Berita

LEMBAGA EIJKMAN

On The Spot

Status Nggak Jelas, Peneliti Diincar Asing

Berkunjung ke Lembaga Penelitian Eijkman
MINGGU, 06 NOVEMBER 2011 | 08:35 WIB

RMOL.“LEMBAGA EIJKMAN”. Tulisan dari plat tembaga terpampang di atas pintu masuk bangunan bercat putih di kompleks Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Walaupun kuno, bangunan itu tampak terawat.

Ketika Rakyat Merdeka me­ngunjungi tempat ini Jumat lalu, suasananya terlihat ramai. Di sisi kanan bagian depan gedung, tampak puluhan sepeda motor terparkir. Bagian ini memang sengaja dijadikan lahan parkir pengunjung RSCM.

Melewati pintu gerbang besar, se­orang satpam berjaga di sisi se­belah kanan. Sikapnya ramah dan bersahabat. Ia kemudian me­nga­rahkan menuju meja resepsionis.

Berjalan sekitar 10 langkah dari gerbang, kita akan melihat dua ruangan di sisi kiri dan kanan. Karena pintu kacanya transparan, bisa dilihat dengan jelas kondisi ruangan ini.

Kita kembali akan melihat tu­lisan Lembaga Eijkman di bagian atas kusen pintu. Berdasarkan penuturan satpam yang berjaga, ruangan di sisi kiri dan kanan ber­fungsi sebagai laboratorium. Ha­nya laboratorium di sisi kiri yang bebas dimasuki pasien. Se­men­tara, di sisi kanan terbatas hanya un­tuk peneliti dan pegawai Eijkman.

Memasuki lab di sisi kiri, ru–angan ini tertata dengan sangat rapi. Dua set kursi kayu diletak­kan tak jauh dari meja rese­p­sio­nis. Di beberapa titik dipajang bing­kai foto bergambar gedung Eijkman tempo dulu. Ditambah dengan temaram lampu dinding, membuat suasana ruangan ini terlihat sangat santai.

Pengunjung tampak berkali-kali keluar masuk menuju ru­angan ini. Setiap pengunjung yang keluar biasanya membawa amplop berukuran besar. Ke­banyakan dari pengunjung sudah berusia lanjut.

Ada yang datang sendirian. Ada juga yang datang bersama ke­luarganya,  karena mem­bu­tuh­kan bantuan akibat kondisinya yang sudah renta.

Di bagian dalam Lembaga Eijk­man tampak gedung besar yang  menghadap pintu masuk. Di ba­gian depan parkir puluhan ken­daraan milik para peneliti Eijk­man. Pengamanan Lembaga Eijk­man terbilang ketat. Selain dijaga satpam, hampir di setiap sisi ba­ngu­nan dipasang kamera CCTV.

Mungkin masih banyak ma­syarakat yang tidak mengetahui Lembaga Eijkman ini. Lembaga ini merupakan pelopor penelitian biomolekuler di Indonesia.

Setelah bertahun-tahun vakum, lembaga ini didirikan kembali ta­hun 1992. Di gedung ini di­ba­ngun kembali budaya meneliti, dididik sejumlah doktor dan master biomolekuler. Di tempat ini juga dihasilkan puluhan paper internasional.

Lembaga ini juga meng­ha­sil­kan penelitian yang tidak hanya bermanfaat untuk pengembangan ilmu, namun bisa pijakan me­ngambil kebijakan nasional da­lam bidang kesehatan melalui ke­ragaman gen di bidang penyakit darah, hepatitis B, maupun malaria.

Bahkan Lembaga Eijkman da­pat menyumbangkan bukti asal ne­nek moyang kita melalui pe­meriksaan genetik yang dikaitkan dengan antropologi. Juga dalam identifikasi jenazah lewat peme­riksaan DNA.

Keberhasilan ini tak hanya di­akui di tingkat nasional, tetapi juga internasional sehingga cu­kup banyak mahasiswa doktor dari ne­gara lain termasuk negara maju.

Sayang, statusnya yang belum jelas akan menjadikan lembaga ini bukan tak mungkin meng­hi­lang dari bumi Indonesia. Tanpa kejelasan status, biaya penelitian dan operasional dengan sistem keuangan negara sekarang akan sulit mengalir ke Eijkman.

Berdasarkan rencana K­e­me­n­terian Riset dan Teknologi, status Lembaga Eijkman akan diubah menjadi lembaga pemerintah nonkementerian (LHKN).

