Berita

Zainal Arifin Hoesein

X-Files

Polri Ogah Beber Bukti Kenapa Zainal Tersangka

Kasus Surat Palsu MK Akan Dibawa ke Praperadilan
RABU, 07 SEPTEMBER 2011 | 08:39 WIB

RMOL. Tersangka kasus surat palsu Mahkamah Konstitusi (MK), yakni bekas Panitera MK Zainal Arifin Hoesein terus bermanuver. Kemarin, Zainal mengadukan penetapan tersangka terhadap dirinya ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Diadukan seperti itu, pihak Mabes Polri bersikukuh tak mau memberkan bukti kenapa Zainal jadi tersangka.          

Kepala Divisi Humas Polri Ir­jen Anton Bachrul Alam berdalih, pihaknya baru akan membuka bukti keterlibatan Zainal dalam persidangan. “Kita tunggu. Nanti akan dibuka di persidangan,” kata bekas Kapolda Jawa Timur ini.

Anton mengklaim, penetapan status tersangka terhadap Zainal tentu didasari fakta dan buk­ti yang cukup, meski banyak yang me­ragukan, benarkah Polri me­miliki bukti itu. Soalnya, Polri ter­kesan tertutup sekali mengenai ba­rang bukti apa yang membuat Zainal menjadi tersangka.

Dalam kasus-kasus lain, pe­ne­tapan seseorang menjadi ter­sang­ka dibarengi penjelasan mengenai bukti yang menguatkan peneta­pan tersebut. Namun, Anton ber­sikukuh bahwa tanpa ada bukti-bukti yang cukup, tentu penyidik tidak akan berani menetapkan Zainal menjadi tersangka.

“Yang pasti, polisi telah me­ne­mu­kan adanya peran Zainal da­lam pembuatan surat putusan pal­su MK,” tandas bekas Kapolda Ke­pulauan Riau ini, kemarin.

Anton beralasan, Polri tidak mau menjabarkan bukti kete­r­li­ba­tan Zainal semata demi kepen­ti­ngan pengembangan penyidikan, bukan karena tidak mampu mem­buktikan keterlibatan bekas Pani­tera MK itu.

Dia pun me­nya­ta­kan, Polri ti­dak tebang pilih da­lam mene­tapkan tersangka kasus ini, meski banyak yang heran, ke­napa hanya Zainal dan juru pang­gil MK Masy­huri Hasan yang ditetapkan sebagai tersangka.

“Kasus ini masih dalam tahap pengembangan. Kami masih menggali keterangan dan bukti-bukti lain yang bisa mengarah pada tersangka lain,” dalihnya.

Seperti diketahui, sejumlah orang yang dalam rapat Panja Ma­fia Pemilu DPR diduga ter­libat kasus surat palsu ini, seperti bekas hakim MK Arsyad Sanusi, Neshawati (anak Arsyad), caleg Partai Hanura Dewi Yasin Limpo dan bekas anggota KPU Andi Nur­pati (kini pengurus DPP Par­tai Demokrat) tidak ditetapkan Polri sebagai tersangka.

Anton menambahkan, kepo­lisian sama sekali tidak mendapat tekanan dari pihak luar, meski baru menetapkan Zainal dan Masyhuri sebagai tersangka. “Ti­dak ada intervensi kepada ke­polisian dalam menangani per­kara. Semua dilakukan sesuai prosedur,” akunya.

Sementara itu, seusai mela­porkan dugaan penyimpangan penanganan kasus ini kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hu­kum, pengacara Zainal, A Rivai menjelaskan, pihaknya telah menyampaikan kronologi kasus ini kepada Satgas.

Kronologi perkara ini, me­nu­rutnya, berawal sejak kliennya menerima surat KPU berisi per­mintaan penjelasan Putusan MK Nomor 84 Tahun 2009, surat MK No 112, 14 Agustus 2009 yang di­identifikasi palsu dan Surat MK No 112, 17 Agustus 2009 yang asli.

