Noor Rachmad
Noor Rachmad
RMOL. Sebelum tahun baru 2012, Kejaksaan Agung akan menahan dan memeriksa dua tersangka kasus pengadaan alat laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah se-Indonesia.
Hal itu disampaikan Kepala PuÂsat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Noor Rachmad saat dihubungi Rakyat Merdeka. “SaÂbar saja, penahanan dan pemeÂrikÂsaÂan kedua tersangka akan diÂlakukan penyidik satu atau dua minggu lagi,†katanya.
Akan tetapi, Noor mengaku tidak bisa menyebut tanggal pasti penahanan tersebut. Alasannya, “Ini domain penyidik.â€
Noor mengakui, selain belum ditahan, kedua tersangka juga beÂlum dicegah untuk ke luar negeri. Lagi-lagi, dia beralasan, peÂngÂajuan pencegahan ke Direktorat JenÂderal Imigrasi Kementerian HuÂkum dan HAM pun meruÂpaÂkan kewenangan penyidik. “TerÂganÂtung permintaan penyidik. KejakÂsaan hanya bisa menunggu haÂsil proses penyidikan,†katanya.
Jika penyidik merasa ada geÂlagat tidak baik, kata Noor, penÂceÂgahan akan dilakukan untuk menghindari kaburnya tersangka. “Kalau curiga dan dirasa ada yang ganjil, maka akan dilakukan penÂcegahan, tapi ini tergantung peÂnyidik. Kejaksaan meÂnyeÂrahÂkan pemeriksaan, penahanan, penyitaan dan pencekalan kepada penyidik.â€
Lantaran itu, dia menamÂbahÂkan, posisi kejaksaan saat ini beÂlum bisa mengajukan upaya ceÂgah kepada pihak Ditjen ImigÂrasi. Kecuali, ada permintaan penyidik yang disebabkan tersangka tidak kooperatif. Tapi, jika kersangka kooperatif dalam menjalani peÂmeriksaan, pencegahan tidak perlu dilakukan.
“Jika tersangka melakukan usaÂha-usaha yang menyulitkan, nah itu bisa dilakukan penÂceÂgahÂan. Yang jelas, penahanan diÂlaÂkuÂkan pertengahan Desember,†tandasnya.
Sebelumnya, penyidik pidana khusus (Pidsus) Kejagung meneÂtapÂkan dua tersangka dugaan korupsi di Kementerian Agama berdasarkan Surat Perintah PeÂnyidikan (Sprindik) Nomor 163/f.2/fd.1/11/2011 tanggal 29 NoÂvember 2011 atas nama SyaiÂfudÂdin, dan 164/f.2/fd.1/11/2011 tangÂgal 29 November 2011 atas nama Ida Bagus Mahendra Jaya Martha.
Keduanya diduga melakukan mark up pada proyek pengadaan alat laboratorium IPA Madrasah TsaÂnawiyah dan Aliyah se-InÂdonesia.
Noor menjelaskan, atas dugaan terÂsebut keduanya ditetapkan seÂbagai tersangka berdasarkan PaÂsal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang NoÂmor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Noor menuturkan, dalam pengÂadaan alat laboratorium yang dibiayai Anggaran Pendapatan BeÂlanja Negara Perubahan (APBNP) 2010 dengan total proÂyek Rp 71,5 miliar itu, Kemenag meÂmenangkan PT Alfindo NuraÂtama Perkasa dan PT Sean HulÂbert Jaya. “Rinciannya, Rp 27,5 miliar untuk pembangunan LaÂboÂratoriunm IPA Madrasah TsaÂnaÂwiyah, sedangkan Aliyah sebesar Rp 44 miliar,†urainya.
Namun, lanjut Noor, kedua perÂÂusahaan tersebut malah menÂsubkontrakkan proyek ini kepada pihak ketiga dengan cara mengÂgelembungkan harga terlebih dahulu. Selain itu, alat tidak dapat diÂgunakan sebagaimana mesÂtiÂnya, karena berbeda dengan spesifikasi yang diharapkan.
Parahnya lagi, jelas Noor, selaÂku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Syaifuddin tidak berÂupaÂya mencegah mark up itu, begitu juga Mahendra yang tidak menÂjalankan tugasnya mengecek baÂrang yang tidak sesuai spesiÂfikasi. Akibat dari tindakan keduanya, negara diperkirakan mengalami kerugikan sebesar Rp 25 miliar.
Noor menambahkan, tidak terÂtutup kemungkinan tersangka kasus ini bertambah dari pihak reÂkanan Kementerian Agama. “Tunggu saja hasil penyidikan, terÂsangka kasus ini bisa berÂtamÂbah.â€
REKA ULANG
Negara Diperkirakan Rugi Rp 25 Miliar
Kasus dugaan korupsi di KeÂmenÂterian Agama (Kemenag) ini berÂmula pada 2010. Saat itu, KeÂmeÂnag memperoleh dana dari AngÂgaran Pendapatan BeÂlanÂja Negara Perubahan (APBNP) untuk membiayai proyek pengÂadaÂan alat laboratorium Ilmu PeÂngetahuan Alam (IPA) Madrasah Tsanawiyah (SMP) dan Aliyah (SMU) se-Indonesia.
