Berita

Wa Ode Nurhayati

On The Spot

Merasa Kena Musibah, Pake Baju Hitam-hitam

Wa Ode Nurhayati Dituduh “Penjahat Anggaran”
RABU, 14 DESEMBER 2011 | 08:58 WIB

RMOL. Anggota DPR Wa Ode Nurhayati pernah mengungkapkan dugaan permainan dalam pembahasan anggaran. Politisi PAN ini pun menyebut ada sejumlah pihak yang jadi “penjahat”-nya. Ocehannya membuat berang pimpinan DPR.

Kini label “penjahat anggaran” disematkan kepadanya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wa Ode sebagai ter­sangka suap anggaran Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID). Ia pun dicegah ke luar negeri.

“Keluarga besar saya berduka atas penetapan saya tersangka,” kata perempuan kelahiran Wa­katobi, Sulawesi Tenggara, 6 No­vember 1981 ini. Menurut Wa Ode, rasa duka yang dialami keluarganya sama seperti ketika mendengar ada sa­­lah satu kerabat yang me­ninggal dunia.

 â€œJujur saja, sejak kecil ke­luarga besar saya tidak pernah ada yang berurusan dengan aparat penegak hukum, apalagi KPK. Karena itu, ketika mendengar kabar itu jelas membuat kaget ke­luarga besar,” kata dia.

 Wa Ode pun mencoba me­nunjuk rasa duka itu. Saat datang ke kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Senin sore, dia mengenakan baju hitam dan kerudung hitam.

Ia diterima Wakil Ketua LPSK Lies Setyaningsih. Dalam lapo­rannya, Wa Ode membeberkan permasalahan yang menerpanya.

Dua jam kemudian ia menin­g­galkan kantor LPSK yang terletak di Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat ini. “Kita ke sini me­minta perlindungan hukum. Ba­gaimana bentuk per­lindu­ngan­nya kita serahkan ke LPSK. Yang jelas kita sudah melaporkan se­mua­nya termasuk hal yang ra­hasia,” kata Wa Ode.

Sejak mendengar kabar dirinya ditetapkan sebagai tersangka, Wa Ode memilih mengurung diri di rumah kakaknya. “Saya memilih untuk istirahat sejak hari Sabtu kemarin,” katanya kepada Rakyat Merdeka Senin lalu.

Kendati itu dia terus memantau pemberitaan seputar kasus yang dituduhkan kepadanya. Ia juga menerima telepon dari kerabat dan rekan satu partai yang me­nanyakan penetapan status tersangka.

Saat KPK mengeluarkan status pencekalan atas dirinya, Wa Ode tetap menjalankan tugas sebagai ang­gota Dewan. Ia masih me­ngi­kuti fit and proper test calon pim­pinan Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bum (BPH Migas) di Komisi VII DPR.

“Itu sebagai bentuk sikap kalau saya siap melawan segala ma­salah yang ada. Saya tidak takut untuk berbicara kebenaran, apa pun yang akan saya hadapi,” tegasnya.

Bahkan, dirinya masih sempat datang ke acara pembukaan Si­laturahmi Nasional PAN di Ke­mayoran, Jakarta pada Jumat malam (9/12).

Wa Ode sudah menduga dia akan ditetapkan sebagai ter­sang­ka. Itu diyakininya setelah di­panggil petinggi Fraksi dan DPP PAN. Di situ, dia ditanya me­ngenai soal pencekalan.

Setelah menceritakan krono­logi kasusnya kepada para ata­sannya di partai, Wa Ode diminta siap menerima kenyataan pahit: menjadi tersangka.

“Saat itu, saya sebenarnya su­dah siap dengan segala cobaan yang akan saya hadapi. Tapi rea­ksioner yang disampaikan oleh keluarga, mau tidak mau mem­buat saya shock juga,” jelasnya.

