RMOL. Ekonom senior Rizal Ramli sudah menyampaikan bahwa kue ekonomi saat ini hanya berarti bagi 5 persen orang terkaya dari 230 juta rakyat Indonesia. Faktanya, masih terdapat sekitar 120 juta orang di negara ini yang berpendapatan di bawah Rp 18.000 per hari. Pemerintah sendiri tanpa malu-malu menggunakan standar penghasilan Rp 7000 per hari, sehingga menemukan angka 34 juta warga miskin.
Di sisi lain, data statistik mengungkapkan bahwa jumlah pengangguran terbuka (S-1) pada Februari 2007 sebanyak 409.900 orang. Setahun kemudian, pada Februari 2008 jumlah pengangguran terdidik bertambah 216.300 orang atau menjadi sekitar 626.200 orang. Jika setiap tahun jumlah kenaikan rata-rata 216.300, maka pada Februari 2011 telah terjadi peningkatan pengangguran terdidik S1 sejumlah terdapat 1.275.100 orang. Jumlah ini belum ditambah dengan pengangguran lulusan diploma (D-1, D-2, D-3) dalam rentang waktu 2007-2010 saja tercatat peningkatan sebanyak 519.900 orang atau naik sekitar 57 persen.
Berdasarkan itu, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), menyatakan, reformasi 13 tahun terakhir ternyata tidak mampu menyejahterakan mayoritas rakyat Indonesia dan hanya menciptakan kerusakan mental bangsa.
"Sangat mungkin bahwa hal ini dikarenakan oleh keberadaan konstitusi negara kita yang telah nyata telah dibajak oleh kekuatan neoliberalisme. Menurut seorang politisi PDI Perjuangan (Eva Sundari), sekitar 76 UU kita dibuat dengan asistensi LSM ataupun korporasi asing," kata Ketua Umum Eksekutif Nasional LMND, Lamen Hendra Saputra, kepada
Rakyat Merdeka Online, Senin (23/5).
Lamen juga mengungkap data Koalisi Anti Utang yang menyebut ada delapan UU yang dibiayai asing. Pertama, UU 25/2007 tentang Penanaman Modal yang dibiayai oleh sembilan kreditor termasuk Bank Dunia, ADB dan JBIC senilai 600 juta dolar AS; UU 21/2002 tentang Ketenaga Listrikan, yang "dibantu" ADB sebesar 400 juta dolar AS; UU 7/2004 tentang Sumber Daya yang menelan 30 juta dolar AS dari Bank Dunia.
Seterusnya, UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas yang didukung kreditor USAID dan Bank dunia senilai 40 juta dolar AS; UU 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang menggunakan uang Bank Dunia sebesar 114 juta dolar AS; UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil (kreditor Bank Dunia/ADB dan jumlah utang 33 juta dolar AS); UU 19/2003 tentang BUMN (kreditor ADB dan jumlah utang 400 juta dolar AS); RUU Pertanahan dengan jumlah utang 500 ribu dolar AS.
"Tidak salah jika kita simpulkan bahwa negara kita saat ini sedang dikendalikan oleh neolib. Dan yang kita saksikan saat ini para anggota DPR di Senayan terlihat semakin bodoh, malas, dan rakus," tegasnya.
Terlihat, DPR yang tadinya tidak lebih tukang stempel kebijakan pemerintah, kini "naik kelas" menjadi lembaga stempel kebijakan asing. Karena itu LMND menuntut DPR untuk segera mengganti atau seminimalnya merevisi seluruh UU tersebut dalam tempo sesingkat-singkatnya.
"Jika tidak mampu, lebih baik DPR bubar saja," ujarnya.
[ald]