Berita

ilustrasi/ist

On The Spot

Petugas Cari-cari Kesalahan, Ujung-ujungnya Minta Duit

Pantes, Pemkot Depok Dapat Rapor Merah dari KPK
KAMIS, 08 DESEMBER 2011 | 08:56 WIB

RMOL.Ahmad berjalan santai menuju loket Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Pemerintah Kota Depok di Jalan Margonda Raya Nomor 52, Depok. Sesampainya di loket, pria berusia 40 tahunan ini menyerahkan beberapa dokumen yang ada di map warna merah yang dibawanya kepada petugas.

Selama 15 menit dia ber­bin­cang-bincang dengan petugas. Pengurusan selesai, Ahmad balik badan meninggalkan loket. “Saya sedang mengurus izin pendirian reklame,” kata pria asal Sawa­ngan, Depok ini.

Ahmad mengaku bolak-balik datang ke BPPT untuk mengurus izin reklame. Menurut dia, pro­ses­nya panjang dan berbelit-belit. Se­suai aturan, izin bisa keluar da­lam dua minggu. “Saya sudah satu bu­lan mengurus ini, tapi hing­ga saat ini belum selesai juga,” katanya.

Padahal, kata Ahmad, dirinya sudah me­leng­kapi semua per­sya­ratan. Mulai surat izin mendirikan reklame, data rek­lame, peta si­tua­si, foto atau gam­bar dan naskah reklame, fotokopi KTP, fotokopi lahan tanah, surat permohonan di­tandatangani oleh direksi pe­rusahaan yang dilengkapi dengan materai, surat pernyataan yang menyatakan bersedia mengikuti semua ketentuan yang ditetapkan oleh Pemkot Depok.

Walaupun semua persyaratan sudah lengkap, kata Ahmad, petugas menganggap masih ada yang kurang. Ahmad diminta melampirkan surat izin dari ke­lurahan dan kecamatan setempat. “Saya paling malas kalau me­ngurus ke situ. Soalnya harus ke­luar duit lagi,” ucap Ahmad.

Ahmad mengaku sudah mem­bayar retribusi untuk pemasangan reklame ini sebesar Rp 600 ribu. Itu belum termasuk mengurus izin di kelurahan dan kecamatan. “Kalau dihitung-hitung habisnya bisa sampai jutaan,” kata dia.

Menurut dia, walaupun sudah mengantongi izin dari kelurahan dan kecamatan tak berarti semua beres. Saat pemasangan reklame, petugas Pemkot Depok datang dan menanyakan izin-izin.

“Petugas selalu mencari alasan dengan bentuk belum ada koor­dinasi dalam pendirian. Tapi ujung-ujungnya minta ‘damai’. Se­telah dikasih beberapa ratus ribu merekapun pergi” katanya.

Ahmad mengaku sering me­nga­lami kejadian seperti saat me­masang reklame di daerah Sa­wa­ngan, Cinere dan Gandul karena jauh dari pengawasan Pemkot Depok. “Kalau di luar daerah itu mereka tidak berani,” katanya.

Ahmad berharap Walikota Depok lebih ketat lagi mengawasi anak buahnya di lapangan se­hingga tidak terjadi praktek se­perti itu lagi.

Selain itu pengurusan reklame sebaiknya satu pintu di Pemkot Depok saja. Tak perlu melibatkan kecamatan dan kelurahan. Sebab waktu untuk mengurus izin men­jadi lebih lama. Juga mahal ka­rena harus memberikan uang ke­pada aparat di tingkat itu.

Ini hanyalah salah satu gam­ba­ran pelayanan di Pemkot De­pok yang masih diwarnai uang “pe­li­cin”. Dalam kamus KPK, pem­berian uang kepada pe­tugas ini bisa dianggap gra­tifikasi maupun suap.

Hampir semua pengguna laya­nan memberikan uang pelicin agar tak dipersulit dalam pengu­ru­san dan cepat selesai. Tanpa pe­licin kepengurusan bisa jadi lama.

KPK memberikan rapor merah bagi Pemkot Depok. Dalam sur­vei yang dilakukan Komisi, dae­rah yang dipimpin politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nur Mahmudi Ismail ini hanya men­dapat skor 3,50.

Ini artinya integritas pelayanan Pemkot Depok masih rendah. Pen­dek kata, pelayanan itu rawan korupsi, penyalahgunaan wewe­nang dan gratifikasi.  

Pengurusan berbagai izin-izin di Depok dipusatkan di Badan Pe­layanan Perizinan Terpadu (BPPT). Badan ini menempati gedung berlantai empat.