Anggaran yang dialokasikan sebesar Rp 71,5 miliar, dengan rinÂcian Rp 27,5 miliar untuk TsaÂnaÂwiyah, sedangkan AliÂyah seÂbeÂsar Rp 44 miliar.
Dalam proses pengadaan proÂyek, dihasilkan dua pemenang tenÂder. Untuk menjalankan proÂyek proyek pengadaan alat laboÂraÂtorium di Madrasah TsaÂnaÂwiyah, pemenang tender tersebut jatuh pada PT Alfiando Nuratama Perkasa. Sedangkan, untuk proÂyek Aliyah pemenang tenÂderÂnya adalah PT Sean Hulbert Jaya.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung (KaÂpusÂpenkum Kejagung), Noor RachÂmad menjelaskan, dugaan koÂrupsi muncul setelah pemeÂnang tender tidak langsung meÂlaksanakan proyek tersebut.
Menurut Noor, penyidik meÂnilai, telah terjadi praktik mark up (penggelembungan harga). KaÂrena, dalam pelaksanaannya, keÂdua perusahaan pemenang tender mensubkontrakkan proyek keÂpaÂda pihak ketiga. Sebelumnya, harga pengadaan itu digelemÂbungkan terlebih dulu, sehingga neÂgara diperkirakan mengalami kerugian Rp 25 miliar.
Kejaksaan menemukan adanya kejanggalan. Syaifuddin selaku PeÂjabat Pembuat Komitmen (PPK) tidak mencegah praktik mark up itu, sekalipun kejangÂgalÂan itu diketahuinya. “Terseretnya Syaifuddin dalam kasus tersebut, lantaran selaku PPK seolah meÂlakukan pembiaran,†katanya.
Noor menambahkan, tersangka kedua, Ida Bagus Mahendra Jaya Martha yang bertindak menjadi Konsultan IT dianggap terlibat, kaÂrena tidak mengecek barang keÂbutuhan proyek dengan speÂsiÂfiÂkasi yang sudah ditetapkan. Akibatnya, alat yang ada tidak daÂpat diguÂnakan sebagiamana mesÂtinya.
Noor menjelaskan, berdaÂsarÂkan Surat Perintah Penyidikan (SprinÂdik) No 163 dan 164/f.2/fd.1/11/2011 tanggal 29 NoÂvemÂber 2011, Syaifuddin dan MaÂhenÂdra sudah ditetapkan menjadi tersangka.
Meski sudah berstatus tersangÂka, keduanya belum ditahan. Bukan itu saja, Kejaksaan Agung juga belum mengajukan surat ke DitÂjen Imigrasi Kementerian HuÂkum dan HAM untuk mencegah Syaifuddin dan Mahendra ke luar negeri.
Padahal, lambatnya penceÂgahÂan tersangka ke luar negeri, seÂringkali membuat proses hukum menjadi lambat. Contohnya dapat terlihat pada kasus Nazaruddin, beÂkas Bendahara Umum Partai DeÂmokrat. Sehari sebelum surat ceÂgah itu turun, Nazar sudah perÂgi ke Singapura dengan alasan berÂobat. Keterlambatan bertindak itu membuat proses hukumnya menÂjadi lambat.
Perlu Dicegah Ke Luar Negeri
Alvon Kurnia Palma, Wakil Ketua YLBHI
Wakil Ketua Yayasan LemÂbaÂga Bantuan Hukum InÂdoÂnesia (YLBHI) Alvon Kurnia PalÂma menilai, Kejaksaan Agung tidak serius memÂbeÂranÂtas korupsi jika tidak menahan dan tidak mencegah tersangka kasus korupsi ke luar negeri.
“Kalau ingin objektif, saat peÂnetapan tersangka, KejakÂsaÂan Agung semestinya juga meÂnetapkan status cegah untuk menÂcegah tersangka melarikan diri ke luar negeri. Apalagi, para terÂsangka itu tidak ditahan,†katanya.
Menurutnya, kemungkinan terÂsangka kabur ke luar negeri perlu diantisipasi sejak dini. SeÂlain itu, penetapan status ceÂgah juga bisa menghindari keÂcuÂrigaan publik pada kejaksaan yang sering dianggap main mata dengan tersangka.
Namun, lanjut Alvon, seÂringÂkali kerangka adminstratif memÂbuat pencegahan sangat laÂma. Lantaran itu, ada baiknya sebelum penetapan tersangka, status cegah juga diurus, seÂhingÂga tidak ada waktu untuk kaÂbur. “Jangan sampai sebelum cegah dikeluarkan, tersangka suÂdah kabur ke luar negeri.â€
Dia mengingatkan, belajar dari Nazaruddin yang kabur ke luar negeri, cepatnya proses ceÂgah bagi tersangka sangat penÂting. Apalagi, penanganan kaÂsus korupsi juga merupakan langÂÂkah penting untuk meÂngemÂÂbalikan kerugian negara. Jangan sampai kerugian negara itu keÂburu digondol tersangka ke luar negeri.
