ilustrasi, buruh pabrik
ilustrasi, buruh pabrik
RMOL. Sistem outsourcing yang diterapkan pada buruh, termasuk di kawasan Jabodetabek, bisa jadi bumerang bagi kaum buruh. Pengusaha bisa
semena-mena, kesejahteraan kaum buruh pun memprihantinkan. Peraturan Daerah (Perda) perburuhan masih dicuekin.
Menurut pengamat perbuÂruhan dari Universitas Indonesia (UI) Aditya Haditama, kebijakan outsourcing bisa diÂimbangi deÂngan keseimbangan upah miniÂmum regional (UMR) yang tak jauh beda antar peÂrusahaan.
Selain itu, sambungnya, adaÂnya perbedaan upah antar daeÂrah, biasanya mengakibatkan terjaÂdiÂnya migrasi tenaga kerja, dari temÂpat kerja dengan upah rendah meÂnuju daerah upah yang tinggi. Hal itu dia khaÂwaÂtirkan akan sangat memÂbahaÂyakan keÂhidupan ekonomi kedepannya.
“Yang terpenÂting sebenarnya adalah menaÂnamÂkan kesadaran kepada para peÂlaku usaha agar meÂnganggap teÂnaga kerja seÂbagai aset. Bila tiÂdak, akan saÂngat berÂbahaya. Karena pelaku usaha tiÂdak akan memperhatikan kondisi tenaga kerja,†kata Aditya di Jakarta, kemarin.
Sedangkan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nawawi Asmat menilai, terjadinya peningkatan peÂrubaÂhan status kerja dari peÂkerja tetap menjadi pekerja outÂsourÂcing, lebih banyak meÂrugikan pekerja.
“Perubahan status kerja itu terÂjadi justru pada industri padat karya yang memproduksi paÂkaiÂan jadi, sepatu, elektronika, maÂkanan dan minuman. Semua tanÂpa pengawasan sehingga banyak menyalahi aturan PKWT (peÂkerja kontrak waktu tertentu -red),†terang Nawawi.
Hasil kajian LIPI, jelas NawaÂwi, terjadi peningkatan luar biasa jumlah perusahaan penyaÂlur teÂnaga kerja. Baik berbentuk PT, yayasan, koperasi, CV dan perÂseorangan yang tidak disertai pengawasan ketat dalam aturan kontrak kerjanya. “Jumlahnya kini mencapai 1.200 perusahaan, dan 80 persen di antaranya perusahaan abal-abal,†katanya.
Menurut Nawawi, dalam prakÂtikÂnya, terjadi pembiaran peÂlangÂgaran aturan PKWT. SeÂperti meÂlanggar ketentuan jenis peÂkerjaan yang boleh dilakÂsanakan dengan PKWT, jangka waktu kontrak, serta minimnya pengaÂwasan dan penindakan atas pelanggaran itu.
“Semua itu berakibat pada maÂkin menurunnya kesejahteraan pekerja. Juga tidak terjamin keÂpastian kerja, upah yang renÂdah dan meningkatnya biaya pencaÂrian pekerjaan,†katanya.
Di negara maju, kata Nawawi, tidak semua perusahaan bisa seenaknya mempekerjakan tenaÂga kontrak. Sebab, setiap peÂnambahan pekerja kontrak harus dikonsultasikan dulu dengan seÂrikat pekerja di perusahaan itu.
“Di Austria, serikat pekerja dan manajemen mengatur peÂkerjaan apa yang bisa dilakukan tenaga kontrak dan pada posisi apa. Di sini, begitu bebasnya aturan teÂnaga kontrak. Bahkan sekarang sudah masuk pada pekerjaan staffing yang masuk pekerjaan pokok,†katanya.
Nawawi menegaskan, aturan PKWT itu sudah cukup ketat. Namun, karena lemahnya pengaÂwasan dan penindakan pelangÂgaran aturan PKWT, jumlah PKWT terus memÂbengkak dan merambah ke peÂkerjaan utama sebuah usaha.
“Ini perlu pembenahan serius. Baik dari sisi jumlah dan kualitas petugas. Juga diperlukan standar prosedur proses penyelesaian masalah, sesuai aturan hukum, baik pidana maupun perdata,†tukas Nawawi. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12
Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30