RMOL. KPK membidik dugaan manipulasi pajak triliunan rupiah. Setelah mempelajari dokumen pajak perusahaan asing yang sebelumnya ditelaah tim gabungan Polri, Kejaksaan Agung, Ditjen Pajak dan Kementerian Keuangan, KPK meminta Ditjen Pajak menagih setoran pajak yang tersendat.
Usaha mengejar setoran pajak yang macet tersebut diÂkeÂmuÂkaÂkan Wakil Ketua KPK Haryono Umar. Saat dikonfirmasi, dia meÂnyatakan, pihaknya telah meÂminta Ditjen Pajak menagih utang pajak perusahaan asing terÂsebut. Tapi, saat diminta menÂjeÂlaskan identitas perusahaan asing tersebut, Haryono ogah menÂjabarÂkannya.
“Ada 14 perusahaan asing yang tidak pernah bayar pajak. Ada beberapa perusahaan yang tidak membayar pajak sejak lima kali menteri keuangan berÂganti. Kami sudah minta Ditjen Pajak menaÂgih pajak mereka,†ujarnya.
Informasi mengenai pajak maÂcet itu, menurutnya, diperoleh KPK setelah berkoordinasi deÂngan Badan Pengatur Hulu (BP) Migas. Dari koordinasi tersebut, sambungnya, diperoleh indikasi kerugian negara yang ditiÂmÂbulÂkan akibat tidak dibayarnya paÂjak oleh perusahaan asing seÂbesar Rp 1,6 triliun. Dia meÂnilai, angka terÂsebut masih relatif kecil.
KeÂmungkinan, menurutnya, angÂkaÂnya bisa lebih besar dari Rp 1,6 triliun. “Karena baru BP MiÂgas yang melakukan penÂdaÂtaan, belum Ditjen Pajak atau KPK yang melakukan penÂdÂaÂtaÂan,†tandasnya.
Kepala Biro Humas KPK JoÂhan Budi Sapto Prabowo menamÂbahkan, KPK belum merinci keÂseluruhan tagihan pajak yang diduga belum masuk ke kas neÂgaÂra. Meskipun nanti KPK telah mengantongi rinciannya, lanjut dia, penagihan kewajiban pajak keÂpada 14 perusahaan asing itu merupakan kewenangan Ditjen PaÂjak. Nanti setelah proses penaÂgihan dilakukan serta tidak ada respon positif dari perusahaan-perusahaan asing itu, KPK akan menentukan langkah selanjutnya.
Menjawab pertanyaan kenapa muncul perkara pajak ini, HarÂyoÂno mengemukakan, perusahaan asing itu tidak membayar pajak kaÂrena selama ini beranggapan maÂsih ada perbedaan pendapat deÂngan pemerintah soal pengÂhiÂtungan pajak. Ia tak menyangkal jika persoalan ini semestinya diÂtangani Direktorat Keberatan dan Banding Ditjen Pajak.
Ia menilai, jika persoalan sepuÂtar ini tak segera diselesaikan, bukan tidak mungkin pemerintah meÂngalami kerugian besar. HarÂyono pun khawatir, persoalan ini terjadi akibat adanya permainan dan penyelewengan yang dilaÂkuÂkan oknum-oknum peÂnyeÂlengÂgara negara.
“Sejauh ini memang beÂlum ada bukti-bukti yang meÂngarah ke sana. KPK akan menelusuri duÂgaan penyimpangan oleh aparat penyelenggara negara dalam perkara pajak ini,†tandasnya.
Johan menambahkan, KPK seÂlain menelisik dugaan pengemÂplaÂngan pajak oleh perusahaan asing tersebut, juga mengusut duÂgaan keterlibatan oknum peÂnyeÂlenggara negara, dalam hal ini oknum pegawai pajak.
“PerÂsoÂaÂlan mafia pajak kan belum tuntas. Kemungkinan perusahaan-perÂuÂsahaan tersebut ada kaitannya,†tandas dia.
Sementara itu, Kabagpenum Polri Kombes Boy Rafli Amar meÂngaku belum menerima inforÂmasi mengenai data perusahaan-perusahaan asing yang meÂnungÂgak pajak itu terkait dengan GaÂyus. Tapi pada prinsipnya, meÂnuÂrut dia, kepolisian masih meÂnyeÂlidiki dugaan keterlibatan peÂnyimÂpangan oleh wajib pajak mauÂpun kolega Gayus dalam perÂkara tindak pidana.
Menurut Boy, data yang diteÂlaah kepolisian menyangkut doÂkumen wajib pajak sebagian suÂdah diselesaikan pihaknya. “SeÂbagian sudah ada yang dikemÂbalikan ke Ditjen Pajak karena dinilai tidak terindikasi tindak pidana,†katanya.
Dia menggarisbawahi, peniÂlaian tidak terindikasi melanggar hukum pidana bukan berarti tidak melanggar undang-undang perÂpaÂjakan. “Kalau ada indikasi peÂlanggaran pajak, tentu diseÂleÂsaiÂkan Ditjen Pajak melalui peradiÂlan pajak. Itu wilayahnya Ditjen Pajak,†katanya.
Sementara itu, Kepala Humas dan Hubungan Kelembagaan BP Migas Elan Biantoro menyaÂtakan, BP Migas sejauh ini tidak bisa menindak pelanggran pajak yang diÂlakukan perusahaan migas seÂlaku wajib pajak.
