Berita

tenaga kerja Indonesia (TKI).

On The Spot

Dua Tahun Kerja Di Arab, Pulang Kaget Punya Rumah

Menengok Kampung TKI Di Cianjur
MINGGU, 18 DESEMBER 2011 | 10:29 WIB

RMOL. Setengah warga Desa Kademangan, Mande, Cianjur memilih peruntungan dengan bekerja di luar negeri. Banyak yang memalsukan identitas agar bisa menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI).

 Rumah-rumah permanen berdiri di sepanjang jalan Desa Kademangan. Ada beberapa rumah yang tampak mencolok di­bandingkan lainnya. Salah satunya bangunan berlantai dua yang terletak persis di depan lapangan desa.

Bangunannya berlantai dua. Bentuknya modern dengan teras lebar di lantai atas. Dinding ru­mah dicat dengan warna oranye. “Rumah itu milik TKI yang dulu pernah kerja di Arab,” tunjuk Ute Misbahudin, Kepala Desa Ka­demangan.

Desa Kademangan terletak 20 kilometer dari kota Cianjur. Di se­panjang perjalanan menuju desa ini areal persawahan terham­par luas. Menurut Ute, tak banyak la­pangan pekerjaan di desanya. “Hanya ada satu pilihan peker­jaan di sini: jadi petani,” kata dia.

Belakangan, lahan pertanian di desanya tak lagi produktif. Tak bisa lagi dijadikan sandaran hi­dup warga. Pada awal dekade 1990-an, beberapa warga men­co­ba peruntungannya dengan be­ker­ja di luar negeri. Ternyata suk­ses. Kehidupan mereka me­m­baik. Melihat ini, warga desa lain­nya ber­lomba-lomba jadi TKI. Lan­taran banyak warganya yang jadi bekerja di luar negeri, daerah ini dikenal sebagai “Kampung TKI”.

Iroh adalah salah satu warga desa yang sukses bekerja di luar negeri. Ia pernah bekerja di Arab Saudi selama dua tahun. Matanya berbinar saat menceritakan pengalamannya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negara petro dolar itu.

Ia mengaku pergi ke luar negeri untuk membantu perekonomian keluarga. “Suami saya kerjanya cuma buruh. Gajinya nggak seberapa. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sering berutang ke tetangga.” katanya.

Menyadari kondisi ekonomi keluarganya yang sulit, wanita yang kini berusia 35 tahun meminta izin suaminya untuk jadi TKI. “Akhirnya suami mengi­zin­kan walaupun dengan berat hati,” kata Iroh. Maklum, saat berang­kat pada tahun 2008 Iroh dan suaminya baru setahun me­nga­ru­ngi mahligai rumah tangga.

Lantaran tidak mempunyai uang untuk mengurus kebe­rang­katan ke luar negeri, Iroh ber­utang ke tetangga sebesar Rp 6 juta. Dengan modal itu, dia men­daftar ke salah satu Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di Jakarta.

Singkat cerita, Iroh ditempat­kan di Damam, Arab Saudi se­ba­gai pembantu rumah tangga. “Ma­jikan saya baik. Saya tidak pernah mengalami siksaan dan peker­ja­an­nya tidak terlalu berat,” katanya.

Iroh mendapat perlakukan baik karena sebelum memulai bekerja dia membuat perjanjian dengan calon majikannya. Apa saja isi­nya? Salah satunya hak untuk men­dapatkan libur.

Dalam seminggu, Iroh me­minta libur satu hari. Iroh pun me­minta diberi waktu istirahat tujuh jam sehari. “Alhamdulillah majikan menyetujuinya dan tidak komplain,” katanya.

Iroh menceritakan, selama be­kerja di Arab dia mendapat gaji se­besar 800 riyal atau setara Rp 2 juta setiap bulan. Sebagian peng­ha­silannya disisihkan untuk ke­luarga. Setiap bulan ia mengi­rim uang ke kampung sebesar Rp 1 juta.

Uang untuk keluarga ia kirim sendiri tanpa lewat perantara ma­jikan. “Jangan sampai kita me­nitipkan uang kiriman melalui majikan. Bisa-bisa tidak sampai rumah,” katanya.

Setelah dua tahun bekerja, Iroh akhirnya mendapat izin pulang ke Tanah Air pada bulan Juli 2011 lalu. Sesampainya di kampung halaman, Iroh kaget karena ada rumah berdiri di depan rumah mertuanya.

