Berita

ilustrasi

On The Spot

Nggak Ngaruh, Penumpang Tetap Naik Ke Atap Kereta

Pintu Koboi Penghalau Dipasang
SABTU, 11 FEBRUARI 2012 | 10:11 WIB

RMOL. Kereta ekonomi jurusan Bogor memasuki Stasiun Duren Tiga, Kalibata, sore kemarin. Gerbongnya penuh penumpang. Puluhan orang memilih naik ke atap gerbong.

Melihat hal ini, petugas sta­siun lewat pengeras suara me­nyerukan agar penumpang yang berada di atap untuk turun. Hing­ga masinis membunyikan klak­son panjang tanpa kereta hendak berangkat penumpang di atap tak beranjak.

Dua petugas keamanan sta­siun terlihat tak berupaya me­min­ta penumpang di atap untuk turun. Perhatian mereka tertuju kepada penumpang di peron. Kedua pe­tugas mencegah penumpang me­lintas di rel karena kereta hendak berangkat.

Kereta pun melaju pelan me­ning­galkan stasiun. Sekitar 100 meter dari Stasiun Duren Tiga, para penumpang yang naik di atap pindah ke bagian tengah. Ada yang merebahkan badan, lain­nya hanya cukup menun­duk­kan kepala.

Tak lama kereta melalui palang pintu. Perubahan posisi penum­pang yang berada di atap rupanya untuk menghindari palang yang kerap disebut pintu koboi itu.

Untuk diketahui, pada Kamis malam (9/2) pintu koboi mulai dipasang di rute Jakarta-Bogor. Pintu penghalau penumpang di atas gerbong ini melengkapi pintu penampar yang sudah dipasang Juni tahun lalu.

Bedanya, pintu koboi ini ter­buat dari besi. Tidak elastis se­perti palang penampar ketika me­ngenai penumpang yang naik ke atap kereta.

Salah satu lokasi yang dipa­sang pintu koboi yakni di antara Stasiun Duren Tiga, Kalibata dan Stasiun Pasar Minggu Baru.

Tempat pemasangan pintu koboi ini pun persis bersebelahan dengan palang penampar yang sudah dipasang lebih dulu.

Jarak antara palang penampar dengan pintu koboi tak lebih dari setengah meter. Kedua palang ini hanya terpisah bagian tengah ke­reta yang berfungsi men­g­hu­bung­kan listrik dari kabel ke kereta.

Ketinggian pintu koboi dengan palang penampar dari gerbong ke­reta dibuat sama. Pintu koboi ini terbuat dari fiber glass dengan ketebalan 1 cm. Memiliki sekitar 2 meter yang dipasang dari tiang di pinggir rel. Karena bahannya dari fiber, pintu ini tak meleng­kung ketika membentur orang yang duduk di atap.

Sama seperti palang penampar, pintu koboi ini hanya dipasang pada lintasan yang menuju ke arah Stasiun Bogor saja. Pada lin­tasan yang menuju arah Jakarta dari Stasiun Pasar Minggu Baru sa­ma sekali tidak terlihat ada pa­lang untuk menghalau penumpang.

Pemantauan Rakyat Merdeka, pa­lang baru ini tak menarik per­hatian bagi masyarakat. Berbeda ketika pemasangan bandul-ban­dul beton di rute Bekasi-Cikam­pek. Pemasangan alat penghalau penumpang yang naik di atap ini menjadi tontotan warga.

“Ah biasa saja. Kirain pintu koboi itu seperti apa, ternyata sama saja seperti yang lalu. Kalau modelnya begini, mana mungkin bisa atasin penumpang untuk ti­dak naik ke atap,” kata Jay, tu­kang ojek yang mangkal persis di samping tiang tempat palang itu dipasang.

Kata dia, walaupun sudah ada palang masih banyak penumpang yang naik ke atap. Bahkan ada beberapa bocah yang mengang­gap palang itu seperti mainan.

“Anak-anak kecil itu sengaja berdiri di atas kereta, kalau sudah dekat, langsung tiduran. Dan ka­lau sudah bisa lewat, nanti me­reka teriak-teriak,” katanya.

Doni yang ditemui di Stasiun Duren Tiga pesimistis kalau pintu koboi ini bisa menghalau pe­num­pang yang duduk di atap. Ia me­lihat masih banyak penumpang yang naik ke atap di Stasiun Ci­lebut saat hendak berangkat kerja, pagi kemarin.