Perubahan ini membuat Eijk­man bersanding bersama tujuh LHKN penelitian lainnya seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan In­donesia (LIPI), Badan Peng­ka­jian dan Penerapan Tenologi (BPPT), dan Lembaga Pener­bangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).

Direktur Lembaga Eijkman, Prof Sangkot Marzuki menu­tur­kan, nasib lembaga ini akan ter­gantung pada perkembangan sam­pai akhir tahun ini. Jika tidak ada penetapan status dan dana, ke­mung­kinan lembaga ini akan mati.

Ketidakjelasan status lembaga ini juga berpengaruh terhadap sta­tus pegawainya. Sangkot me­ngatakan, pegawai di lemba­ga­nya tak mau jadi PNS selama sta­tus Lembaga Eijkman belum je­las. Selama tak menjadi PNS, lanjut Sangkot, mereka bebas ber­karya dimana saja jika sudah tak nyaman di Lembaga Eijkman.

Dari 100 tenaga peneliti di tem­pat ini, hanya 10 persen yang ber­status pegawai negeri. Sisanya ter­catat sebagai pegawai honorer.

Sangkot menjelaskan, para pe­neliti di lembaga ini punya jari­ngan keilmuan yang luas. Kata dia, banyak tawaran untuk men­jadi peneliti di Australia dan Singapura.

Lantaran ketidakjelasan status lembaga dan bukan pegawai ne­geri, para peneliti itu bisa keluar sewaktu-waktu. Bila ini terjadi, kata Sangkot, Lembaga Eijkman dan negara yang dirugikan.

Lembaga Eijkman memiliki laboratorium penelitian mutakhir yang dimiliki Indonesia. Tempat ini memiliki laboratorium bio­sa­fety level 3, mampu meneliti virus flu burung yang berbahaya.

Anggaran penelitian Lembaga Eijkman berasal dari negara dan lembaga penelitian luar negeri yang menjalin kerja sama (kola­borasi). “Potensi kolaborasi lebih besar, tapi terhalang status Eijk­man yang masih satuan kerja Ke­menterian,” kata Sangkot.

Staf Ahli Bidang Kesehatan dan Obat Kemenristek Amin Soe­bandrio, berharap Kemen­te­rian Keme­n­te­rian Penda­yagunaan Apa­ratur Ne­gara dan Birokrasi bisa memastikan status Eijk­man pada tahun ini. Setelah itu, usulan perubahan akan diajukan kepada Presiden dan Keme­n­terian PAN dan Birokrasi. “Harapan kami perubahan sta­tus ini bisa terlak­sana pada ka­binet ini,” ujar Amin.

Amin mengatakan, perubahan status Eijkman akan menarik mi­nat pihak luar untuk turut me­nyum­bang dana penelitian. Se­hingga lebih banyak penelitian biologi molekuler yang bisa dilakukan.

Penelitian biologi molekuler merupakan rantai penting dalam dunia medis karena menyediakan in­formasi terbaru berbagai in­feksi berbahaya. Studi fun­da­men­tal ini bermuara pada pembuatan obat dan vaksin pencegah pe­nyakit.

Dari Beri-beri Sampai Teroris

Lembaga Eijkman berdiri tahun 1888, dan kini menjadi salah satu lembaga riset biomedik terkemuka di Asia Pasifik. Banyak peneliti dari berbagai perguruan tinggi, daerah, ataupun luar negeri meneliti di lembaga ini.

Direktur pertama Lembaga Eijkman, Christian Eijkman, meraih Hadiah Nobel Bidang Fisiologi atau Kedokteran pada tahun 1929 atas temuannya tentang relasi kekurangan vitamin B1 dan penyakit beri-beri.

Bila melihat asal muasalnya, pada Lem­baga ini dibangun sebagai labo­ra­torium riset di bidang patologi dan bakteriologi.

Untuk mengenang jasa Eijkman, namanya diabadikan namanya dipakai untuk lembaga penelitian ini pada 1938. Pada 1960 lembaga ini ditutup seiring de­ngan meningkatkan semangat anti Barat.

Pada Agustus 1990, muncul gagasan di Kementerian Riset dan Teknologi yang saat itu dipimpin BJ Habibie untuk meng­aktifkan kembali Lembaga Eijkman.

Gagasan ini muncul seiring dengan peringatan seratus tahun penemuan Eijk­man tentang defisiensi vitamin B1 sebagai penyebab beri-beri pada Desember 1990.