Rupanya, rumah itu dibangun dari hasil jerih payahnya selama bekerja di Arab. “Uang untuk ba­ngun rumah berasal dari kiriman saya. Suami hanya mengawasi pembangunannya saja,” tutur Iroh.

Walaupun sukses jadi TKI, Iroh tak melanjutkan bekerja di luar negeri. Suaminya tak lagi me­ngizinkan. “Padahal majikan nelpon terus meminta saya su­pa­ya kembali,” katanya.

Selain bisa membangun ru­mah, wanita bertubuh subur ini mendapat dana bantuan dari PJTKI yang menyalurkan dia ke Arab. Namun dia tak bersedia me­nyebutkan bantuan itu. “Po­koknya cukup untuk buka toko kecil,” katanya.

Ute mengakui sebagian besar warganya bekerja sebagai TKI. Sampai akhir tahun ini, tercatat ada 214 warga desa yang bekerja di luar negeri. Menurut dia, jum­lah ini yang tercatat di kantor desa.

Ia memperkirakan masih ba­nyak warga yang tidak melapor ke kantor desa saat hendak be­rangkat bekerja ke luar negeri. “Jumlahnya bisa sampai 500 orang. Padahal, penduduk desa ini hanya seribuan orang,” kata dia.

Banyak yang memilih jalur pintas: mendaftar langsung ke PJTKI di Jakarta. Menurut Ute, selama ini ada anggapan bila mendaftar lewat kantor desa prosesnya penjang dan harus memenuhi berbagai persyaratan.

Salah satunya harus mengan­tongi ijazah minimal SLTP atau sederajatnya. “Persyaratan ini malah dinilai negatif oleh warga dan dianggap mempersulit me­reka pergi bekerja di luar negeri,” kata Ute.

Ia bisa memaklumi anggapan itu. Sebab, banyak warga desanya yang hanya lulusan SD. “Dengan bekal pendidikan itu otomatis mereka tidak bisa berangkat ke luar negeri. Akhirnya keba­nya­kan mengambil jalan pintas,” katanya.

Padahal, menurut Ute, persya­ra­tan ini demi kebaikan calon TKI sendiri. Jangan sampai me­re­ka dipermainkan atau menda­patkan perlakukan buruk dari majikan karena bekal penge­ta­huan yang rendah.

Ute menjelaskan, pelayananan pen­daftaran TKI melalui kantor desa tidak dipungut biaya. De­ngan mendaftar lewat kantor desa, warga bekerja di luar negeri akan terus dipantau oleh aparatur desa.

Ute berharap kepada warganya menaati aturan yang ada. Kalau mau bekerja di luar negeri harus lapor ke kantor desa. Bila mereka mendapat masalah, aparat desa bisa membantu dengan melapor ke Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. “Kalau nggak ada datanya kan repot juga me­nolongnya,” katanya.

Walaupun dikenal sebagai kampung TKI, tak semua warga Desa Kademangan meningkat kesejahteraannya setelah pulang bekerja dari luar negeri.

“Banyak juga yang pulang ti­dak menghasilkan apa-apa karena gajinya kecil dan habis buat ma­kan sehari-hari,” kata Ute. Ia men­­contohkan empat kepona­kan­nya yang jadi TKI. Walaupun sudah bertahun-tahun bekerja di luar ne­geri tak juga memiliki rumah.

Meski begitu, Ute bersyukur tak ada warganya yang me­nga­lami penyiksaan saat bekerja di luar negeri. “Mereka semua pu­lang dengan selamat walaupun ada yang tidak mendapatkan hasil apa-apa,” katanya.

Lima Negara Timteng Masih Tertutup Buat TKI

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Mu­haimin Iskandar masih mela­rang pengiriman tenaga kerja In­donesia (TKI) ke lima negara Ti­mur Tengah, yaitu Arab Saudi, Yor­dania, Syiria, Kuwait, dan Oman. “Kita minta calon TKI un­tuk tidak berangkat ke lima ne­gara Timur Tengah itu,” ujarnya.

Menurut dia, pemerintah meng­hentikan pengiriman TKI ke lima negara itu karena pemerintahnya belum bisa memberikan jaminan keselamatan kepada para TKI. Juga jaminan atas hak libur se­lama satu hari setiap minggu, hak berkomunikasi dengan keluarga di tanah air, dan kejelasan jam kerja.