“PT KAI mau bikin apa pun se­lama jumlah kereta tidak se­ban­ding dengan jumlah penumpang, saya yakin para atapers saya akan se­lalu ada,” katanya. Atapers ada­lah sebutan untuk menumpang yang naik ke atap gerbong.

Pria berkulit sawo matang ini berpendapat, rute antara Jakarta menuju Bogor dan sebaliknya bukanlah jarak yang pendek. Ada banyak stasiun yang harus dile­wati sebelum kereta sampai pada pemberhentian terakhir.

“Jakarta-Bekasi yang jumlah stasiunnya tidak terlalu banyak, para penumpang sering menge­luh karena kepenuhan. Apalagi Jakarta-Bogor yang setiap stasiun tidak pernah sepi oleh pe­num­pangnya,” ujarnya.

Bahkan setelah ditambahkan commuter line atau KRL Eko­nomi AC yang harga karcisnya le­bih mahal dibanding KRL Eko­nomi, penumpukan penumpang masih saja terjadi.

“Lihat saja, commuter line tidak jauh beda padatnya dengan KRL Ekonomi. Bedanya, kalau commuter line tidak ada penum­pang yang naik di atap,” kata pria yang mengaku bekerja di daerah Kalibata, Jakarta Selatan ini.

Pria yang mengenakan jaket dan celana hitam ini me­ngung­kapkan, ada beberapa titik yang biasa menjadi tempat awal pe­num­pang naik ke atap. Di rute Bogor-Jakarta, atapers mulai naik se­jak di Stasiun Citayem. Jum­lah­nya terus bertambah setiap kali berhenti di stasiun.

Untuk rute Jakarta-Bogor, ata­pers mulai terlihat sejak di Sta­siun Manggarai. Jumlah pe­num­pang yang naik ke atap makin banyak saat kereta melalui Sta­siun Tebet dan Pasar Minggu.

“Tapi karena jarak tempuhnya panjang, hampir setiap stasiun ke arah Bogor penumpang yang ingin naik selalu bertambah, se­mentara yang turun sangat sed­i­kit. Tentunya kereta yang tambah penuh akan semakin sesak atas bawah,” tuturnya.

Jangan Perlakukan Atapers Seperti Musuh Dan Buruan

Kalangan DPR menilai lang­kah yang diambil PT KAI untuk mengatasi penumpang yang kerap naik di atap kereta bukan­lah kebijakan yang cerdas dan bisa menyelesaikan masalah. Justru bisa menimbulkan per­masalahan baru.

Anggota Komisi V DPR A Bak­ri menilai, hampir setiap kebijakan yang diambil PT KAI tidak pernah berjalan mulus. Padahal selama ini, PT KAI sudah melakukan be­r­bagai cara untuk menghalau pe­numpang di atas kereta. Tapi tetap saja ada penumpang yang naik ke atap gerbong.

“Kami di Komisi V DPR se­laku mitra kerja dari PT KAI terus berulang-ulang mengingatkan agar mereka bisa berpikir cerdas. Cari solusi yang benar-benar bisa sampai ke akar-karnya, bukan sampai di bagian batang saja,” kata politisi PAN itu.

Menurut Bakri, salah satu akar penyebab masih banyaknya pe­num­pang yang naik di atap kereta yakni keterbatasan jumlah ger­bong dan rangkaian kereta. Se­men­tara jumlah penumpang ke­reta yang menuju Bogor-Jakarta dan sebaliknya, semakin banyak.

“Ini artinya, jumlah penum­pang sudah over load dari kuota yang selama ini disediakan PT KAI untuk mengangkut para pe­numpang. Selama keterbatasan kuota itu tidak dipenuhi, sampai ka­pan pun kebijakan yang di­am­bil tidak akan efektif,” ujarnya.

Apalagi, hingga saat ini, ang­ku­tan kereta masih menjadi pri­madona, khususnya bagi pe­num­pang yang tinggal di daerah pinggiran Jakarta maupun Bogor. Selain harga tiketnya yang mu­rah, naik kereta juga tak akan ter­kena macet seperti yang dialami armada darat lainnya di Jakarta.