Menurut Rivai, dari kronologi  yang disampaikan kepada Satgas, alur penyelidikan dan penyidikan kepolisian dalam mengungkap motif para tersangka pemalsuan surat sudah kelihatan. Artinya, sambung dia, skema penye­li­di­kan dan penyidikan semestinya berangkat dari motif pemalsuan lebih dahulu.

“Kalau motifnya sudah jelas, bahwa ada faksimili KPU ke­pada MK berisi permintaan pen­je­lasan, kemudian MK mengirim surat asli pada tanggal 17, ter­nyata tanggal 14 ada surat palsu. Mesti­nya hal ini dibuat dasar untuk mengungkap semua,” protesnya.

Dia berharap, laporan ke Sat­gas itu bisa mendorong pela­k­sa­naan gelar perkara kasus tersebut. Soalnya, lanjut Rivai, hasil gelar perkara akan menunjukkan  se­cara jelas keterlibatan aktor inte­lektual dalam kasus ini.

Mengenai kemungkinan kubu Zainal melancarkan gugatan pra peradilan terha­dap ke­po­li­si­an, Rivai mengakui, hal itu masuk ka­jian tim kuasa hukum tersang­ka. Namun, sambungnya, lang­kah pra peradilan baru akan di­tempuh setelah laporan ke Ko­misi Kepolisian Nasional (Kom­polnas), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Ko­misi Nasional Hak Azasi Ma­nu­sia (Komnas HAM) dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum tidak membuahkan hasil optimal.

“Kami pikir-pikir untuk me­nempuh langkah tersebut. Tapi, itu baru dilakukan nanti setelah se­mua upaya hukum yang dilaku­kan tak memberi hasil,” katanya.

Menanggapi berbagai upaya ter­sangka, Kadivhumas Polri Anton Bahrul Alam menyatakan, selama masih sesuai koridor hu­kum, berbagai manuver tersang­ka itu merupakan hal yang wajar.

“Itu hak setiap orang. Pada prinsipnya, kepolisian men­jun­jung tinggi hak-hak hukum setiap warga negara. Kalaupun ada gugatan praperadilan, kami siap meng­hadapinya,” ujar dia.


Ingatkan Polisi Jangan Mau Diintervensi

Andi Rio, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi me­minta Mabes Polri yang me­nangani kasus surat palsu pu­tu­san Mahkamah Konstitusi (MK), hendaknya mampu me­nunjukkan independensi dalam proses penegakan hukum.

Yang paling penting saat ini, menurut Andi, bagaimana Polri segera mengungkap siapa aktor intelektual kasus tersebut. Dia juga berharap, semua kom­po­nen masyarakat konsisten me­ngawal kepolisian agar tidak mu­dah dipengaruhi atau diin­tervensi pihak tertentu.

Menurut dia, rekomendasi Panja Mafia Pemilu DPR men­dorong penuntasan kasus ini bisa dijadikan masukan bagi ke­polisian. Akan tetapi, dia meng­garisbawahi, rekomendasi Pan­ja Mafia Pemilu tidak bisa se­cara keseluruhan diserap pe­nyidik kepolisian.

“Ada perbedaan mendasar antara Panja Mafia Pemilu de­ngan kepolisian.

Persoalan yang dibahas Panja lebih fokus pada masalah po­litis, sementara kepolisian le­bih mengedepankan fakta hu­kum. Tapi, perbedaan prinsip tersebut tidak perlu diper­soal­kan,” katanya.

Sedangkan upaya-upaya kubu tersangka Zainal Arifin Hoesein, bekas Panitera MK un­tuk memprotes penetapan ter­sangka itu, menurut Andi, merupakan konsekwensi logis yang biasa dihadapi Polri.

“Karena itu, komitmen Polri menunjukkan kinerjanya secara optimal sangat diharapkan. Kita semua menantikan bagaimana akhir penuntasan kasus ini. Serta apa hal yang mendasari ke­­polisian menetapkan tersang­ka kasus ini,” ujarnya.