Alvon menjelaskan, aturan ceÂgah terdapat pada Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-UnÂdang Nomor 6 Tahun 2011 tenÂtang Keimigrasian. Di dalÂamÂnya disebutkan, cegah saat proÂses penyelidikan atau penyiÂdikÂan merupakan pilihan kebijakan huÂkum yang konstitusional seÂpanjang pembatasan itu diÂbeÂrikan untuk hak-hak derogable (hak yang bisa dikurangi).
Dia menambahkan, hak berÂgeÂrak merupakan salah satu hak yang bisa dikurangi atau diÂbatasi (derogable right) dengan unÂdang-undang, sebagaimana diatur Pasal 28I ayat (1) jo Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. “Cekal seÂperti diatur Pasal 16 ayat (1) huÂruf b itu merupakan pemÂbaÂtasan hak yang konstitusional,†tegasnya.
Aturan tersebut, kata Alvon juga tercantum dalam Pasal 27 jo Pasal 70 UU Nomor 39 TaÂhun 1999 tentang HAM yang menjamin hak bergerak, tetapi hak itu bisa dikurangi sepanjang diatur dalam undang-undang.
Dia menilai, prinsip ini juga tercantum dalam Pasal 12 point 3 Konvensi International CoveÂnant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi lewat UU Nomor 12 Tahun 2005.
Blokir Rekening Para Tersangka
Nudirman Munir, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR NuÂdirman Munir menilai, KeÂjakÂsan Agung tidak profesional, karena lambat mengajukan cegah ke luar negeri terhadap tersangka kasus pengadan alat laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Madrasah TsaÂnaÂwiyah (SMP) dan Aliyah (SMU) se-Indonesia.
Menurutnya, penetapan staÂtus cegah semestinya dilakukan pada saat pelaku ditetapkan seÂbagai tersangka kasus korupsi. “Cegah itu wajib dilakukan, apalagi ketika keduanya sudah menjadi tersangka,†katanya.
Kata Nudirman, status cegah baru bisa dicabut jika pada masa penyidikan tidak diteÂmuÂkan cukup bukti. Dia khawatir, kasus korupsi ini akan berujung seperti kasus-kasus sebeÂlumÂnya. Seringkali pelaku sudah ke luar negeri sebelum surat cegah dibuat. “Telat kalau baru beÂrenÂcana cegah, seharusnya keÂjakÂsaan otomatis mencegah peÂlaku, bila perlu sebelum menÂjadi tersangka.â€
Selain pencegahan, kata NuÂdirman pembelokiran rekeÂning dan penyitaan aset juga perlu dilakukan. Dengan pembeloÂkirÂan rekening, pelaku tidak bisa menggunakan uangnya untuk ke luar negeri.
Nudirman juga berharap, upaya sita jaminan dilakukan, sehingga pelaku tidak bisa berÂkutik walau baru tahap peÂnyeÂlidikan. Karena bisa dijadikan alat pengembalian kerugian neÂgara, jika tersangka kabur ke luar negeri.
“Kalau harta benda melebihi kerugian negara, biarkan saja ke luar negeri, toh uang dan harÂta bendanya bisa dijadikan peÂngembalian kerugian negara,†ujarnya.
Sebaliknya, jika barang yang disita dan uang yang dibelokir nilainya jauh di bawah kerugian negara, pelaku harus dicegah lebih lama atau ditahan jika tidak kooperatif.
Nudirman mengingatkan, pencegahan lebih awal dapat mencegah tersangka ke luar negeri, kabur dari pemeriksaan penyidik.
Jika demikian, tambah dia, masalahnya tergantung pada kooperatif atau tidaknya terÂsangka. Untuk itu cegah adalah langkah awal melihat niat baik tersangka. “Saat dilakukan peÂmangÂgilan tersangka harus ada, di situ bisa dilihat niat baikÂnya.â€
Politisi Golkar ini meÂnamÂbahkan, kalau sudah menjadi terÂsangka dan tidak kooperatif paÂda penegak hukum, maka pelaku harus ditahan, bukan pencegahan ke luar negeri lagi.
Bukan itu saja, dalam upaya meÂngembalikan kerugian neÂgaÂra, kejaksaan juga harus meÂneÂrapkan pembuktian terbalik. YakÂni dengan penyitaan aset dan pembelokiran rekening, buÂkan penindakan tersangka saja. “Ruh pemberantasan korupsi adalah pengembalian kerugian negara, bukan hanya mengadili terÂsangka.†kata dia. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
UPDATE
Sabtu, 27 Desember 2025 | 08:07
Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:48
Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:32
Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:17
Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:03
Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:38
Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:21
Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:13
Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:06
Sabtu, 27 Desember 2025 | 05:47