Senin lalu, Wa Ode tak nongol di DPR. Ruang kerjanya di Lantai 20 Gedung Nusantara I hanya ditunggu sekretaris pribadinya. Ia melewatkan sidang paripurna.

Depresikah dia? Wa Ode me­nolak disebut mengalami tek­anan mental akibat penetapan ter­sang­ka ini. Ia sengaja mengurung diri u­ntuk memikirkan langkah meng­hadapi tuduhan ini.

“Semangat saya kembali mun­cul ketika anak pertama saya yang masih berumur lima tahun me­nelpon. Anak saya bilang, ka­lau dirinya mencintai saya dan akan berdoa untuk kebaikan saya,” tutur Wa Ode.

“Dari suaranya, anak saya tampak tegar memberikan sema­ngat kepada saya. Jelas ini men­jadi semangat saya untuk bangkit dan tidak boleh kalah dengan permainan tidak sehat ini,” tambahnya.

Senin sore, Wa Ode memu­tus­kan ke luar dari rumah untuk per­tama kali sejak dirinya dika­barkan jadi tersangka. Tujuannya kantor LSPK.


Dua Kali Abaikan Surat Panggilan KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum pernah memeriksa Wa Ode Nurhayati. Namun Ko­misi memiliki bukti yang cukup untuk menetapkan anggota DPR itu sebagai tersangka.

Menurut Wakil Ketua KPK Har­yono Umar, Wa Ode dite­tap­kan sebagai tersangka karena me­nerima hadiah dalam alokasi anggaran Percepatan Pem­ba­ngu­nan Infrastruktur Daerah (PPID).

Kasus ini dinaikkan ke tingkat penyidikan karena KPK sudah memiliki dua alat bukti. Wa Ode diduga melanggar Pasal 12 huruf A dan B dan atau Pasal 5 Ayat 2 serta Pasal 11 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukumannya penjara maksimal 20 tahun.

“Inilah keanehan kasus yang menimpa saya. Mana mungkin seorang yang belum pernah di­periksa, lantas ditetapkan sebagai tersangka,” kata Wa Ode kepada Rakyat Merdeka.

Anggota Komisi VII DPR ini tak membantah dirinya pernah mendapat surat panggilan dari KPK. Surat pertama diterima 31 Oktober 2011. “Saya tidak da­tang,” katanya.

Selang beberapa hari, KPK kembali melayangkan surat pang­gilan untuk Wa Ode. “Saya juga tidak datang,” akunya.

Kenapa tidak datang? Wa Ode menganggap surat panggilan KPK tak memenuhi syarat pro justisia. Dalam kedua surat tak disebutkan apa status Wa Ode dimintai keterangan.

“Tidak jelas posisi saya, apa­kah saksi atau tersangka. Sebagai seorang anggota DPR dan juga pejabat publik, tentunya saya tidak akan datang bila alasannya tidak jelas,” tandas Wa Ode.

Setelah mengabaikan kedua surat itu, Wa Ode tak pernah lagi menerima surat panggilan dari KPK. “Terakhir yang dikeluarkan KPK justru pencekalan atas diri saya agar tidak keluar negeri. Itu pun saya tahu dari berita yang ada di media massa. Besoknya, status berubah menjadi tersangka,” jelasnya.

Penetapan Wa Ode sebagai ter­sangka mengejutkan politisi PAN. Wakil Sekjen DPP PAN Te­guh Juwarno mengenal Wa Ode sebagai kader yang berani me­ngungkap mafia anggaran di DPR.

“Dia memiliki keberanian untuk melaporkan, seharusnya dia dilindungi, bukannya malah dikorbankan. Dimana keadilan penegakan hukum di negeri ini?” kata Teguh.

Ia meminta KPK menjelaskan kasus yang disangkakan kepada Wa Ode. “Tanpa ada kejelasan dan penjelasan, ini akan menjadi preseden buruk dan menjadi kado pahit pada hari penegakan anti korupsi. Ini juga merupakan akhir jabatan yang buruk bagi pimpi­nan KPK saat ini,” katanya.

