RMOL. Penyakit korupsi tidak bisa hilang dari Indonesia. Sejumlah lembaga seolah-olah berlomba-lomba untuk mengeruk uang rakyat dari cara yang tidak semestinya. Seperti terjadi pada pengadaan emergensi sistem navigasi di Bandara Soekarno Hatta, yang terindikasi di-markup.
Seperti dalam pengadaan Backup JAATS (Jakarta Automated Air Traffic Control System) untuk air traffic control di Bandara Soetta, dimana kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Butuh pembaruan teknologi agar mampu melayani padatnya lalu lintas udara.
"Kami mendapatkan informasi, atas kondisi itu dan atas desakan beberapa kalangan akhirnya Ditjen Perhubungan Udara menganggarkan untuk tahun 2011 sebesar Rp 80 miliar. Namun pengadaan yang seharusnya merampungkan sistem mini backup JAATS menjadi Full Backup JAATS tersebut terindikasi markup," kata Koordiantor Nasional Aliansi Rakyat Peduli Keselamatan Penerbangan (ARPKP), Hengki, kepada wartawan, Jumat malam (6/1).
Hengki mengatakan berdasarkan data yang diperolehnya, indikasi adanya
markup terlihat dari tanda bintang, yang artinya
pending anggaran dari Kementerian Keuangan sebesar Rp 35 miliar untuk pelaksanaan proyek tersebut.
"Karena dengan asumsi teknis, dengan anggaran Rp 45 miliar, sistem tersebut sudah bisa sempurna. Bahkan, ketika kami dalami, dengan anggaran Rp 20 miliar pun alat itu sudah bisa
ready. Itu artinya ada selisih Rp 60 miliar," bebernya.
ARPKP, lanjut Hengki, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut tuntas kasus ini. Selain merugikan negara, ada indikasi alat yang dipergunakan tidak sempurna, dan bisa membahaykan keselamatan penumpang pesawat. Dijelaskan lebih lanjut, pemenang tender atas nama Alwyn Laksono menyanggupi pekerjaan tersebut dengan anggaran Rp 45 miliar.
"Menjelang masa waktu pekerjaan selesai PPK Direktorat Navigasi melobi ke Kemenkeu untuk mencairkan dana Rp 35 miliar yang ditunda. Akhirnya dana tersebut cair dengan catatan harus terpasang sebelum masa proyek selesai, kami curiga jika Rp 35 miliar itu cair, maka tidak mustahil masuk ke kantong pribadi, apalagi di atas sudah jelas bahwa dengan dana Rp 20 miliar sudah bisa rampung. Jika ditotal, maka ada kerugian negara 60 miliar rupiah," lugas Hengki meyakinkan.
[ald]