayat 2 Pasal 113 UU Kese­hat­an yang berbunyi “zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau pa­dat, cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya da­pat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan atau masyarakat seke­lilingnya” diketahui hilang pada 2 Oktober 2009.

Hal ini diketahui setelah So­ri­muda, bekas Kepala Sekretariat Komisi IX waktu itu mendapati per­bedaan jumlah ayat dalam Pasal 113 Undang Undang

Kesehatan antara yang ter­can­tum di dalam lembaran negara, dengan jumlah yang telah dise­pakati dalam rapat paripurna.

Sirra Prayuna, kuasa hukum Ribka Tjiptaning, mengatakan, pe­netapan kliennya sebagai ter­sangka kasus penghilangan ayat 2 Pasal 113 UU Kesehatan pre­ma­tur dan berkesan character as­sa­sination. “Kami akan menuntut balik,” katanya, seusai men­da­ta­ngi Bareskrim Polri, September 2010.

Sirra juga menyayangkan Mabes Polri yang menulis para ter­sangka terhadap Ribka Tjib­taning, Maryani A Baramuli, Ai­syah Salekan. Padahal, ketiganya ta­k pernah dimintai keterangan da­lam kapasitas apapun. Kenapa dalam Surat Pemberitahuan Per­kembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) ditulis sebagai para tersangka. Hal tersebut menjadi bahan pertanyaan. “Apakah ada kelalaian atau ketidaksengajaan saja,” katanya.

Sedangkan Ribka mengatakan, yang menyebutkan dirinya se­ba­gai tersangka melakukan pen­ce­mar­an nama baik. “Ada pem­bu­nuh­an karakter dan pasti ada dam­­pak kepada saya,” kata po­litisi PDIP ini.

Maryani A Baramuli me­nga­ta­kan, dirinya tidak bisa menerima disebut sebagai tersangka. “Saya akan menuntut balik kepada orang-orang yang menyatakan sa­ya sebagai tersangka. Saya tidak pernah menjual harga diri dan nama baik saya,” ucapnya.

Ingatkan Hakim Praperadilan Agar Independen

Marthin Hutabarat, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Marthin Hutabarat meng­ingat­kan hakim tunggal yang me­na­ngani gugatan praperadilan tidak mudah diintervensi pihak lain. Independensi hakim, ka­ta­nya, sangat diperlukan dalam memutus sengketa ini.

Dia menegaskan, gugatan pra­peradilan merupakan lang­kah konkret dalam upaya men­cari keadilan. Praperadilan bisa menjadi momentum untuk me­nguji kepastian hukum yang di­ambil institusi penegak hukum. “Praperadilan adalah salah satu alat untuk mencari keadilan se­cara absolut,” kata anggota DPR dari Partai Gerindra ini, ke­marin.

Proses praperadilan ini hen­dak­nya menjadi masukan bagi siapa pun yang tidak puas atas putusan penegak hukum. Lang­kah praperadilan dikategorikan sebagai upaya pembelajaran positif dalam proses hukum di Tanah Air. Ketimbang me­nem­puh jalan yang bisa menim­bul­kan tindakan anarkis, pra­per­adilan adalah langkah hukum yang paling elegan.

Lepas dari siapa yang benar atau salah, menang atau kalah, praperadilan menjadi ajang pembuktian yang paling efektif. Munculnya rentetan gugatan pra­peradilan belakangan, nilai­nya, menunjukkan bahwa kesa­daran hukum masyarakat ber­kem­bang ke arah yang lebih baik.

Dia berharap, momen ini juga menjadi semacam peringatan bagi penegak hukum dalam menentukan proses hukum. Ber­k­aca dari kasus dugaan ko­rup­si ayat tembakau ini, dia juga mengingatkan koleganya se­sa­ma anggota DPR agar ber­hati-hati saat membahas per­undang-un­dangan.

Sarankan Polisi Gelar Perkar Sebelum SP3

Neta S Pane, Koordinator LSM IPW

Ketua Presidium LSM Indo­ne­sia Police Watch (IPW) Neta S Pane meminta kepolisian le­bih cermat menangani perkara. Penghentian perkara atau po­puler disebut SP3, hendaknya di­putus setelah semua pihak terlibat gelar perkara. “SP3 se­mes­­tinya diambil setelah gelar perkara,” katanya.

Dalam gelar perkara, paling tidak unsur-unsur pelapor, ter­lapor, barang bukti dan ter­sangka idealnya dihadirkan. Jadi, lanjutnya, jika penyidik me­nyimpulkan laporan tidak bisa diklasifikasi masuk tindak pidana, tidak ada pihak yang kecewa. “Di sini, substansi per­soalan  yang memicu timbulnya gu­gatan praperadilan adalah ke­tidaktransparanan penyidik,” ujarnya.

Akibat ketidakterbukaan dan penanganan perkara yang ter­tutup, kemungkinan akan ba­nyak pihak merasa tidak puas ter­hadap penegak hukum.

Tertutupnya penangan kasus, membuat peluang main mata antara pihak tertentu dengan pe­negak hukum menjadi ter­buka. Karena ketidak­percayaan ini­lah, ruang gugatan praperadilan ter­b­uka. “Momentum praper­adil­an ini menjadi pintu masuk untuk menggugat penyidik,” ujarnya.

Akan tetapi, lanjutnya, ke­sem­patan mem­praper­adilan­kan pe­negak hukum juga tak di­manfaatkan serampangan. Ha­rus ada pertimbangan dan lo­gika hukum yang benar-benar ma­tang. Sehingga, proses gu­gatan praperadilan menjadi benar-benar berkualitas.  

Dia berharap, dari persi­dang­an praperadilan ini, dasar ke­po­lisian mengeluarkan SP3 atas ka­sus yang sebelumnya telah ada penetapan tersangka dari oknum anggota DPR, terungkap gam­blang. “Kita ingin ini bisa tuntas. Jangan sampai ke­po­lisian diintervensi pihak luar,” ucapnya.  [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Bank Mandiri Berikan Relaksasi Kredit Nasabah Terdampak Bencana Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12

UMP Jakarta 2026 Naik Jadi Rp5,72 Juta, Begini Respon Pengusaha

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05

Pemerintah Imbau Warga Pantau Peringatan BMKG Selama Nataru

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56

PMI Jaksel Salurkan Bantuan untuk Korban Bencana di Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54

Trump Selipkan Sindiran untuk Oposisi dalam Pesan Natal

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48

Pemerintah Kejar Pembangunan Huntara dan Huntap bagi Korban Bencana di Aceh

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15

Akhir Pelarian Tigran Denre, Suami Selebgram Donna Fabiola yang Terjerat Kasus Narkoba

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00

Puan Serukan Natal dan Tahun Baru Penuh Empati bagi Korban Bencana

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49

Emas Antam Naik, Buyback Nyaris Tembus Rp2,5 Juta per Gram

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35

Sekolah di Sumut dan Sumbar Pulih 90 Persen, Aceh Menyusul

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30

Selengkapnya