Ketua DPP PAN Viva Yoga Mauladi juga mencium keanehan dalam kasus ini. “Kenapa belum pernah diperiksa langsung dite­tapkan sebagai tersangka. Jangan sampai KPK menjadi lembaga order melakukan pekerjaan pem­berantasan korupsi berdasarkan order orang yang punya kekuatan ekonomi dan kekuatan politik,” pintanya.


Bermula Dari Mata Najwa

Mei lalu, nama Wa Ode Nur­hayati menjadi buah bibir ka­rena membeberkan permainan anggaran di DPR dalam acara “Mata Najwa” di televisi. Ia sempat menyinggung nama pimpinan anggota DPR.

Kepada Rakyat Merdeka, Nurhayati menceritakan proses wawancara dalam acara ‘Mata Najwa’ yang mem­buat berang Ketua DPR Mar­zuki Alie. Ia menuturkan, dari awal sampai akhir proses wa­wancara men­jadi satu kesatuan dan tidak boleh dipisah-pisahkan.

“Artinya jangan yang diambil kalimat ‘penjahatnya’ saja. Itu kan ada kronologisnya yang ditanyakan oleh Mbak Najwa, terkait di beberapa kesempatan dan media saya memaparkan kecurigaan pelanggaran sistem terhadap kasus Dana Penye­suai­an Infrastruktur Daerah (DPID). Kan akhirnya Mbak Najwa masuk ke situ,” ujarnya.

Ketika dirinya menceritakan kronologis dalam kasus itu, diakhir acara Najwa mencoba me­ngambil kesimpulan dan ber­tanya kepada dirinya. “Mbak, untuk kasus DPID khu­susnya, siapa penjahatnya menurut Mbak?” ujar Nurhayati meniru­kan pertanyaan Najwa.

“Penjahatnya pimpinan DPR-kah? Pimpinan Banggar-kah? Atau Menkeu?” ujar Nazwa menegaskan pertanyaan kepada Nurhayati.

“Karena ini berlanjut dari pro­ses awal wawancara, saya sampaikan kayaknya ketiga-tiganya. Tapi tidak keluar dari saya bahwa mereka adalah penjahat anggaran. Karena dari kronologis yang saya sam­paikan, di tiga tempat ini terjadi perubahan sistem di luar rapat formal,” ujarnya.

Perubahan sistem yang se­perti apa? Nurhayati men­je­las­kan, pada bulan Oktober 2010 Banggar melakukan pem­ba­ha­san APBN 2011. Dalam pem­bahasan APBN 2011 itu, Banggar memutuskan adanya dana atau pagu anggaran yang bernama DPID 2011.

Dalam rapat panja tanggal 6-11 Oktober 2010 di Puncak, Jawa Barat, Banggar menye­pa­kati sistem indikator. Di dalam sis­tem itu ada kapasitas fiskal dan kriteria daerah, Banggar me­nyepakati bahwa daerah-dae­rah se-Indonesia, mulai ka­bu­paten/kota dan provinsi yang ma­suk dalam sistem yang disepakati akan diberi alokasi anggaran.

“Jadi, ketika sistem itu dise­pa­kati dan rambu-rambunya ditetapkan, dirapatkan antara Banggar dan pemerintah maka didapatilah 491 daerah yg me­menuhi kriteria. Di dalam kri­teria itu ada kapasitas fiskal dan kategori daerah tertinggal loh ya, dari kriteria itu didapati 491 daerah yang memenuhi krite­ria,” jelasnya.

Akhirnya Banggar dan pe­me­rintah memutuskan dua opsi. Opsi pertama, diserahkan ke­pa­da pemerintah dengan catatan seluruh sektornya boleh digu­na­kan untuk sektor dana alokasi khu­sus (DAK). Opsi kedua, ha­nya boleh digunakan untuk se­mua sektor DAK tapi dalam sa­tuan itu tidak boleh ada sektor.

