MARAKNYA ancaman bom yang kini beredar di masyarakat seperti baru-baru ini di jejaring sosial Twitter, mengundang segudang pertanyaan publik, mengapa aparat intelijen kita demikian lemah sehingga celah-celah itu dimanfaatkan teroris, untuk menebar ketakutan di masyarakat, mengadu domba, dan melakukan pelecehan terhadap pemerintahan dan aparatnya.
Untuk menjawab pertanyaan diatas, salah satu upaya pemerintah untuk mempersempit gerakan terorisme, maka digodoklah RUU Intelijen, yang diharapkan akan memperkuat kewenangan intelijen sebagai salah satu unsur mencegah aksi para teroris.
Tapi di awal proses penggodokan RUU ini telah muncul pro-kontra, terutama dari elemen civil society seperti LSM, akademisi dan tokoh masyarakat. Mereka silih berganti menyuarakan kegelisahan atas poin-poin kewenangan yang akan diberikan kepada aparat intelijen karena berpotensi melanggar privasi serta hak azasi manusia (HAM).
Seperti diketahui dalam RUU Intelijen diwacanakan, Badan Intelijen Negara (BIN) diperkenankan menangkap orang dan menyadap telepon, termasuk akun jejaring sosial seperti Facebook dan Tweeter, tanpa harus ada izin dari pengadilan. Karena penyadapan seperti itu sudah diberlakukan di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, dan juga Kanada yang terkenal demokratis. Kenapa Negara kita masih ketakutan? Padahal kalau kita bandingkan dengan kekejaman teroris tidak seberapa bila dibandingkan dengan RUU tersebut, Karenanya demi kepentingan negara yang lebih besar, kita semua berharap agar RUU tersebut dapat segera disyahkan.
Memerangi terorisme memang membutuhkan payung hukum yang kuat dan jelas. Namun yang terpenting jangan sampai aturan tersebut malah menimbulkan antipati, kebencian, dan hal-hal yang kontraproduktif dalam perang melawan para teroris, jangan sampai melahirkan teroris-teroris baru, atau membuat mantan teroris menjadi kumat lagi.
Latar belakang sejarah dari sisi negatifnya tentang kerja intelijen kita, memang suram dari perspektif HAM. Sejak tahun 1970-an masyarakat menilai intelijen sebagai penebar ancaman, penebar ketakutan, penggebuk lawan-lawan pemerintah dengan kerjanya yang rapi, sekaligus kejam atas nama stabilitas nasional. Namun demikian kalau kita lihat dari sisi positifnya, jarang terjadi aksi para terorisme yang rentang waktunya begitu lama, karena intelijen kita powerful, sehingga aksi teroris bisa dideteksi sejak dini.
Ini bukan berarti kita harus kembali ke era Orde Baru, tapi kita memerlukan intelijen tangguh seperti pada era Orde Baru yang mempunyai kewenangan memadai untuk mencegah aksi terror.
Bagaimana hal itu bisa dihadirkan kembali di era reformasi dengan meminimalisir eksesnya. Kuncinya, adalah adanya kontrol. Karena apa artinya intelijen bisa tahu saja, tapi tidak diberi kewenangan yang lebih luas. Ibarat mereka tahu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa, karena kaki dan tangan mereka diikat oleh para civil society dan para LSM.
Eddy Hutagaol
Kmp. Muara Bahari Tanjung Priok, Jakut HP. 081585733999 eddyhutagaol@yahoo.com