KONTROVERSI pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana soal moratorium pemberian remisi bagi koruptor, tentunya bukan sekedar slip of the tongue yang menuai kontraproduktif.
Pernyataan seorang pejabat publik seperti itu semakin mempertontotan kepada publik betapa kepakarannya diragukan, apalagi setelah mendapat reaksi di berbagai kalangan. Bahkan, tanpa perasaan bersalah dan malu, kata moratorium kemudian dianulir dengan istilah "pengetatan" pemberian remisi dan pembebasan bersyarat terhadap terpidana korupsi, narkoba dan terorisme.
Sebagai seorang yang berlatarbelakang akademisi dan penggiat anti korupsi track record Denny Indrayana hanyalah biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Belakangan setelah masuk dalam lingkaran kekuasan, mulai menimbulkan persoalan seperti dalam kasus Gayus Tambunan, pembentukan Tim Delapan dan sebagainya.
Bahkan, pengangkatan dirinya sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM juga menimbulkan kontroversi. Ibaratnya, menduduki "kursi haram" karena proses pengangkatannya telah melanggar Peraturan Presiden No.47/2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, khususnya Pasal 70 ayat 3 yang menyebutkan. Pejabat karir sebagaimana dimaksud pada ayat 2 adalah pegawai negeri yang telah menduduki jabatan struktural eselon I A.
Sedangkan Denny Indrayana belum pernah menduduki jabatan struktural setingkat eselon I A. Untuk mengamankan posisi tersebut, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Presiden No 76/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No 47/2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara yang diterbitkan pada 13 Oktober 2011 lalu. Ironis memang.
Karena itu, kebijakan moratorium pasti menimbulkan kontroversi. Oleh sebagian masyarakat yang muak dengan prilaku para koruptor yang sudah merampok uang negara, pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bisa dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat. Pelaku koruptor seringkali mendapat perlakuan istimewa, berbeda dengan pelaku tindak pidana kriminal lainnya.
Berdasarkan data ICW (Indonesia Corruption Watch) dalam dua tahun terakhir, Pengadilan Tipikor daerah telah membebaskan 40 terdakwa korupsi, 4 di Bandung, 1 Semarang, 21 Surabaya dan terakhir pembebasan 14 anggota DPRD Kutai Kertanegara yang menjadi terdakwa dugaan korupsi dana operasional penunjang kegiatan anggaran APBD 2005. Kondisi ini cukup memprihatinkan, bahkan di tingkat pusat sekalipun baik KPK, Kejaksaan dan Kepolisian masih belum mampu membuktikan kinerjanya untuk menyeret para pelaku korupsi yang masih berkeliaran.
Karena itu, kebijakan Depkum HAM mengkaji pemberian remisi bukan prestasi Menkum HAM Amir Syamsudin, melainkan pekerjaan rumah dari mantan Menkum HAM Patrialis Akbar yang sudah memiliki prioritas untuk melakukan kajian secara komprehensif pemberian remisi dan pembebasan bersyarat sebagai respon dan kritikan masyarakat.
Apa yang sedang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM saat ini, hanyalah menari di atas genderang kebijakan sebelumnya, bahkan bisa diprediksi tidak akan mampu berbuat apa-apa, karena penempatan posisi Menkum HAM sangat tendensius dan politis. Padahal, di masa Orde Baru, Departemen Kehakiman, kemudian berubah menjadi Kementerian Hukum dan HAM, merupakan lembaga strategis dalam upaya menegakkan supremasi hukum. [***]
Rusmin Effendy, SHPenulis adalah Direktur Eksekutif Komisi Kebijakan Publik dan tinggal di Jakarta.