Pada Juli 1992, lembaga ini dihidupkan lagi. Mulai beroperasi April 1993. Tapi baru diresmikan Presiden Soeharto pada 19 September 1995.

Lembaga ini dihidupkan kembali se­ba­gai jawaban terhadap kebutuhan mendesak Indonesia akan suatu lembaga penelitian biomedis yang mampu mengikuti per­kem­bangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat.

Lembaga ini fokus melakukan pene­litian penelitian biologi sel dan molekul. Juga genetika kedokteran dan manusia, penyakit tropik menular dan rekayasa biomolekul.  

Laboratoriumnya menempati gedung ber­sejarah Lembaga Eijkman di Jakarta Pusat. Dari bangunan seluas 5.500 m2, keseluruhannya telah selesai diperbaiki dan diperbarui, walaupun penyelesaian akhir untuk menjadi sebuah lembaga yang baru masih dalam pengerjaan.

Menteri Riset dan Teknologi Gusti Mu­ham­mad Hatta mengatakan, banyak pi­hak tak memahami pentingnya penelitian da­sar, seperti yang dilakukan Lembaga Eijk­man.

Padahal, penelitian biomedik lembaga ini menghasilkan berbagai in­formasi dasar pembuatan vaksin beragam penyakit hingga mengidentifikasi gen pelaku teroris.

Tunjangan Peneliti Naik 4 Kali Lipat

Direktur Lembaga Eijkman Sangkot Marzuki mengatakan, para peneliti di lembaganya tak khawatir jika harus hengkang. Sebab, mereka bisa berkiprah di lembaga penelitian di luar negeri.

Tentu saja, penghasilan yang mereka dapat dnegan bekerja di lembaga penelitian asing lebih besar dibandingkan di Tanah Air. Selama ini, penghasilan se­bagai peneliti minim. Seorang pene­liti hanya mendapat tun­ja­ngan maksimal Rp 1,4 juta per bulan.

Menteri Riset dan Tek­nologi Gusti Muhammad Hatta me­nga­kui tunjangan peneliti le­bih rendah daripada tunjangan guru.

Ia pun berjanji menaikkan tun­­jangan peneliti hingga em­pat kali lipat, sehingga peneliti terbaik bisa membawa pulang tunjangan Rp 5,5 juta per bulan.

“Besarannya sudah mak­si­mal karena peraturan mem­ba­tasi tun­jangan tak bisa melebihi perole­han pejabat struktural ese­lon I,” ujar Menristek.  Na­mun regulasi mengenai kenai­kan tunjangan peneliti ini masih harus dibahas di internal Ke­menterian.

“Kita tunggu putusannya. Ka­lau dulu tunjangannya Rp 1,4 juta, sekarang minimal Rp 5,5 juta. Kalau ditambah gaji­nya bisa Rp 8-9 juta,” jelas Gusti.

Menurut dia, meski tunja­ngan sudah dinaikkan, peng­ha­si­lan penelitian di Indonesia ma­sih lebih kecil dibanding ne­gara lain, misalnya Malaysia. Na­mun setidaknya dengan ke­naikan ini membuat peneliti lebih sejahtera.

Sembari menunggu regulasi, Menristek menyurati Ke­men­terian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara agar menyi­sa­kan anggaran yang cukup untuk mengakomodasi rencana ke­nai­kan tunjangan ini.

“Surat ini sebagai titipan jika nanti Menteri Keuangan me­na­nya­kan anggaran riset,” kata dia.

Kenaikan tunjangan sendiri tak mungkin diterapkan pada awal tahun depan mengingat Ang­garan Pendapatan dan Be­lanja Negara 2012 telah dite­ken. Revisi anggaran baru bisa dilakukan pertengahan tahun 2012 saat pemerintah dan DPR menyusun Anggaran Pen­da­pa­tan dan Belanja Negara Perubahan.

Meski jeritan para peneliti yang mendedikasikan diri di lem­baga non-kementerian dide­ngar pemerintah. Namun, ke­naikan tunjangan ini masih ha­rus menunggu keputusan pre­siden (keppres).

“Sudah diusulkan, nunggu Keppres. Sudah kita ajukan. Jadi untuk sementara kita naik­kan, nanti kita usulkan lagi,” kata Gusti Soal peneliti yang di­rekrut ne­gara lain, Gusti belum tahu. Tapi, menurutnya,  ini bisa ter­jadi. Namun yang jelas, saat ini dia prioritas kenaikan tun­ja­ngan peneliti.