Di depan gedung dipasang papan putih dengan ukuran cukup besar yang bertuliskan “Badan Pelayanan Perizinan Terpadu”.

Masuk ke dalam gedung me­lewati pintu kaca selebar 1,5 me­ter, terlihat sebuah meja resep­sio­nis. Meja ditunggui tiga pegawai perempuan.

Walaupun ada meja resep­sio­nis, orang yang hendak mengurus izin tak perlu melapor ke sini. Bisa langsung menuju loket-loket pe­la­yanan di sebelah kiri meja itu.

Di bagian depan diletakkan 15 kursi yang disediakan bagi orang mengurus izin. Kursi itu meng­hadap tiga loket. Di depan loket dipasang papan panjang warna co­kelat yang bertuliskan jenis per­izinan dan loketnya.

Loket 1 terletak paling kiri. Pe­ngurusan izin lokasi, Izin Peng­gu­naan Ruang (IPR), Izin Men­dirikan Bangunan ( IMB), per­se­tu­juan prinsip dan izin perikanan dan peternakan dilakukan di sini Loket 2 untuk mengurus izin usa­ha bidang pariwisata, industri, kesehatan, izin gangguan, tempat usaha, pengolahan limbah cair dan penyediaan tenaga listrik.

Loket 3 untuk mengurus izin layak fungsi, reklame dan pe­ngo­lahan air bawah tanah. Di setiap loket ditempatkan boks kecil yang dipasang tulisan “Bagai­ma­na pelayanan kami, baik, sedang dan kurang”. Masyarakat silakan memberikan pendapatny dan me­masukkan ke dalam boks itu.

Dinding kaca dipasang sebagai pemisah petugas dengan warga yang mengurus izin. Di tengah dinding kaca diberi lubang untuk komunikasi petugas dan orang yang mengurus izin.

Di kaca loket juga ditempel ker­tas A4 yang menginformasi jam buka layanan. Yakni mulai pu­kul 8 pagi sampai 3 sore. Wak­tu isti­rahat ditetapkan pukul 12 sampai 1 siang. Tak ada petunjuk maupun informasi mengenai tarif untuk mengurus izin di loket-loket itu.

Informasi mengenai tarif pe­ngu­­rusan izin justru dipampang di website Pemkot Depok www.depok.go.id. Tarif untuk Surat Izin Perusahaan ( SIUP) da­lam bentuk Perseroan Terbatas (PT); ukuran kecil Rp 50.000, Me­nengah Rp 100.000 dan besar Rp 200.000. CV ukuran kecil Rp. 35.000, Menengah Rp. 75.000 dan Besar Rp. 150.000.

Izin koperasi skala kecil Rp 25.000, menengah Rp 50.000 dan besar Rp 75.000. Sedangkan pe­rusahaan perorangan skala kecil Rp 25.000, menengah Rp 50.000, dan besar Rp 75.000.

Sedangkan IMB untuk bangu­nan kesehatan di antaranya: Ru­mah Bersalin Rp 700.000, Balai Pengobatan Rp 600.000, Apotek Rp 500.000, Toko Obat Rp 150.000, Salon Kecantikan: Tipe A Rp 400.000, Tipe B Rp 300.000, Tipe C Rp 200.000 dan Tipe D Rp 100.000.

Selanjutnya, PBDU/ PBDG Rp 400.000, PBDS / PBDGS Rp  500.000, Optikal Rp 250.000, Radiologi Rp 500.000, Labo­ra­to­rium Rp 500.000, Klinik Fisio­terapi Rp 250.000, Mendirikan Rumah Sakit Rp 1.000.000, klinik kecantikan Rp 600.000 dan Spa Rp 200.000

Untuk rumah atau bangunan biasa tarifnya yaitu, Retribus IMB=Tarif Bangunan+Tarif Administrasi. Perhitungan Tarif Bangunan (TB) adalah luas ba­ngunan dikali standar harga dasar bangunan per meter persegi dikali prosentase fungsi bangunan mak­simal 4 persen.

Sementara tarif administrasi ditetapkan satu persen dari tarif bangunan ditambah biaya peme­rik­saan gambar/koreksi gambar sebesar 6 persen dari tarif. Untuk bangunan seperti mall, apartemen dan bangunan sejenisnya dan sejenis disertai biaya pengawasan 10 persen tarif bangunan ditam­bah biaya sempadan sebesar 1 persen dari tarif bangunan.