Pemerintah, lanjut Muhaimin, akan membuka kembali pengiri­man TKI ke lima negara jika ada jaminan dari negara tujuan. Se­la­ma moratorium, tujuan pe­ngi­riman TKI dialihkan ke negara lain seperti Malaysia dan Hongkong.

Muhaimin menuturkan, jika masih ada pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS) yang mem­berangkatkan TKI ke lima negara tersebut, akan diberikan sanksi. Sudah ada beberapa PPTKIS yang mendapatkan sanksi.

Muhaimin juga meminta se­mua Dinas Tenaga Kerja di ting­kat propinsi dan kabupaten di se­luruh Indonesia agar membenahi sistem penempatan dan pe­r­lin­dungan TKI.

Selain itu, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa ini meminta Dinas Tenaga Kerja membantu mensosialisasikan slogan “Ja­ngan Berangkat Sebelum Siap” kepada calon TKI. Sehingga ha­nya mereka yang benar-benar siap yang diberangkatkan bekerja di berbagai negara penempatan.

“Perlindungan dan pem­be­na­han sistem TKI sejak pra, selama dan purna penempatan harus di­la­kukan dengan cara memper­baiki proses pendataan dokumen di daerah demi mencegah tenaga kerja ilegal saat pem­be­rang­ka­tan,” katanya saat berkunjung ke Desa Kademangan, Mande, Cianjur, Jumat lalu.

Muhaimin mengatakan, peran aktif Dinas Tenaga Kerja Cian­jur sangat diharapkan mem­ban­tu pem­benahan sistem penem­pa­tan TKI. Dinas harus bertang­gung ja­wab mulai dari dalam pro­ses rek­rut­men, pendaftaran, seleksi, ser­ta siap diberang­kat­kan ke luar negeri.

“Dengan berperan aktifnya Pem­da dalam pembenahan sis­tem calon tenaga kerja Indonesia, diharapkan tidak ada lagi TKI ilegal dan undocumented. Para ke­pala Disnaker harus memas­tikan pendataan hanya kepada mereka yang siap diberang­ka­t­kan,” katanya.

Menurut Muhaimin, ada empat hal yang diperhatikan setiap ca­lon TKI sebelum bekerja ke luar negeri. Yakni siap fisik dan men­tal. Kedua, siap bahasa dan ke­te­rampilan. Ketiga, siap dokumen. Keempat, siap pengetahuan ne­gara tujuan.

Untuk mengurangi jumlah TKI di luar negeri khususnya di sektor do­mestic workers, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi melakukan pembinaan khusus kepada 38 daerah basis rekrut atau kantong tenaga kerja.

Pembinaan dalam bentuk pem­berdayaan ekonomi seperti pem­bentukan wirausaha baru, tekno­logi tepat guna, padat karya pro­duk­tif, desa produktif, mobil te­ram­pil, rumah terampil, program link and match dengan Kemen­terian Pendidikan dan Kebuda­ya­an, peningkatan peran perbankan dalam program Kredit Usaha Rakyat (KUR) kepada calon TKI dan keluarganya. “Nantinya di­ha­rapkan tidak berniat lagi be­kerja di luar negeri,” katanya.

Untuk pelatihan kewi­ra­usa­ha­an, kata Muhaimin, disesuaikan dengan potensi sumber daya alam (SDA) yang ada di daerah kan­tong-kantong TKI. Jenis pela­ti­han seperti, budidaya ayam, sapi, dan kambing, usaha konveksi, menjahit dan border. Selain itu, ada juga pelatihan tata rias pe­ngantin, tata boga, bengkel mo­tor, sablon dan percetakan.

Data Kemenakertrans menca­tat, kabupaten/kota pengirim TKI terbanyak yaitu Cirebon se­ba­nyak 129.717 orang. Dilanjutkan, In­dramayu sebanyak 95.581 orang. Subang sebanyak 95.180 dan Cianjur sebanyak 89.182 orang.

Disusul Lombok Tengah seba­nyak, 62.512 orang, Lombok Ba­rat sebanyak 59.751 orang, Su­kabumi sebanyak 55.207 orang, Ponorogo sebanyak 47.717, Lombok Timur sebanyak 46.962 orang dan Malang sebanyak 39.610 orang.

