RMOL. Jangan sampai KPK dijadikan komoditas yang diperdagangkan oleh pimpinannya dengan alasan apapun.
â€Pendapat saya ini bukan untuk melemahkan KPK. Tapi sekadar mengingatkan bahwa KPK seÂbagai lembaga superbody meÂmerÂlukan pimpinan yang berÂinÂÂtegritas super juga,†ungkap KeÂtua Komite Pemantau Korupsi NaÂsional (Konstan), Imam HerÂmanÂto, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, Selasa (16/8).
Menurut Imam, upaya yang diÂlaÂkukan Komite Etik untuk memeriksa dugaan keterlibatan petinggi KPK, tidak akan berarti apabila tidak diikuti dengan tindakan hukum.
Apabila Komite Etik meneÂmuÂkan bukti konkrit, serahkan kasus ini ke aparat hukum. Bila oknum KPK terbukti kongkalikong, wajar dihukum gantung.
â€Penegakan hukum seperti ini agar tidak ada lagi yang berani berÂmain kasus di KPK,†tegasnya.
Berikut kutipan selengkapnya;
Anda yakin apa yang dituÂduhÂkan Nazaruddin terhadap pimÂpinÂan KPK?Saya memiliki rekam jejak pemÂberantasan korupsi oleh KPK. Kasus terakhir (tudingan NaÂzaruddin) merupakan tamÂparan keras bagi lembaga superÂbody seperti KPK untuk bisa memperbaiki kinerja.
Kita harus meyakini, KPK adaÂlah kendaraan super untuk memÂberantas korupsi. Namun selama ini belum ada driver berpeÂngaÂlamÂan dengan integritas tinggi yang mengendalikannya.
Bagaimana caranya agar kiÂnerÂja KPK efektif?KPK akan lebih efektif jika mengedepankan supervisi dan koordinasi. Namun bisa dipahami jika KPK terlihat enggan melaÂkuÂkan koordinasi, karena sumber daya manusia (SDM) yang ada di KPK juga berasal dari kejaksaan dan kepolisian.
Yang disesalkan, kedua lemÂbaga itu terkesan tidak mengiÂrimÂkan kader terbaiknya. Misalnya, seÂorang Kepala Kejaksaan NeÂgeri (Kajari) menjadi Direktur di KPK.
Padahal jenjang karier seorang KaÂjari menjadi Direktur di keÂjakÂsaan masih memerlukan beberapa kali tahapan promosi. Ini yang membuat kualitas SDM di KPK patut dipertanyakan.
Bukankah selama ini mereka telah berprestasi?Memang benar, ada sejumlah prestasi yang ditorehkan KPK deÂngan mengungkap kasus korupsi politik yang melibatkan sejumlah anggota DPR.
Apa itu tidak cukup bahwa KPK serius memberantas koÂrupÂsi?Apa yang dilakukan KPK itu terÂkesan insidentil. Tidak komÂpreÂhensif penanganannya. Dalam kasus Urip Tri Gunawan, saat itu KPK diharapkan sebagai entry point untuk bersih-bersih di Kejaksaan Agung. Namun Jaksa Urip satu-satunya jaksa yang terÂbelit kasus itu.
Maksudnya?Munculnya kasus Nazaruddin, seÂmua kalangan mengkait-kaitÂkan penanganan kasus di KPK yang tebang pilih, dengan ‘perÂteÂmuan-pertemuan khusus’ seÂperti yang diungkap Nazar. Kita tidak perlu berpolemik, cukup hitung sejumlah kasus yang tidak tuntas. Seperti kasus aliran dana Yayasan Pengembangan PerÂbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp 100 miliar pada tahun 2003. Dalam kasus ini KPK sudah menÂjerat, Aulia Pohan, Burahanuddin AbÂdullah, Bun Bunan Hutapea, Aslim Tadjuddin, dan Maman SuÂmantri. Tapi yang sangat disaÂyangkan sampai saat ini KPK belum bisa menjerat bekas pimÂpinan BI lainnya.
Apa indikasi pimpinan BI lain juga terlibat?Di dalam Rapat Dewan GuberÂnur (RDG) tanggal 3 Juni dan 22 Juli 2003, semua Dewan GuÂberÂnur hadir dan menyetujui hasil raÂpat tersebut. Rapat tersebut terÂkait pengucuran uang Rp 100 miliar. RDG 22 Juli telah meÂnyetujui dan merealisasikan pengÂgunaan dana Rp 71,5 miliar dengan perincian Rp 100 miliar diÂkurangi jumlah yang telah diÂkuÂrangi oleh YPPI untuk ditarik sebesar Rp 28,5 miliar. SelanÂjutÂnya dibentuklah panitia PangemÂbangan Sosial KeÂmasyarakan (PSK) guna penarikan pengÂguÂnaan dana penata usaha.
Artinya Anda ingin bilang terjaÂdi tebang pilih ya?Betul. Ada tebang pilih. BahÂkan bisa dikatakan ada kemuÂnaÂfikan. Misalnya Pasal 6 Bab IV Kode Etik Pimpinan KPK, seÂorang pimpinan KPK dilarang berÂmain golf dengan pihak-pihak yang berpotensi menimbulkan benÂturan kepentingan.
[rm]