“Penumpang yang naik ke atap itu bukanlah musuh bagi PT KAI. Justru mereka akan menjadi ba­ro­meter bagi PT KAI untuk bisa menjadi angkutan massal yang benar-benar nyaman dan sesuai dengan kehendak masyarakat,” tutur Bakri.

Namun yang terjadi, lanjut Bakri, justru PT KAI cenderung menempatkan para penumpang di atas kereta sebagai binatang buruan. Hal ini bisa dilihat de­ngan berbagai kebijakan yang diambil cenderung melecehkan martabat manusia.

“Misalnya pintu koboi dan bandul beton, menurut saya itu sungguh sangat memprihatinkan. Seolah-olah mereka yang ada di atas kereta itu merupakan benda mati yang bila terkena tidak akan ada efek apa pun bagi mereka,” jelasnya.

Menurut Bakri, sehebat apa pun PT KAI mencari cara meng­halau penumpang di atap kereta bila akar permasalahan tidak di­atasi, tidak akan berhasil. Pe­num­pang akan terus mencari cara un­tuk naik ke atap agar tak ber­de­sak-desakan di dalam gerbong.

“Kalau ini dibiarkan terus-me­nerus dan tidak berhasil. Ja­ngan-jangan nanti PT KAI akan ambil kebijakan dengan memberikan aliran setrum di atap kereta biar tidak ada lagi yang naik,” ujarnya sambil tertawa.

Lebih Panjang, Lebih Rendah

Berbagai cara dilakukan PT Kereta Api Indonesia untuk menghalau atapers (penumpang yang naik di atap kereta). Mulai dari cat penyemprot, palang penampar, marawis dan ustad, bandul beton sampai ke pintu koboi. Tapi atapers, masih saja nekad untuk naik ke atap kereta, terutama di rute Jakarta-Bogor.

Di Stasiun Kalibata arah Bogor, tempat dimana pintu koboi dipasang, atapers yang masih naik di atas kereta masih sangat banyak. Apalagi pada jam-jam kerja dan pulang kantor, pemandangan tentang banyaknya atapers di atas kereta, masih saja terjadi.

Apa tanggapan PT KAI? Security Manager Daops I PT KAI, Akhmad Sujadi justru yakin kalau upaya ini cukup efektif menghalau penumpang yang naik ke atap. Ia meng­klaim setelah dipasang pintu koboi penumpang yang biasa­nya naik di atas atap kereta ber­kurang sekitar 50 persen sejak pagi kemarin.

 â€œHal ini merupakan pertanda baik mengingat perlahan pe­numpang dapat ditertibkan. Kalau yang dulu itu kan bahan­nya dari fiber. Sekarang ditam­bah dengan besi, jadi akan lebih kuat,” ujarnya.

Apalagi untuk pemasangan pintu koboi kali ini, sambung Sujadi, pihaknya tidak hanya menambahkan bahan be­re­le­men besi, tetapi juga mem­per­panjang palang penampar ter­sebut. Kalau sebelumnya pan­jang palang hanya 70 sentimeter dan sisi luarnya sepanjang 165 sentimeter.

“Untuk pemasangan kali ini, panjangnya jadi 165 sentimeter dan sisi luarnya 240 sentimeter. Jadi sangat sedikit ruang gerak bagi atapers berada di atas ke­reta,” tegasnya.

Melihat efek positif dari pintu ko­boi ini, pihaknya akan mela­ku­­kan pengecekan di beberapa lokasi dan memasang pintu ko­boi yang baru di daerah Stasiun Citayam, Bojong Gede, dan Ci­lebut. Namun, ukurannya akan lebih rendah dari yang saat ini se­hingga akan lebih menyu­lit­kan para penumpang di atap kereta.

“Jadi secara keseluruhan, un­tuk fisik palang penampar itu po­sisinya masih bisa kami ren­dahkan,” tandasnya.

Sementara itu, Manajer Hu­mas PT KAI Daops I Mateta Ri­jalulhaq berkilah kalau pi­hak­nya tidak mungkin sekaligus menghilangkan para atapers dari kebiasaannya naik ke atap kereta. Apalagi, pemasangan pintu koboi atau palang besi baru dilakukan.

“Tidak mungkin sekaligus hilang. Tapi, kita berharap cara baru ini bisa menyadarkan me­reka dan mencegah mereka me­lakukan tindakan berbahaya,” kata Mateta.

