Mayjen (Purn) Nachrowi Ramli
RMOL.Peringatan Sumpah Pemuda harus dijadikan sebagai momentum bagi pemuda Indonesia untuk kembali kepada jati diri bangsa. Yaitu menjunjung tinggi budaya, bahasa dan nilai-nilai kebangsaan Indonesia.
“Peringatan Sumpah PeÂmuda tahun ini harus dijadikan momentum bagi kaum muda untuk kembali pada jati diri bangÂsa dan empat pilar keÂbangÂsaan sebagai rambunya,†tandas tokoh masyarakat Betawi MayÂjen (Purn) Nachrowi Ramli keÂpada Rakyat Merdeka di Jakarta, keÂmarin.
Pria yang akrab disapa Bang Nara ini mengungkapkan, dirinya prihatin dengan sikap pemuda yang mulai meninggalkan buÂdaya dan nilai-nilai kebangsaan.
Hal ini bisa diselesaikan deÂngan komitmen semua pihak unÂtuk terus menumbuhkan semaÂngat jati diri bangsa Indonesia di kalangan pemuda.
“Saya terenyuh ketika melihat pemuda kita jam 7.00 masih maÂbuk. Lalu kebudayaannya sudah mulai ditinggalkan. Tapi saya yaÂkin masalah itu bisa diatasi kalau kita bekerja sama untuk memperÂbaikinya,†paparnya.
Berikut kutipan selengkapnya:Apa Anda melihat spirit Sumpah Pemuda masih ada saat ini?Harus diingat, Sumpah PeÂmuÂda tahun 1928 dilaksanakan di Gedung Stovia, Jakarta. Peristiwa itu dimaknai sebagai tumbuhnya semangat kesatuan dan persauÂdaraan sebagai bangsa Indonesia. Peristiwa itu terjadi setelah peÂmuda kita melihat dunia luar, peÂmuda kita meÂÂÂlihat keaÂÂdaan di luar negeri sudah merdeka, tetapi kenapa bangsa Indonesia pada saat itu belum merdeka.
Proses kemerÂdeÂkaan kita tidak langÂÂsung diÂdaÂpatkan begitu saja, tetapi deÂngan proses. Saya seÂbaÂgai orang BeÂtawi ikut bangga, pada saat itu pemuda-pemuda BeÂtawi ikut dalam barisan perisÂtiwa sumpah peÂmuda.
Peringatan SumÂpah Pemuda dijadiÂkan momentum perÂbaiÂkan?Kehidupan satu bangsa tidak bisa berÂdÂiri sendiri, suatu bangsa tergantung negara lain. Salah saÂtuÂÂnya globalisasi. Ini ada peÂngaÂruh poÂsitif dan negatif. PeÂngaÂruh positif terliÂhat dengan mudah kita berkoÂmuÂnikasi dengan bangÂsa lain dan juga masyarakat interÂnasional. Dengan adanya globaÂlisasi, kita bisa saling mengadaÂkan kerja sama dan diharapkan muncul
win-win solution.Dampak negatifnya?Dampak negatifnya, budaya kita dengan budaya negara lain beÂlum tentu sama.
Misalnya di negara barat, suami-istri keduaÂnya bekerja deÂngan satu anak.
Bandingkan di Indonesia, haÂnya suami yang bekerja sedangÂkan anaknya empat. Tapi di IndoÂnesia, tanggung jawab sebesar itu, mereka masih bisa tetap berÂtahan karena ada budaya guyub, menerima apa adanya dan saling silaturahmi. Ada nilai-nilai luhur yang harus dipertahankan dan ada nilai kulit yang bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Kalau Anda jadi Gubernur Jakarta, apa yang dilakukan untuk mengatasi masalah keÂpemudaan?Ketika saya tidak menjadi apaÂpun, saya punya tanggung jawab terhadap pemuda dan saya beÂkerja bersama ormas, partai poliÂtik, dan lainnya dengan tujuan memÂbina pemuda. Saya berpanÂdaÂngan, membina haÂrus disusun satu kegiatan yang teÂrencana deÂngan baik, terarah deÂngan jelas dan berÂkesinambungan.
Misalnya kita punya Dinas OlahÂraga dan Pemuda. Dinas ini harus memÂbuat kegiatan pembiÂnaan, bukan hanya fisik dan
skill saja, tetapi pembinaan hati dan mental peÂmuda juga harus dibina.
Anda yakin kegiatan itu bisa berhasil?Apabila dilakukan oleh semua pihak, termasuk pemuda, tokoh masyarakat dan alim ulama harus berpikir bagaimana menyelaÂmatÂkan anak bangsa,
Insya Allah akan berhasil.
Sumpah Pemuda kali ini harus dijadikan momentum bagi kita unÂtuk meliÂhat ke belakang, meliÂhat jati diri bangsa. Konkretnya, para pemuda membuat kegiatan yang sifatnya kreatif, bukan haÂnya sekadar seÂreÂmonial belaka.
Ada kabar 28 Oktober ini akan dilakukan demo untuk mengÂgulingkan pemerintahan?Saat ini kita menghadapi era reformasi.
Reform itu artinya memÂperbaiki, bukan mengganti. Apabila sekarang ada gerakan-geÂrakan yang ingin mengganti peÂmerintahan, menurut saya itu tidak benar.
Peringatan Sumpah Pemuda kali ini dijadikan moÂmenÂtum bagi kita untuk kembali kepada jati diÂri bangsa dengan segala kebangÂgaan dan tanggungÂjawabnya.
Bagaimana dengan isu peÂmiÂsahan wilayah dari NKRI?Prinsipnya empat pilar kebangÂsaan itu tidak boleh lepas. Saya juga masih meragukan, apakah ide untuk berpisah itu dari semua warga atau hanya segelintir warÂga yang diperalat. Namun yang penting, dalam menghadapi maÂsaÂlah seperti itu, harus ada keÂseÂimÂbangan antara diplomasi deÂngan militer. Sebab, apabila kita tidak punya
power, orang tiÂdak mau berunding.
[rm]