Kepala Subbag Humas Pemkot Depok, Deriko mengatakan hasil survei KPK ini menjadi cambuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Deriko berjanji Pemkot Depok sece­patnya membersihkan prak­tep suap yang masih ada di pela­yanan perizinan. “Dalam waktu dekat kami akan bersihkan se­mua,” katanya. Juga me­ngun­dang KPK untuk melihat lang­sung proses pelayanan perizinan pe­nerbitan Surat Izin Usaha Pe­rusahaan (SIUP), Izin Men­di­ri­kan Bangunan (IMB) dan pem­buatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dinilai buruk. “Jika ditemukan ada petugas yang meminta fee akan kami berikan sanksi tegas,” katanya.

Deriko menjelaskan, pe­ngu­rusan KTP di Pemkot Depok gra­tis alias tidak dipungut biasa sama sekali. Sedangkan IMB dan SIUP dipungut retribusi yang besaran­nya sudah ditentukan.

Namun, kata Deriko, orang se­ring meminta kepengurusan per­izinan seperti KTP kepada pihak ketiga. “Nggak mungkin dong kita minta bantuan orang terus nggak diberi uang transport,” katanya.

Deriko menambahkan, mengu­rus KTP di tingkat RT, RW dan kelurahan biasanya ada penarikan uang. Aparat di tingkat itu me­mang tidak mendapatkan gaji dari peme­rintah. “Biasanya mereka menarik uang untuk kas saja,” katanya.

Nur Mahmudi: Jangan Malas Ngurus Sendiri

Wali Kota Depok Nur Mah­mudi Ismail menyambut baik hasil survei Komisi Pem­be­ran­tasan Korupsi (KPK) yang me­nyebutkan pelayanan perizinan di Pemerintah Kota Depok no­mor dua paling buruk buruk, se­telah Lampung.

“Hasil survei KPK akan menjadi evaluasi dan intropeksi kami. Jika hasil survei itu kare­na aparatur yang salah prosedur maka kami akan menindak te­gas. Namun jika karena pe­ri­la­ku masyarakat dalam me­ngu­rus perizinan. Budaya itu harus di­hilangkan,” kata Nur Mahmudi.

Meski begitu, sambung poli­tisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pihaknya menyambut baik hasil survei KPK itu. Se­bab survei itu akan melecut Pem­kot Depok untuk mem­benahi diri.

Pihaknya juga akan mem­pe­la­jari secara detail metode sur­vei KPK dan bila dapat di­ko­la­borasi dengan sistim penilaian yang dimiliki Pemkot Depok agar pelayanan publik menjadi maksimal.

Menurut Nur Mahmudi, pe­layanan buruk diakibatkan oleh masyarakat yang masih meng­gunakan budaya pihak ketiga atau biro jasa.

“Seperti halnya pembuatan SIM di Kepolisian, masyarakat datang sendiri membuat SIM. Seharusnya masyarakat Depok juga melakukan sendiri dalam membuat, KTP, IMB, dan SIUP. Kalau warga meminta tolong Pak RT membuat KTP dan Pak RT minta ongkos jalan tidak bisa disalahkan. Seha­rus­nya warga sadar dan mela­ku­kan­nya sendiri. Bikin KTP di Depok gratis,” jelasnya.

Demi menghapus praktek penyuapan di Pemerintah Kota Depok, Nur Mahmudi meminta warganya untuk menghilangkan budaya malas dalam mengurus perizinan.

Wakil Wali Kota Depok Idris Abdul Somad, mengakui pela­ya­nan perizinan di Kota Depok masih buruk karena masih ba­nyaknya kekurangan terhadap kualitas dan kinerja Sumber Daya Manusia (SDM) di setiap kelurahan dan dinas di Pe­me­rintah Kota Depok.

Untuk itu, kata Idris, pihak­nya meminta pemerintah pusat agar diperbantukan empat ribu PNS agar pelayanan optimal. “Tenaga di kelurahan masih ku­rang, kita minta tambahan PNS dari pusat, tahun ini kita minta empat ribu, enggak dikasih. Ke­butuhan kita untuk pelayanan sempurna mi­ni­mal tujuh–de­la­pan ribu PNS tambahan, bu­kan­nya guru, guru sudah banyak,” katanya.

Apalagi, lanjutnya, Pemkot memperbantukan sukarelawan (sukwan) sebanyak sepuluh orang. Sukwan tersebut tak di­gaji oleh APBD Depok. “Kita akan perbaiki dari sisi pela­ya­nan SDM, satu kelurahan saja tak kurang 6-7 sukarelawan, ada yang sampai 10, yang tak digaji APBD, gaji mereka darimana?