Laporan TKI Bermasalah Meningkat

Sepanjang 2011, Pemerin­tah Kabupaten Cianjur m­e­ne­rima 787 pelaporan TKI asal dae­rah ini yang mengalami ma­salah ketika bekerja di luar ne­geri.    Hampir 90 persen lapo­ran dari TKI yang bekerja di ne­gara-negara Timur Tengah. Si­sa­nya dari beberapa negara Asia.

Kepala Bidang Penempatan Tenaga Kerja Dinas Sosial Te­naga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Cianjur, Finny Hikmat menga­ta­kan, tahun 2011 jumlah pe­la­po­ran kasus TKI bermasalah me­mang meningkat dibanding­kan sebelumnya. Ini artinya ke­sadaran masyarakat untuk me­laporkan kasus yang dialami ke­luarganya cukup tinggi.

Finny berpendapat, mening­katnya jumlah pelaporan kasus TKI bermasalah ini juga mem­buktikan bahwa masyarakat su­dah percaya terhadap peme­rintah untuk menangani dan memberikan perlindungan TKI yang mengalami masalah di luar negeri

Finny mengungkapkan ada 6.000 warga Cianjur yang be­kerja di negara-negara Timur Te­ngah. “Paling banyak di Saudi Arabia. Sisanya di Uni Emirat Arab maupun Qatar, serta negara lainnya,” katanya.

Ia berharap pemerintah pusat membuka kembali keran pe­ngiriman TKI ke Malaysia. Ia juga berharap TKI yang bekerja di negeri jiran akan mendapat perlindungan yang maksimal dari pemerintah. Agar semua hak-hak mereka terpenuhi.

Finny mendapat kabar bahwa TKI yang bekerja di Malaysia akan memperoleh gaji lebih be­sar dari sebelumnya. Mereka juga mendapat hak untuk libur. “Dan akan dibekali dengan tele­pon seluler,” katanya.

Iroh, seorang bekas TKI mem­berikan tips agar tak men­dapatkan perlakukan buruk maupun sewenang-wenang dari majikan ketika bekerja di luar negeri. Menurut dia, sebelum be­kerja TKI harus membuat per­janjian dengan calon majikan.

Perjanjian itu mencakup hak majikan maupun TKI. Misal­nya, TKI berhak mendapat jatah libur sehari dalam seminggu. Ke­mudian berhak mendapat waktu istirahat tujuh jam dalam sehari. “Kalau calon majikan mau, kita terus. Bila nggak mau, nyari tempat lain saja,” saran Iroh yang kini mencoba merin­tis usaha di negeri sendiri. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Warganet Beberkan Kejanggalan Kampus Raffi Ahmad Peroleh Gelar Doktor Kehormatan

Senin, 30 September 2024 | 05:26

PDIP Bisa Dapat 3 Menteri tapi Terhalang Chemistry Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

Bakamla Jangan Lagi Gunakan Identitas Coast Guard

Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46

Prabowo Sudah Kalkulasi Chemistry PDIP dengan Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35

UPDATE

Penyelundupan BBL Senilai Rp13,2 Miliar Berhasil Digagalkan di Batam

Jumat, 11 Oktober 2024 | 03:39

Perkuat Konektivitas, Telkom Luncurkan Layanan WMS x IoT

Jumat, 11 Oktober 2024 | 03:13

Pesan SBY ke Bekas Pembantunya: Letakkan Negara di Atas Partai

Jumat, 11 Oktober 2024 | 02:49

Wasit Ahmed Al Kaf Langsung Jadi Bulan-bulanan Netizen Indonesia

Jumat, 11 Oktober 2024 | 02:21

Fraksi PKS Desak Pemerintah Berantas Pembeking dan Jaringan Judol

Jumat, 11 Oktober 2024 | 02:00

Jenderal Maruli Jamin Pelantikan Prabowo-Gibran Tak Ada Gangguan

Jumat, 11 Oktober 2024 | 01:47

Telkom Kembali Masuk Forbes World’s Best Employers

Jumat, 11 Oktober 2024 | 01:30

Indonesia Vs Bahrain Imbang 2-2, Kepemimpinan Wasit Menuai Kontroversi

Jumat, 11 Oktober 2024 | 00:59

AHY Punya Kedisiplinan di Tengah Kuliah dan Aktivitas Menteri

Jumat, 11 Oktober 2024 | 00:38

Mantan Panglima Nyagub, TNI AD Tegaskan Tetap Netral di Pilkada 2024

Jumat, 11 Oktober 2024 | 00:17

Selengkapnya