Komisi Yudisial (KY)
Komisi Yudisial (KY)
RMOL.Selama periode Januari-Agustus 2011, Komisi Yudisial (KY) menerima 1.169 laporan pengaduan dari masyarakat perihal pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan hakim. Namun, hanya satu hakim yang perkaranya sampai ke Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Lantas, bagaimana nasib laporan pengaduan lainnya?
Adalah perkara hakim PengaÂdilan Negeri Mataram, Edy yang diproses hingga ke MKH. Edy dinilai bersalah oleh MKH karena terbukti menerima duit sebesar Rp 100 juta saat masih menÂjabat sebagai hakim PengaÂdilan Negeri Dumai. Duit itu diÂteÂrima Edy dari temannya, Ita MaÂriani setelah diminta membuat memori kasasi. Karena menerima duit itu, maka pada Selasa 24 Mei 2011, Edy dihukum menjadi haÂkim non palu selama dua tahun dan dicabut remunerasinya.
Tapi, mengapa dari 1.169 lapoÂran yang masuk ke KY, hanya satu yang masuk ke MKH? MenÂdengar hal itu, Wakil Ketua KY Imam Anshori Saleh memÂbeÂnarÂkan, periode Januari-Agustus 2011, MKH hanya meÂnyiÂdangkan satu hakim, yakni Eddy. Namun, katanya, hal itu bukan berarti KY tidak memproses ribuÂan laporan yang masuk.
“Lihat dulu perkaranya. Kalau perkaranya itu berat, maka kami tidak segan untuk membawa maÂsaÂlah itu ke MKH. Tapi, ribuan laÂporan yang masuk itu berÂpoÂtensi hanya pelanggaran ringan,†katanya ketika dihubungi <I>Rakyat Merdeka.
Sekadar mengingatkan, MKH terdiri dari unsur KY dan MahÂkaÂmah Agung (MA). Persisnya, empat orang dari KY dan tiga orang dari MA. MKH menyidang hakim yang diduga melakukan pelanggaran berdasarkan reÂkomendasi KY.
Menurut Imam, dari ribuan laÂporan yang masuk, tidak seÂmuaÂnya dapat ditindaklanjuti KY. SeÂbab, katanya, ada beberapa laÂpoÂran yang tidak tergolong masalah kode etik atau menyentuh maÂsaÂlah putusan hakim. “Nah, kalau yang demikian itu, kami tidak bisa menindaklanjutinya,†tandas dia.
Imam menambahkan, KY siap membawa ribuan laporan itu ke MKH jika memang ada perkara yang tergolong berat. Jika tak terÂgolong perkara berat, katanya, maka KY hanya akan mereÂkoÂmenÂdasikan kepada MA agar memÂberikan teguran tertulis. “Mekanismenya memang seperti itu. Pokoknya kami akan proses semua laporan pengaduan masyaÂrakat yang masuk,†ucapnya.
Ketika ditanya, apakah 1.169 laÂpoÂran pengaduan itu ada yang tergolong pelanggaran berat, Imam belum bisa menÂjeÂlasÂkanÂnya. Menurutnya, hal itu masih perÂlu pengkajian yang mendalam oleh tim panel. “Pokoknya jika ada pelanggaran berat, maka kami akan segera tindaklanjuti,†ujarnya.
Imam menambahkan, sepanÂjang tahun 2005 hingga Agustus 2011, 426 orang memenuhi panggilan KY, sedangkan yang mangkir 16 orang. “Dari jumlah itu, yang dapat direkomendasi mendapatkan sanksi ada 123 hakim,†katanya.
Dia merinci, dari 123 hakim yang direkomendasikan menÂdaÂpat sanksi itu, 17 hakim diberhenÂtiÂkan, 11 hakim diberhentikan seÂmentara selama dua tahun, dua haÂkim diberhentikan sementara seÂlama 18 bulan, 11 hakim diberÂhenÂtikan sementara satu tahun, 11 hakim diberhentikan selama enam bulan dan dua hakim diberÂhentikan sementara selama tiga bulan. “Sementara teguran tertulis untuk hakim sebanyak 69,†ujarnya.
Dari total itu, 15 laporan sudah ditÂerima MA. Rinciannya, tujuh rekomendasi diterima MA, tiga rekomendasi diterima tapi meÂnunggu pemeriksaan, dan lima haÂkim diajukan ke MKH. SeÂmentara yang ditolak MA, kata Imam, jumlahnya 41 dengan alasan menyentuh teknis yudisial. “Yang sudah dijatuhi sanksi oleh MA ada tujuh hakim, ditolak deÂngan alasan lain ada tujuh, seÂmenÂtara yang belum ada tangÂgaÂpan sebanyak 108,†ucapnya.
Menurut Juru Bicara KY Asep Rahmat Fajar, pada periode JaÂnuari-Agustus 2011, KY telah meÂnerima 1.169 laporan pengaÂduÂan dari masyarakat. Lima daeÂrah dengan laporan terbanyak adalah Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatra Utara dan Jawa Tengah.