“Kita menyerahkan otorita pe­nyerahan sektor kepada ke­pala daerah kabupaten/kota, ka­rena merekalah yang lebih pa­ham sektor mana yang meru­pa­kan kebutuhan daerah mereka. Itu kan sistem yang kita sepa­ka­ti bersama. Nah, selesai rapat hingga 11 Oktober itu keesokan harinya rapat di Jakarta dilan­jutkan di ruangan Banggar, pe­merintah pun menyerahkan si­mulasi,” tuturnya.

Setelah itu pemerintah kemu­dian menyerahkan simulasi un­tuk anggaran sebesar 7,7 triliun yang mengakomodir 491 ka­b­u-­paten/ kota. “Setelah itu kita tidak rapat lagi di Banggar, kita tinggal menunggu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 25. Terus pada bulan Februari tiba-tiba keluar PMK 25 dari si­mulasi Oktober, ditandatangani tanggal 11 Februari yang hanya 298 kabupaten/kota. Anda bisa hitung 491 dikurangi 298, berapa yang dikorbankan,” tandasnya.

Bila Menkeu mengatakan simulasi itu hasil rapat Banggar, diteng­garai ada oknum di dalam Bang­gar. Nurhayati menutur­kan, diri­nya tidak pernah me­nye­but se­cara langsung nama Ketua DPR Marzuki Alie seba­gai ‘penjahat anggaran’. Dalam wa­wancara Nurhayati hanya me­nyebutkan salah satu pim­pinan DPR.

Ia sebenarnya ingin me­nyin­dir Wakil Ketua DPR Anis Matta yang dinilainya dengan se­enaknya mengubah alokasi anggaran untuk daerah. “Beliau menyurati Menkeu agar me­ne­ken permintaan dana p­e­nye­suaian infrastruktur daerah. Kan benar ada surat dari Pak Anis matta,” kata Nurhayati.   [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Warganet Beberkan Kejanggalan Kampus Raffi Ahmad Peroleh Gelar Doktor Kehormatan

Senin, 30 September 2024 | 05:26

PDIP Bisa Dapat 3 Menteri tapi Terhalang Chemistry Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

Bakamla Jangan Lagi Gunakan Identitas Coast Guard

Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46

Prabowo Sudah Kalkulasi Chemistry PDIP dengan Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35

UPDATE

Penyelundupan BBL Senilai Rp13,2 Miliar Berhasil Digagalkan di Batam

Jumat, 11 Oktober 2024 | 03:39

Perkuat Konektivitas, Telkom Luncurkan Layanan WMS x IoT

Jumat, 11 Oktober 2024 | 03:13

Pesan SBY ke Bekas Pembantunya: Letakkan Negara di Atas Partai

Jumat, 11 Oktober 2024 | 02:49

Wasit Ahmed Al Kaf Langsung Jadi Bulan-bulanan Netizen Indonesia

Jumat, 11 Oktober 2024 | 02:21

Fraksi PKS Desak Pemerintah Berantas Pembeking dan Jaringan Judol

Jumat, 11 Oktober 2024 | 02:00

Jenderal Maruli Jamin Pelantikan Prabowo-Gibran Tak Ada Gangguan

Jumat, 11 Oktober 2024 | 01:47

Telkom Kembali Masuk Forbes World’s Best Employers

Jumat, 11 Oktober 2024 | 01:30

Indonesia Vs Bahrain Imbang 2-2, Kepemimpinan Wasit Menuai Kontroversi

Jumat, 11 Oktober 2024 | 00:59

AHY Punya Kedisiplinan di Tengah Kuliah dan Aktivitas Menteri

Jumat, 11 Oktober 2024 | 00:38

Mantan Panglima Nyagub, TNI AD Tegaskan Tetap Netral di Pilkada 2024

Jumat, 11 Oktober 2024 | 00:17

Selengkapnya