RMOL. Hingga kemarin, proses seleksi calon hakim agung (CHA) di Komisi Yudisial (KY) baru berjalan tiga hari. Sejumlah CHA mempunyai harta yang jumlahnya melimpah untuk ukuran hakim karier.
Hal itu membuat curiga tim panelis dari KY. Alhasil, tim panelis mempertanyakan harta yang dimiliki para CHA itu.
Nommy Siahaan adalah salah seorang CHA yang hartanya diÂpertanyakan tim panelis. Hakim Pengadilan Tinggi Palangkaraya itu ditanya mengenai asal usul harÂtanya yang mencapai angka Rp 1,5 miliar.
Komisioner KY Suparman MarÂÂzuki menanyakan kebenaran jumlah hartanya itu. Tanpa basa-basi, Nommy mengakui hal terÂsebut. “Benar Pak, kira-kira seÂgitulah,†katanya kepada tim paÂnelis di lantai 4 Gedung KY, JaÂkarta, kemarin. Suparman kemÂbali memÂperÂtaÂnyakan seputar keÂbenaran hakim Nommy memiliki tabungan di Bank Mandiri yang mencapai Rp 200 juta.
“Sejak kapan Anda punya harta tersebut,†tanya Suparman. “KaÂlau rekening Mandiri itu, saya suÂdah punya sejak tahun 1992 Pak,†jawab Nommy.
Atas jawaban tersebut, SuparÂman kaget bukan kepalang dan kembali mencecar. Soalnya, Bank Mandiri adalah hasil merÂger beberapa bank setelah era reÂformasi tahun 1998. Mendengar cecaran itu, Nommy meralat jaÂwaÂbannya. “Maaf Pak, maksud saya tahun 90-an,†ujarnya.
Menurut Nommy, harta itu gabungan yang dia dapat dengan istrinya yang merupakan pegawai negeri sipil. Dia mengaku juga mendapatkan gaji dan penÂgÂhaÂsilan sebagai dosen, penulis, dan editor buku. Selain itu, ia pernah meÂnerima hadiah dari seorang pihak yang berperkara berupa satu ekor ayam kampung dan beberapa buah singkong.
Mendapati jawaban Nommy yang merasa tidak masalah deÂngan pemberian ayam kampung beserta singkong itu, Suparman keberatan. Menurut Suparman, pemberian atau hadiah itu benÂtukÂnya bisa berkembang. AwalÂnya ayam atau singkong, berikutÂnya bisa jadi sertifikat tanah atau kunci mobil. “Pemberian itu subÂstanÂsinya sama saja. Dia bisa berkembang,†ujar Suparman.
Sebelumnya, ada nama calon haÂkim agung Muhammad DaÂming Sunusi. Saat ini, dia menÂjabat sebagai Wakil Ketua PengaÂdilan Tinggi Medan. Tim panelis menyampaikan berbagai macam pertanyaan kepada Daming lanÂtaran jumlah harta kekayaannya mencapai Rp 1,9 miliar.
“Bisa sauÂdara jelaskan, soal harÂta saudara yang berjumlah seÂkitar Rp 1,9 Miliar? Berapa gaji sauÂdaÂra, dan istri saudara?†taÂnya KoÂmiÂsioner KY Suparman MarÂzuki keÂÂpada Daming pada Kamis (21/7).
Daming yang saat itu mengÂgunakan jas hitam dan celama panÂjang hitam, menerangkan seÂputar kepemilikan harta sebesar Rp 1,9 miliar tersebut. Daming mengÂklaim, harta yang didapatÂnya itu merupakan harta halal dan bukan merupakan hasil peneÂriÂmaan suap apalagi korupsi.
“Saya punya usaha kebun, dan punya usaha perikanan yang masih aktif dan bisa memberikan keuntungan per tahun,†akunya.
Tapi, jawaban yang singkat itu tidak membuat hati Suparman lega. Suparman kembali meÂnaÂnyaÂkan penghasilan usaha perkeÂbunan tersebut. “Berapa pengÂhaÂsilan usaha Anda per tahun,†tanya Suparman.