Nah mungkin, mereka yang me­ngurus ada yang berikan uang su­karela, infak, kesannya ba­yaran kepada pemerintah, nah ini yang akan kita tertib­kan,” katanya. Karena itu, lan­jutnya, pi­hak­nya akan mem­per­­­timbangkan agar suk­are­lawan tak memakai pa­kaian se­ra­gam PNS.

Spanduk Kota Terkorup Dipasang di Kantor Walikota

Dua spanduk warna biru ber­ukuran cukup besar dipasang di sisi kanan dan kiri gerbang ma­suk Pemkot Depok. Spanduk bertuliskan “Bapak kamu be­kerja di KPK Ya..? Kok tahu..? Karena.. Hasil survey integritas KPK terhadap lembaga pe­me­rintah di Indonesia tahun 2011, Pemkot Depok terkorup nomor 2 Se-Indonesia”.

Di bagian bawah spanduk ter­dapat tulisan, “Barang siapa men­copot dan menghilangkan spanduk ini adalah koruptor”.

Spanduk yang berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gelombang Depok ini sangat mencolok dan dengan mudah dibaca masyarakat yang lalu lalang di depan Pemerintah Kota Depok.

Tidak hanya itu, di pelataran parkir Pemkot Depok juga di pa­sang satu spanduk dengan uku­ran dan tulisan yang sama de­ngan yang di luar gerbang masuk.

Ketua Gerakan Lokomotif Pembangunan (Gelombang) Cahyo Putranto, komitmen Wa­li­kota Depok Nur Mahmudi Is­mail untuk menciptakan pe­me­rintahan yang bersih dari prak­tik korupsi telah gagal.

“Nur Mahmudi sudah dua priode menjadi walikota di sini. Dia selalu mendengung-de­ngung­kan mengenai pemb­e­ran­tasan korupsi dan birokrasi ber­sih, namun apa yang kita dapat sekarang ini,” katanya.

LSM Gelombang, menurut Cahyo, banyak menerima pe­nga­duan anggota masyarakat yang dipersulit bila mengurus surat izin usaha. “Seperti untuk pengurusan izin tempat usaha, sudah 1-2 tahun belum juga da­pat izin karena tidak mem­be­rikan fee kepada petugas untuk mempercepat proses,” katanya.

Untuk itu, Cahyo mendesak DPRD Kota Depok dapat men­jadi pengawas bagi aparat bi­rok­rasi yang doyan korupsi dan jangan malas. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Warganet Beberkan Kejanggalan Kampus Raffi Ahmad Peroleh Gelar Doktor Kehormatan

Senin, 30 September 2024 | 05:26

PDIP Bisa Dapat 3 Menteri tapi Terhalang Chemistry Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

Bakamla Jangan Lagi Gunakan Identitas Coast Guard

Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46

Prabowo Sudah Kalkulasi Chemistry PDIP dengan Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35

UPDATE

Penyelundupan BBL Senilai Rp13,2 Miliar Berhasil Digagalkan di Batam

Jumat, 11 Oktober 2024 | 03:39

Perkuat Konektivitas, Telkom Luncurkan Layanan WMS x IoT

Jumat, 11 Oktober 2024 | 03:13

Pesan SBY ke Bekas Pembantunya: Letakkan Negara di Atas Partai

Jumat, 11 Oktober 2024 | 02:49

Wasit Ahmed Al Kaf Langsung Jadi Bulan-bulanan Netizen Indonesia

Jumat, 11 Oktober 2024 | 02:21

Fraksi PKS Desak Pemerintah Berantas Pembeking dan Jaringan Judol

Jumat, 11 Oktober 2024 | 02:00

Jenderal Maruli Jamin Pelantikan Prabowo-Gibran Tak Ada Gangguan

Jumat, 11 Oktober 2024 | 01:47

Telkom Kembali Masuk Forbes World’s Best Employers

Jumat, 11 Oktober 2024 | 01:30

Indonesia Vs Bahrain Imbang 2-2, Kepemimpinan Wasit Menuai Kontroversi

Jumat, 11 Oktober 2024 | 00:59

AHY Punya Kedisiplinan di Tengah Kuliah dan Aktivitas Menteri

Jumat, 11 Oktober 2024 | 00:38

Mantan Panglima Nyagub, TNI AD Tegaskan Tetap Netral di Pilkada 2024

Jumat, 11 Oktober 2024 | 00:17

Selengkapnya