Said Aqil Siradj
Said Aqil Siradj
RMOL. Pendekatan agama tidak cukup untuk menghapuskan paham terorisme di Indonesia. Yang paling utama adalah memperbaiki ekonomi rakyat.
“Kalau hanya pengajian atau ceramah saja, barangkali mereka sudah bosan,†kata Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siradj, kepada Rakyat Merdeka, Selasa (27/9).
Menurutnya, keterbelakangan ekonomi merupakan faktor utama penyebab suburnya radikalisme. Untuk itu, perlu ada tindakan konÂÂkret terkait peningkatan keÂsejahteraan rakyat, terutama di daerah yang terindikasi sebagai sarang teroris.
“Di sejumlah daerah terindiÂkasi ada kelompok radikal. NU teÂlah membangun sejumlah saÂrana dan prasarana ekonomi, seÂperti koperasi dan lembaga ekoÂnomi lainnya. Kami berharap, aktivitas sosial ekonomi ini dapat memperkecil pengaruh gerakan radikal,†paparnya.
Berikut kutipan selengkapnya:
Daerah mana saja yang teÂr-inÂdikasi ada kelompok radiÂkal?
Kalau kita bicara soal daerah yang harus menjadi sasaran, sebagian besar ada di pulau Jawa bagian selatan. Misalnya, Garut, Solo dan Ngawi. Selama ini, daeÂrah-daerah tersebut terindikasi menjadi tempat persemaian keÂlomÂpok radikal.
Di sejumlah daerah itu, NU telah membangun dan akan terus memberdayakan perekonomian masyarakat. NU sudah bekerja sama dengan Bulog, KementeÂrian Kelautan dan Perikanan, KeÂmenterian Koperasi dan UKM, serta instansi lainnya untuk meÂningkatkan ekonomi masyarakat.
Selain memÂbaÂngun pereÂkoÂnoÂmiÂan masyarakat, apa upaÂya NU dalam meÂnangkal aksi teÂroÂrisme?
Kita belum serius dalam memÂbangun pemahaman agama yang utuh. Agama maÂsih dimaknai seÂkaÂdar akidah dan syaÂÂriah, seÂbatas surÂga dan neraka, atau halal dan haram.
Padahal, agama tiÂdak hanya bicara itu. Agama berÂbicara soal keÂmanusiaan, buÂdaya dan peraÂdaban. Itulah yang akan dilakuÂkan NU dan tugas besar kita di masa mendatang. Kita harus memÂbangun pemaÂhaman agama yang utuh.
Tidak boleh ada kekerasan daÂlam agama. Kalau ada yang meÂlakukan kekerasan, berarti tidak mengamalkan agama. Orang meÂlakukan pengeboman atas agama, itu berarti jelas menghina agama.
Apa cara itu dapat menyaÂdarÂkan orang yang sudah terÂkena doktrin paham radikal?
Kalau yang sudah terkena doktrin paham radikal, memang sulit disadarkan. Seperti yang saya katakan tadi, mereka sudah meÂyakini surga atau (mati) syahid jika melakukan aksi tersebut.
Makanya fokus kami saat ini adaÂlah melakukan soÂsialisasi dan dialog terhadap orang-orang yang belum terkena pengaruh atau beÂlum menÂdaÂpat dokÂtrin paÂham raÂdikal secara makÂsimal.
Bagaimana dengan pihak yang sudah terdoktrin secara makÂsimal?
Untuk menanggulangi hal itu, dibutuhkan peran intelijen. Saya yakin, selama ini polisi dan inÂtelijen mengetahui atau menÂcuriÂgai gerakan-gerakan tersebut.
Namun mereka memiliki keterÂbatasan kewenangan. Jika masih rencana, bicara, atau sekadar tuliÂsan, belum dapat dijadikan terÂsangka atau dipanggil.
Saya kira sudah saatnya inÂtelijen diberi peran menangkap dan menginterogasi orang yang dicurigai. Asal tidak melanggar HAM, seperti melakukan pemuÂkulan atau intimidasi. Kalau ada bukti dijadikan tersangka. Kalau tidak ada bukti, ya dilepas.
Sejumlah kalangan khawatir kewenangan itu disalahguÂnaÂkan?
Betul. Beberapa LSM tidak setuju dengan ide ini. Khawatir kembali ke era Orde Baru. PadaÂhal, tidak seperti itu.
Saya berpandangan, meÂmangÂgil atau memeriksa pihak yang dicurigai merupakan kewenaÂngan aparat keamanan. Yang penting, kecurigaan itu didukung dengan data, fakta-fakta dan sejumlah indikasi. [rm]
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48
Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
UPDATE
Senin, 29 Desember 2025 | 10:12
Senin, 29 Desember 2025 | 10:07
Senin, 29 Desember 2025 | 10:06
Senin, 29 Desember 2025 | 10:03
Senin, 29 Desember 2025 | 09:51
Senin, 29 Desember 2025 | 09:49
Senin, 29 Desember 2025 | 09:37
Senin, 29 Desember 2025 | 09:36
Senin, 29 Desember 2025 | 09:24
Senin, 29 Desember 2025 | 09:20