Sekretaris Kabinet Dipo Alam mem­be­nar­kan akan adanya Keppres bagi kenaikan tunjang­an pe­ne­liti. Namun, dia belum me­mas­tikan kapan Keppres akan se­le­sai. “Kan harus ada ko­ordinasi dulu dengan menteri ke­ua­ngan,” ucap Dipo saat dita­nya kapan Keppres selesai.

Kulit Beras Berbuah Nobel

Christiaan Eijkman dila­hir­kan di Nijkerk, Belanda. Ia putra seorang kepala sekolah. Pada 1875, ia belajar di Sekolah Kedokteran Militer di Uni­versitas Amsterdam. Ia meraih gelar doktor melalui tesis Po­larisasi Syaraf pada 1883.

Tahun itu juga ia berangkat ke Hindia-Belanda (kini Ind­o­nesia) menjadi petugas kese­hatan di Semarang, Cilacap, Jawa Tengah, dan Padang­si­dempuan di Sumatra Utara.

Ia kembali ke Belanda pada 1885 karena menderita sakit. Na­mun, Eijkman dikontak AC Pekelharing dan C Winkler yang menjalankan laboratorium di Batavia (kini Jakarta), untuk menyelidiki kasus beri-beri yang mewabah di Hindia-Belanda.

Selain memimpin penelitian di laboratorium, Eijkman juga men­jadi direktur Sekolah Dok­ter Djawa yang baru dibentuk pemerintah Hindia Belanda.

Sekolah ini merupakan cikal-bakal STOVIA, sekolah pence­tak dokter. Dari sekolah inilah lahir sejumlah tokoh perge­ra­kan nasional. Sekolah ini meru­pa­kan cikal-bakal Fakultas Ke­dokteran Universitas Indonesia.

Di zaman Hindia Belanda, fasilitas laboratorium dan kua­litas riset dan penelitian yang dilakukan Eijkman di Batavia (Jakarta), tidak kalah dengan yang ada dan dilakukan di Paris, Prancis.

Penelitian terkenal Eijkman ialah menemukan penyebab beri-beri. Penyakit itu ber­kem­bang karena kekurangan bahan penting dalam makanan pokok orang Indonesia. Bahan kaya nutrisi itu terdapat di pericar­pium atau kulit ari beras.

Penemuan ini mengarahkan ilmuwan pada konsep vitamin. Ternyata, kulit ari beras me­ngandung vitamin B. Hal ini mem­buatnya memenangkan Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran pada 1929 bersama Gowland Hopkins. Eijkman meninggal di Utrecht karena sakit kronis. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Warganet Beberkan Kejanggalan Kampus Raffi Ahmad Peroleh Gelar Doktor Kehormatan

Senin, 30 September 2024 | 05:26

PDIP Bisa Dapat 3 Menteri tapi Terhalang Chemistry Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

Bakamla Jangan Lagi Gunakan Identitas Coast Guard

Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46

Prabowo Sudah Kalkulasi Chemistry PDIP dengan Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35

UPDATE

Penyelundupan BBL Senilai Rp13,2 Miliar Berhasil Digagalkan di Batam

Jumat, 11 Oktober 2024 | 03:39

Perkuat Konektivitas, Telkom Luncurkan Layanan WMS x IoT

Jumat, 11 Oktober 2024 | 03:13

Pesan SBY ke Bekas Pembantunya: Letakkan Negara di Atas Partai

Jumat, 11 Oktober 2024 | 02:49

Wasit Ahmed Al Kaf Langsung Jadi Bulan-bulanan Netizen Indonesia

Jumat, 11 Oktober 2024 | 02:21

Fraksi PKS Desak Pemerintah Berantas Pembeking dan Jaringan Judol

Jumat, 11 Oktober 2024 | 02:00

Jenderal Maruli Jamin Pelantikan Prabowo-Gibran Tak Ada Gangguan

Jumat, 11 Oktober 2024 | 01:47

Telkom Kembali Masuk Forbes World’s Best Employers

Jumat, 11 Oktober 2024 | 01:30

Indonesia Vs Bahrain Imbang 2-2, Kepemimpinan Wasit Menuai Kontroversi

Jumat, 11 Oktober 2024 | 00:59

AHY Punya Kedisiplinan di Tengah Kuliah dan Aktivitas Menteri

Jumat, 11 Oktober 2024 | 00:38

Mantan Panglima Nyagub, TNI AD Tegaskan Tetap Netral di Pilkada 2024

Jumat, 11 Oktober 2024 | 00:17

Selengkapnya