Artinya, peÂlakÂsaÂnaan penagiÂhan pajak mauÂpun sanksi atas perkara peÂlangÂgaran pajak peruÂsaÂhaan migas tersebut menjadi otoritas Ditjen Pajak.
“Mereka yang menentukan sanksi atas pelanggaran pajak terÂsebut. Pada prinsipnya, kami menÂdorong Ditjen Pajak segera mengambil langkah untuk meÂnertibkan pajak perusahaan-perusahaan asing tersebut,†tegasnya.
Trauma Masyarakat Belum Terobati Bambang Widodo Umar, Pengamat HukumTunggakan pajak 14 peÂrusahaan migas asing menjadi catatan penting dalam upaya menertibkan penerimaan kas negara. Jika tunggakan pajak triÂliunan rupiah itu tidak bisa diÂtÂÂuntaskan secara cepat, dia khaÂwatir hal ini akan memicu keÂengganan masyarakat untuk memÂbayar pajak.
“Pendapatan negara terbesar berasal dari pajak. Kalau pajak diselewengkan, maka akan memÂpengaruhi kondisi perekoÂnoÂmian bangsa secara nasioÂnal,†ujarnya.
Lantaran itu, dia meÂnyaÂyangÂkan jika dugaan tunggakan paÂjak mencapai triliunan rupiah ini dibiarkan berlarut-larut. SeÂmestinya, ucap staf pengajar FaÂkultas Ilmu Kepolisian UniÂversitas Indonesia ini, peÂmeÂrinÂtah dalam hal ini Ditjen Pajak berÂsikap tegas.
“Jangan ada pengecualian terhadap para wajib pajak kareÂna hal ini bisa berdampak saÂngat buruk. Masyarakat bisa anÂtipati dan malas membayar pajak,†tandasnya.
Lepas dari hal tersebut, alasan masih adanya perbedaan pengÂhitungan pajak antara peruÂsaÂhaan asing dengan pemerintah, semestinya diselesaikan lewat mekanisme yang sudah ada. SeÂjauh ini, Bambang belum meÂlihat transparansi menyangkut penyelesaian persoalan pajak dari perusahaan-perusahaan asing tersebut.
Tertutupnya akses informasi meÂngenai kewajiban pajak peÂrusahaan-perusahaan asing terÂsebut, menurutnya, akan meÂmiÂcu asumsi selama ini ada tinÂdaÂkan menyimpang aparat dan pejabat pajak.
“Kita masih trauÂma dengan kasus Gayus. Apalagi, kasus itu tak kunjung tuntas. Istilahnya, trauma masyarakat terhadap keseriusan aparat pajak dan penegak hukum masih belum terobati,†tuturnya.
Untuk itu, ia meminta agar upaÂya Ditjen Pajak menagih tunggakan pajak perusahaan asing diawasi KPK maupun instansi terkait lainnya. Hal ini agar martabat bangsa tidak seÂenaknya diinjak-injak para peÂngusaha asing yang selama ini enak-enakan mengemplang pajak.
Masuk Kategori Penjajahan EkonomiSyarifuddin Suding, Anggota Komisi III DPRBelum tertibnya setoran paÂjak perusahaan asing, menurut anggota Komisi III DPR SyaÂrifuddin Suding, bisa dikÂaÂteÂgoÂriÂkan sebagai bentuk penjajaÂhan ekonomi. Sebagai negara yang memiliki kedaulatan dan harga diri, sudah selayaknya peÂmerintah mengambil langkah tegas dan konkret.
“Kalau mereka tidak mau meÂmatuhi aturan, kita harus beÂrani mengambil langkah teÂgas. Usir saja mereka dari TaÂnah Air,†tandas anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura ini.
Menurutnya, penyaÂlaÂhÂguÂnaÂan setoran pajak oleh peruÂsaÂhaÂan asing tersebut sama sekali tidak boleh ditolerir. Soalnya, keuntungan atas investasi yang dikelola mereka di Indonesia sudah sangat besar.
“Kenapa meÂreka ogah memÂbayar kompensasi pajak itu? Ini kan hal yang aneh. Jangan-jangan mereka sengaja meÂmanÂfaatkan celah untuk mengÂhindari kewajiban membayar pajak,†curiganya.
Syarifuddin menduga, alasan maÂsih ada beda penghitungan paÂjak versi pemerintah dengan perusahaan asing itu, jangan-jaÂngan hanya dijadikan dalih atau senjata untuk menghindari tangÂgung jawab pajak mereka. SoalÂnya, tandas dia, modus opeÂrandi seÂperti itu sudah seringkali terjadi.
Artinya, menurut SyarifudÂdin, sebelum masa konsesi miÂgas habis atau masa eksplorasi seÂlesai, pemerintah diminta meÂngambil langkah preventif unÂtuk menghindari kaburnya perusahaÂan asing tersebut dari Indonesia.
“Selesaikan dulu kewajiban pajaknya, baru bisa mengÂeksÂploÂÂrasi atau berproduksi. Atau setidaknya berikan tekanan agar mereka mau membayar utang pajak itu. Saya yakin, apa yang meÂÂreka dapat lebih besar dibanÂding nilai pajak yang seÂhÂaruÂsÂnya mereka bayarkan,†tegasnya
Regulasi atau aturan main yang tegas, ingat Syarifuddin, tentu akan sangat menentukan kesinambungan pajak dari perusahaan asing yang selama ini nekat memanipulasi maupun mengemplang pajak.
[rm]