Wakil Ketua Pengadilan Tinggi MeÂdan itu pun dengan santainya menjawab. “Untuk perikanan terÂgantung harga musiman, intinya bisa ratusan juta per tahun. Untuk perkebunan bisa Rp 35 juta per bulan,†katanya.
Daming juga dimintai peniÂlaiÂanÂnya mengenai permainan haÂkim dalam memutus perkara. MeÂnurutnya, apabila seorang haÂkim menerima suap untuk mempeÂngaÂruhi putusannya, maka hakim tersebut akan bermain di pertimÂbangan hukum.
“Tentu akan main di pertimÂbangan hukumnya, dan dia memÂbuat pertimbangan huÂkum sesuai keinginan nafsunya,†ucapnya.
Selanjutnya, CHA Made Rawa Aryawan dibombardir pertanyaÂan panelis KY terkait
track reÂcord-nya selama 29 tahun menÂjadi hakim. Terutama mengenai uang jaminan perkara Rp 4 miliar dalam kasus pencemaran lingkuÂngan oleh kapal berbendera YuÂnani, MT Panos, di Balikpapan, Kalimantan Timur. Hakim Made diwawancarai oleh tim panelis pada Kamis (21/7).
Panelis yang saat itu dipimpin Ketua KY Eman Suparman meÂnaÂnyakan isu uang perkara Rp 4 miliar saat Made menjadi Ketua Pengadilan Negeri Balikpapan 2004-2006. Kepada panelis, Made menyatakan bahwa uang tersebut adalah uang jaminan atas penangguhan penahanan.
“Saat itu ada kapal Yunani yang disewa Pertamina bersandar di pelaÂbuÂhan lebih dari 30 hari. Menurut peÂraturan internasional, ini peÂlanggaran. Lalu polisi memÂproÂses secara pidana. Selain piÂdana, juga pemilik kapal didenda Rp 100 juta per hari,†kata Made.
Namun, Made menolak telah meÂnerima Rp 4 miliar dari kasus tersebut. Menurut dia, Rp 4 miliar itu merupakan uang yang dibeÂrikan terdakwa kasus tersebut guna menÂdapatkan penangguhan penaÂhanan. Kemudian, katanya, uang itu ditiÂtipÂkan ke Bank BRI setempat.
Setelah kasus itu seleÂsai, Made menyatakan bahwa uang tersebut sudah diserahkan ke kas negara. “Demi Tuhan, tidak satu sen pun uang itu ada yang masuk ke kanÂtong saya,†ucap Made sambil meÂÂngacungkan dua jarinya ke atas.
Selain kasus tersebut, Made juga dicecar dengan pertanyaan seputar kepemilikan jam merek Junghans di rumahnya. KecuÂrigaan panelis KY muncul karena Made tidak punya hobi menÂgoÂleksi jam antik.
Menurut inveÂsÂtiÂgasi panelis KY, di pasaran jam berdiri model klasik abad perÂteÂngahan ini, diÂbandrol dengan harga Rp 10 juta hingga puluhan juta rupiah.
Kepada panelis, Made meÂngaku jam tersebut dibeli istrinya pada 2005. Dia pun membantah jam antik buatan Jerman ini bernilai mahal. “Harganya tidak Rp 25 juta. Tapi Rp 11 juta. Yang beli istri saya, tanpa memberitahu saya terlebih dahulu. Tapi setelah membeli, istri saya menyesal, mahal,†kata Wakil Ketua PeÂngaÂdilan Tinggi Manado ini.
Teringat Kasus Suap HakimHarry Witjaksana, Anggota Komisi III DPRAnggota Komisi III DPR Harry Witjaksana meminta KoÂmisi Yudisial (KY) tak meÂloloskan calon hakim agung yang terbukti memiliki harta miÂliaran rupiah dengan cara yang tidak wajar. Sebab, akhir-akhir ini banyak terjadi kasus penyuapan yang menjerat oknum hakim.
“Karena siapa tahu hartanya itu merupakan hasil suap atau praktik terlarang lainnya. Di sinilah peran KY dibutuhkan unÂtuk menyeleksi para hakim tersebut,†katanya, kemarin.