Di Stasiun Kalibata, Jumat sore (10/2) puluhan bahkan ratu­san penumpang KRL dari arah Jakarta menuju Bogor, masih memilih duduk di atap kereta.

Saat tiba di lokasi pintu ko­boi, mereka merebahkan tubuh­nya untuk menghindari han­ta­man palang besi. Karena me­ra­sa masih bisa menghindar dari pintu koboi yang dipasang PT KAI, tak heran kalau atapers masih tetap nekat naik ke atas kereta.

Gerbong Ditambah, Peron Diperpanjang

PT KAI berencana mening­ka­t­kan kapasitas daya angkut ke­reta. BUMN itu akan menam­bah 1.000 unit kereta rel listrik lagi, dari 500 unit yang ada saat ini.

Selain itu PT Kereta Api In­do­nesia (KAI) sudah berko­mit­men untuk membangun lima stasiun baru di Jabodetabek dan merevitalisasi enam stasiun, termasuk Manggarai dan Ja­tinegara.

KAI juga akan menambah rangkaian KRL dari 8 gerbong per rangkaian menjadi 10 ger­bong per rangkaian. “Untuk me­nampung perpanjangan rang­kaian, kami akan mem­per­panjang peron di 50 stasiun,” tutur Direktur Utama PT KAI Ignatius Jonan.

Pemerintah menargetkan ke­reta api commuter loopline ini meningkat headway atau jeda antara keberangkatannya mak­simal 8 menit. Dengan begitu, setiap hari bisa mencapai 531 perjalanan dengan kapasitas 155 ribu penumpang.

Untuk meningkatkan fre­kuensi kereta api, Wapres Boe­diono meminta Kementerian Pekerjaan Umum berkoordinasi dengan Pemprov DKI Jakarta dalam mempercepat dan me­nambah pembangunan per­lin­tasan kereta api tidak sebidang.

“Menteri PU saya minta me­mimpin koordinasi dan me­ng­inventarisasi perlintasan-per­lintasan yang bisa segera di­ba­ngun,” tutur Wapres.

Perlintasan tak sebidang ini bisa diatasi dengan dengan membangun jembatan layang di atas rel (fly over) atau tero­wongan (underpass). Fasilitas ini akan meningkatan frekuensi kereta api tanpa menambah kemacetan baru di pintu-pintu lintasan kereta api dengan jalan raya. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Warganet Beberkan Kejanggalan Kampus Raffi Ahmad Peroleh Gelar Doktor Kehormatan

Senin, 30 September 2024 | 05:26

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

PDIP Bisa Dapat 3 Menteri tapi Terhalang Chemistry Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53

Bakamla Jangan Lagi Gunakan Identitas Coast Guard

Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46

Prabowo Sudah Kalkulasi Chemistry PDIP dengan Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35

UPDATE

Penyelundupan BBL Senilai Rp13,2 Miliar Berhasil Digagalkan di Batam

Jumat, 11 Oktober 2024 | 03:39

Perkuat Konektivitas, Telkom Luncurkan Layanan WMS x IoT

Jumat, 11 Oktober 2024 | 03:13

Pesan SBY ke Bekas Pembantunya: Letakkan Negara di Atas Partai

Jumat, 11 Oktober 2024 | 02:49

Wasit Ahmed Al Kaf Langsung Jadi Bulan-bulanan Netizen Indonesia

Jumat, 11 Oktober 2024 | 02:21

Fraksi PKS Desak Pemerintah Berantas Pembeking dan Jaringan Judol

Jumat, 11 Oktober 2024 | 02:00

Jenderal Maruli Jamin Pelantikan Prabowo-Gibran Tak Ada Gangguan

Jumat, 11 Oktober 2024 | 01:47

Telkom Kembali Masuk Forbes World’s Best Employers

Jumat, 11 Oktober 2024 | 01:30

Indonesia Vs Bahrain Imbang 2-2, Kepemimpinan Wasit Menuai Kontroversi

Jumat, 11 Oktober 2024 | 00:59

AHY Punya Kedisiplinan di Tengah Kuliah dan Aktivitas Menteri

Jumat, 11 Oktober 2024 | 00:38

Mantan Panglima Nyagub, TNI AD Tegaskan Tetap Netral di Pilkada 2024

Jumat, 11 Oktober 2024 | 00:17

Selengkapnya