Berdasarkan rapat panel KY untuk menindaklanjuti laporan tersebut, yang tidak dapat ditinÂdaklanjuti sebanyak 300 laporan. Sementara, yang dapat ditinÂdakÂlanjuti ke tahap selanjutnya, yakÂni pemeriksaan hakim bermaÂsaÂlah sebanyak 206 laporan. “SiÂsanya masih telaah laporan oleh tim pengawas hakim,†ujarnya.
Asep menjelaskan, MKH memÂberikan satu kali sanksi atas nama hakim Eddy yang putuÂsanÂnya divonis sebagai hakim yusÂtiÂsial atau non palu selama dua taÂhun. Disamping itu, katanya, yang bersangkutan tidak diberiÂkan remunerasi pendapatan seÂlama dua tahun.
Reka Ulang
Kasusnya Cuma Sekelas Rp 100 Juta
Periode Januari hingga AgusÂtus 2011, Eddy merupakan satu-satunya hakim yang dibeÂrikan sanksi oleh Majelis KehorÂmatan Hakim (MKH).
Hakim Pengadilan Negeri MaÂtaram, Nusa Tenggara Barat itu terbukti telah menerima uang seÂbeÂsar Rp 100 juta untuk biaya membantu membuat memori kasasi.
Alhasil, pada Selasa 24 Mei 2011, Eddy dijatuhi sanksi berupa pemberhentian sementara sebagai hakim selama dua tahun.
Hari itu, saat sidang berlangÂsung pada pukul 10.WIB di GeÂdung MA, Jakarta, terdakwa Eddy menceritakan kepada MKH awal mulanya kasus itu. Perkara tersebut bermula saat dia menjadi hakim Pengadilan Negeri Dumai. Ketika itu, Eddy bertemu teman SMA-nya, Ita pada pertengahan Juli 2008.
Namun, ia membantah bahwa pertemuan itu berkaitan dengan perÂÂkara yang sedang ditangaÂniÂnya. “Dia meminta saya memÂbantu mengajukan kasasi ke MA terkait sengketa tanah di DuÂmai,†ucapnya.
Mendengar permohonan banÂtuan itu, Eddy mengaku awalnya tidak bisa membantu Ita secara langsung. Namun, dia berjanji mengenalkan Ita dengan seorang pengacara bernama Edy Hamsy. Eddy mengatakan kepada Ita bahwa biaya menyewa pengaÂcara untuk perkara tersebut seÂbesar Rp 100 juta.
Setelah mendengar arahan itu, tanpa ragu Ita mengirimkan uang tersebut dengan cara mentransfer ke rekening Eddy. “Uang Rp 100 juta saya serahkan kepada Edy Hamsy. Saya dapat Rp 2,5 juta dari Ita. Edy Hamsy memberikan saya Rp 15 juta,†katanya.
Namun, lanjut Eddy, majelis kasasi MA menolak permohoÂnan kasasi yang diajukan Ita melalui Edy Hamsy. “Ita keÂceÂwa dan meminta uang dikemÂbaliÂkan,†ujarnya.
Lantaran tak berhasil mendaÂpatkan uangnya kembali, pada akhir 2010, Ita mengajukan perÂsoalan tersebut ke KY dan meÂnyebut Eddy menerima sejumlah uang untuk membantu suatu peÂrÂkara. Dalam persidangan, Eddy meÂngaku telah mengganti sebaÂgian uang yang Ita berikan. Kata Eddy, Istrinya telah mengganti uang Ita sebesar Rp 55 juta dan berupaya melunasi sisanya.
Sidang MKH ini dipimpin perÂwakilan dari KY dan MA. PerÂwaÂkilan dari Mahkamah Agung yakni Zaharudin Utama, KoÂmaÂriah Embong dan Supandi. KoÂmisi Yudisial terdiri dari TauÂfiÂqurrahman Syahuri, Suparman Marzuki, Jaja Ahmad Jayus, dan Abbas Said.
MKH memutus, Eddy terbukti menerima uang untuk jasa mengurus perkara tingkat kasasi. “Saudara Eddy dijatuhi hukuman disiplin berupa mutasi di PengaÂdilan Tinggi Jambi sebagai hakim non palu selama dua tahun, dan diÂcabut remunerasinya,†kata KeÂtua MKH kasus ini, TauÂfiÂqurrahman Syahuri.
Menurut MKH, Eddy terbukti bersalah karena bertindak sebagai perantara orang yang mau meÂngaÂjukan kasasi ke MA, Ita MaÂriani dengan pengacara Edy HamÂsy terkait sengketa tanah.
“Dalam kurun waktu menÂjalani huÂkuman, saudara Eddy tak berÂhak mendapat remunerasi sama sekali. Saudara Eddy harus mendapatkan pembinaan di Pengadilan Tinggi Jambi,†ucapnya.