Harry pun teringat sejumlah kasus suap hakim. Dia menÂconÂtohkan, tertangkap tangannya hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung, Imas Dianasari oleh KPK karena diduga menerima suap sebesar Rp 200 juta. Menurutnya, terÂtangkapnya hakim Imas meÂnamÂbah catatan hitam yang melibatkan oknum peradilan.
“Kami tak mau kasus Imas terjadi pada hakim agung. KaÂrena itu, seleksi ketat sangat diÂperlukan saat ini,†ucapnya.
Menurutnya, dari 45 calon haÂkim agung itu, KY harus meÂmilih 30 orang untuk diajukan ke DPR guna menjalani uji keÂlayakan dan kepatutan (
fit and proper test).
Karena itu, Harry mendesak KY supaya memilih 30 calon hakim agung yang paling kreÂdibel dan bersih dari segala maÂcam pelanggaran. “Kami tak mau melakukan tes hanya untuk orang-orang yang tidak meÂngerti hukum dan suka meÂlangÂgar hukum,†ujarnya.
Harry meminta perwakilan elemen masyarakat turut serta memantau proses seleksi calon hakim agung di KY. Sebab, kata dia, proses seleksi calon hakim agung dilakukan secara terbuka.
“Kalau ketahuan ada calon hakim yang pernah bermasalah, segera laporkan ke KY untuk diteliti ulang,†tandasnya.
Serahkan Saja Kepada KPKAlex Sato Bya, Bekas Jaksa Agung MudaBekas Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Alex Sato Bya menilai Komisi Yudisial (KY) tak perlu meÂnaÂnyakan dan menelusuri jumlah harta kekayaan yang dimiliki oleh calon hakim agung dari goÂlongan karier. Pasalnya, perkara tersebut bukanlah kewenangan KY selaku tim panelis pada proÂses seleksi tersebut.
“Saya rasa itu sudah keweÂnaÂngan KPK kalau mau meneÂluÂsuri harta kekayaan. Pada proÂses itu, seharusnya KY hanya menyeleksi pelanggaran etik saja,†katanya, kemarin.
Alex menambahkan, KY juga tak mempunyai keÂweÂnangan apapun apabila terbukti ada seorang calon hakim agung yang mempunyai harta tidak wajar. Menurutnya, temuan KY itu sebaiknya diserahkan kepaÂda lembaga penegak hukum lainnya. “Bisa serahkan ke KPK atau Polri. Biar mereka yang meÂngusut perkara itu,†ucapnya.
Meski akhir-akhir ini marak terjadi kasus penyuapan hakim, tapi bagi dirinya sejumlah perÂkara itu belum bisa dikatakan sebÂÂagai bukti bahwa instrumen peradilan di Tanah Air sudah dirasuki oleh mafia peradilan.
“Masih banyak juga hakim yang bekerja dengan hati nurani dan berdasarkan fakta,†kata Pria yang pernah menjabat seÂbaÂgai jaksa selama 40 tahun ini.
Begitu pula manakala tim paÂnelis KY mencecar harta keÂkaÂyaan milik calon hakim agung, Alex berpendapat suatu hal yang lumrah apabila ada hakim karier yang mempunyai harta miliaran.
“KY jangan berÂpraÂsangÂka buruk dulu. MemangÂnya hakim tak boleh kaya. Siapa tahu seÂlain menjabat sebagai hakim karier ada bisnis samÂpingan yang halal,†ujar anggota dewan kehormatan partai Demokrat DKI Jakarta yang konon sedang berencana mengundurkan diri dari partai Demokrat ini.
Karena itu, Alex kembali meÂnyarankan KY supaya tidak keluar jalur dalam menjalankan tugasnya menyeleksi calon haÂkim agung. Sebab, masih baÂnyak poin penting lainnya yang perlu ditanyakan ketimbang riÂbut soal harta miliaran rupiah milik hakim. “Tak ada efeknya juga kalau mereka lakukan hal itu,†tandasnya.
[rm]