Menanggapi berbagai upaya Zainal untuk menggugurkan status tersangkanya, Kepala Di­visi Humas Polri Irjen Anton Bahrul Alam menyatakan, sela­ma masih sesuai koridor hu­kum, berbagai manuver ter­sang­ka itu merupakan hal yang wajar. “Itu hak setiap orang. Pada prinsipnya, kepolisian menjunjung tinggi hak-hak hu­kum setiap warga negara. Ka­laupun ada gugatan pra­pe­ra­dilan, kami siap meng­ha­da­pinya,” ujar dia.


Siapa Pelakunya Siapa Penyuruhnya Siapa Otaknya

Alex Sato Bya, Bekas Jaksa Agung Muda

Bekas Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Alex Sato Bya menilai, rencana tersangka kasus surat palsu Mahkamah Konstitusi (MK) Zainal Arifin Hoesein mempraperadilankan Mabes Polri, prematur.

Dalam pandangan Alex, praperadilan bisa dilakukan jika memenuhi salah satu dari empat poin yang berlaku. “Pertama, sa­lah tangkap. Kedua, salah tahan. Ketiga, pemberhentian pe­nyidikan secara spontan. Ke­empat, pemberhentian penun­tutan yang tidak disertai dalil yang jelas,” katanya.  Menurut dia, jika tidak me­menuhi salah satu poin tersebut, maka upaya praperadilan akan menjadi suatu hal yang sia-sia saja.

Meski begitu, pria asal Go­rontalo yang kini menjabat se­bagai staf khusus bidang hukum Ke­menterian ESDM ini me­ngakui, Polri cen­derung lamban dalam mena­ngani kasus ter­se­but. Sehingga, katanya, asumsi yang timbul di tengah ma­sya­ra­kat menjadi variatif. Tapi, lan­jut dia, lam­ban­nya Polri bukan dengan ala­san yang tidak jelas. Dia yakin, Mabes Polri punya alasan jelas dalam menangani kasus ini.

Alex menduga, Korps Bha­yangkara sedang menerapkan sistem deelneming alias siapa saja yang terlibat dalam kasus ini. Menurutnya, deelneming mempunyai empat poin caku­pan. “Pertama siapa yang mela­kukan, siapa yang menyuruh, siapa yang turut serta me­la­kukan dan siapa otak di balik kasus itu,” tandasnya.

Dia pun tidak yakin Mabes Polri akan memberhentikan per­kara tersebut. Menurutnya, sua­tu perkara pada tingkat pidana umum dapat berubah statusnya menjadi veerjaad alias lewat waktu setelah 12 tahun.

“Setelah lewat waktu baru bisa dihentikan. Tapi, kasus ini belum ada 12 tahun. Jadi, per­karanya masih terus berjalan. Sabar saja, tunggu waktunya yang tepat,” ucapnya.   [rm]


Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Investigasi Kecelakaan Jeju Air Mandek, Keluarga Korban Geram ? ?

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:52

Legislator Nasdem Dukung Pengembalian Dana Korupsi untuk Kesejahteraan Rakyat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:43

Ledakan Masjid di Suriah Tuai Kecaman PBB

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:32

Presiden Partai Buruh: Tidak Mungkin Biaya Hidup Jakarta Lebih Rendah dari Karawang

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:13

Dunia Usaha Diharapkan Terapkan Upah Sesuai Produktivitas

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:26

Rehabilitasi Hutan: Strategi Mitigasi Bencana di Sumatera dan Wilayah Lain

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:07

Pergub dan Perda APBD DKI 2026 Disahkan, Ini Alokasinya

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:52

Gebrakan Sony-Honda: Ciptakan Mobil untuk Main PlayStation

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:24

Kebijakan Purbaya Tak Jauh Beda dengan Sri Mulyani, Reshuffle Menkeu Hanya Ganti Figur

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:07

PAN Dorong Perlindungan dan Kesejahteraan Tenaga Administratif Sekolah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 13:41

Selengkapnya