Ragukan Kinerja Komisi Yudisial
Jusuf Rizal, Presiden LSM LIRA
Presiden LSM Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Jusuf Rizal meminta DPR mengeÂsahÂkan revisi Undang-Undang KoÂmisi Yudisial (KY). Pasalnya, kata dia, di tengah situasi lemÂbaga peradilan yang carut marut seperti ini, sudah saatnya munÂcul lembaga adhoc yang mamÂpu mengawasi sekaligus memÂberikan sanksi kepada instruÂmen peradilan yang melanggar ketentuan.
“Bagaimana KY mau beÂkerja dengan baik kalau setiap rekoÂmendasi yang dilakukan selalu diprotes MA. Maka waÂjar saja kalau KY saat ini saÂngat lemah dalam melakukan tugasnya,†katanya.
Menurut Jusuf, sudah saatÂnya KY diberikan kewenaÂngan leÂbih. Sebab, kata dia, saat ini kinerja KY seakan tidak pernah terÂÂlihat di mata masyarakat. KaÂrena itu, Jusuf mengimbau DPR untuk meÂngesahkan revisi UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
“Dengan begitu, KY baru bisa menambah keweÂnaÂnganÂnya, yakni pemberian sanksi terÂhadap hakim secara langÂsung dan pemanggilan paksa,†tegasnya.
Ketika ditanya, mengapa beÂgitu menginginkan KY bisa melakukan pemanggilan paksa, Jusuf menjawab, hal itu lantaran para hakim di bawah naungan MA kerap mangkir dari pangÂgilan. Soalnya, tidak ada sanksi yang mengatur kewajiban haÂkim memenuhi pemeriksaan KY. “Dengan ekspektasi besar tapi kewenangan yang dimiliki limitatif, maka hal itu sama saja bohong,†ucapnya.
Alhasil, Jusuf ragu pada kiÂnerja KY yang saat ini belum diÂdukung legalitas undang-unÂdang. Soalnya, undang-undang itu belum mampu untuk menÂcipÂtakan perbaikan instansi peradilan di Tanah Air. Jusuf berÂharap, KY bisa menjadi lemÂbaga yang hampir mendekati KPK dalam hal kewenangan tuÂgasnya. “Kalau begitu, sudah tenÂtu para hakim akan mikir seÂribu kali untuk melakukan peÂlanggaran,†katanya.
Rekomendasi KY Sering Ditolak MA
Bambang Soesatyo, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo meminta Mahkamah Agung (MA), sebaÂgai lembaga yang menaungi para hakim, bekerjasama deÂngan Komisi Yudisial (KY) untuk menciptakan lembaga peradilan yang bebas dari jeratan mafia peradilan.
Bambang pun berharap, MA dapat menghargai rekomenÂdasi yang dikeluarkan KY. “Tidak seperti sekarang ini. Saya lihat MA kerap menolak apa yang telah direÂkoÂmenÂdaÂsiÂkan KY,†ujarnya.
Karena itu, Bambang kemÂbali meminta MA untuk memÂperbaiki kinerjanya dalam meÂnaungi para hakim. Menurut Bambang, apabila MA tidak meÂnunjukkan kinerja terbaikÂnya, maka dirinya di Komisi HuÂkum akan mengusulkan suÂpaya anggaran untuk MA diÂpotong.
“Saat rapat dengan kami, MA mengusulkan DPR supaya mengesahkan anggaran sebesar Rp 6 triliun. Tapi jika tak ada peningkatan, maka akan kami potong anggaran itu,†ucap politikus Golkar ini.
Saat ditanya, apa alasan ingin memotong anggaran MA, dia menjawab bahwa semua anggaÂran lembaga pemerintah saat ini diatur dengan metode berbasis kinerja. Menurutnya, jika kiÂnerja suatu lembaga pemerintah menurun, maka tidak mustahil anggaran yang diberikan keÂpada lembaga itu akan diÂpotong. “Jadi, jangan semata-mata ingin anggaran besar tanpa hasil kerja yang memuaskan,†tandasnya.
Bambang merasa anggaran sebesar Rp 6 triliun untuk MA sangat memberatkan. Soalnya, kata dia, jika anggaran sebesar itu dikaitkan dengan maraknya sejumlah hakim yang terbukti menerima suap, maka akan terjadi penolakan yang deras dari masyarakat.
“Kita prihatin banyaknya peÂnangkapan hakim dan putusan hakim yang tidak sesuai fakta hukum. Ini menjadi catatan kami untuk meninjau ulang anggaran,†tegasnya.
Mengenai revisi Undang-UnÂdang KY, Bambang setuju jika KY diberikan porsi kewenÂaÂngan untuk melakukan eksekusi terhadap para hakim yang terÂbukti melanggar kode etik.
“ItuÂlah yang saat ini sedang kami bahas. Semoga saja bisa terÂwujud,†katanya. [rm]
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
UPDATE
Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:52
Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:43
Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:32
Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:13
Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:26
Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:07
Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:52
Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:24
Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:07
Sabtu, 27 Desember 2025 | 13:41