Emil Abeng
Emil Abeng
RMOL.Dominasi produk impor yang terus menguat telah menggerus pangsa pasar produk dalam negeri. Daya saing industri nasional juga makin lemah saat berhadapan dengan pelaksanaan perdagangan bebas terutama pasca pemberlakuan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA).
“Anehnya, situasi sulit itu tidak disikapi serius. Pemerintah terlihat gamang. Perjanjian sudah ditandatangani tapi daya saing kita masih lemah,†ujar Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Kosgoro 1957 Emil Abeng, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut anggota Panja Daya Saing DPR itu, para pelaku inÂdustri mengaku kepayahan kaÂrena ACFTA.
“Pemerintah belum mampu mengatasi imbas negatif akibat kebijakan yang sudah diterapkan lebih setahun ini,’’ kata anggota Komisi VI DPR ini.
Berikut kutipan selengjkapnya:
Kenapa Anda bilang begitu?
Berdasarkan masukan dan telaah kami di Panja Daya Saing, setidaknya ada lima sektor inÂdustri keok yang terkena imbas perjanjian ACFTA, yaitu elektroÂnika, furnitur, logam dan produk logam, permesinan, tekstil dan produk tekstil.
Apa saja permasalahan utaÂma yang dihadapi kelima sektor itu?
Mahalnya bahan baku dan kuÂrangnya suplai komponen.
Pihak mana yang harus berÂtanggung jawab?
Pemerintah dalam hal ini KeÂmenÂterian Perdagangan dan KemenÂterian Perindustrian perlu meningkatkan koordinasi untuk membuat kebijakan memecahkan masalah ini. Jangan jalan sendiri-sendiri.
Apakah energi juga jadi perÂmasalahan?
Ya, harga energi yang mahal jadi beban peningkatan daya saing pelaku ekonomi pada lima sektor industri tadi. Pemerintah, misalnya, harus menurunkan biaya produksi listrik PLN meÂlalui perbaikan sistem pembelian gas dan batubara. Kebijakan gas dan batubara diutamakan untuk suplai kebutuhan di dalam negeri, untuk mengatasi kelangkaan suplai.
Ada kendala lain terkait peÂningkatan daya saing pelaku ekoÂnomi nasional?
Peningkatan modal usaha melalui kredit belum berhasil karena pemerintah dan BI gagal menurunkan suku bunga saat ini yang relatif masih tinggi dibanÂding negara-negara lain. Lihat China, baru saja menaikkan suku bunga pinjaman menjadi 5,56 persen dari 5,31 persen. Tapi itupun masih jauh lebih rendah dibandingkan di Indonesia yang suku bunga kredit perbankan berkisar 9 sampai 16 persen. Itupun masih dianggap rendah.
Sejauh ini, keluhan apa yang Anda dengar dari asosiasi inÂdustri?
Mereka masih mengeluhkan kurangnya keberpihakan pemeÂrinÂtah terhadap pelaku ekonomi nasional. Saya khawatir, tidak lama lagi industri kita mati. Kita hanya sekadar distributor barang-barang China. Sebab produk mereka memberikan margin lebih tinggi daripada produk kita, yaitu sekitar 20 persen.
Bukankah produk dalam neÂgeri sudah mulai banyak dan berkualitas?
Tetap saja harga murah barang China jadi nilai tambah. Standar Nasional Indonesia sangat lemah, tertinggal dari negara-negara lain. Dari 228 Pos Tarif, 77 beÂlum SNI, 122 sudah SNI dan 29 dalam rancangan. Impor tekstil dari negara-negara ACFTA juga lebih besar dari impor produk yang sama dari negara most faÂvoured nations, padahal negara-negara peserta ACFTA tidak dikenakan pajak.
Artinya, implementasi ACFTA begitu dilematis ya?
Di satu sisi, ACFTA sudah telanjur ditandatangani. Di sisi lain, terlalu besar pertaruhannya bagi bangsa ini karena meneÂrapkan ACFTA secara tergesa-gesa. Ini masalah serius yang harus segera diselesaikan. Setiap detik, setiap jam kita menunda keputusan atas masalah ini, maka bangsa kita mengalami keÂmunÂduran.
Anda menilai sejauh apa resÂpons pemerintah mengatasi keÂkurangan daya saing IndoneÂsia?
Pemerintahan sangat lambat. Contohnya saja, sampai Maret 2011 lima sektor industri terpukul imbas penerapan ACFTA. Janji-janji peningkatan infrastruktur, lapangan kerja, kualitas SDM dan aparat sedikit terlihat menurut fakta di lapangan.
Mengapa tidak dikiritisi dari sebelum ACFTA ditandaÂtangaÂni saja?
Waktu itu pemerintah menyataÂkan, ACFTA tak bisa ditunda atau dibatalkan. Kenyataannya, ACFTA dapat ditunda melalui proÂses pengajuan penundaan lewat badan resmi yang ditunjuk, dalam hal ini Sekretariat Jenderal ASEAN selama pemerintah leÂwat Menteri Perdagangan memÂpunyai itikad untuk hal itu.
Pemerintah tidak melibatkan DPR?
Pemerintah lewat Menteri PerÂdagaÂngan sepertinya mengambil keputusan sendiri untuk masalah sangat strategis ini. KenyaÂtaanÂnya, dalam proses ACFTA, DPR tidak dilibatkan, mulai dari proses perundingan internasional hingga penandatanganan, padahal perÂjanÂjian tersebut secara hukum nasional masih perlu diadopsi ke dalam hukum nasional oleh DPR.
Bukankah pemerintah selalu berusaha mengurangi dampak negatif bagi pelaku ekonomi naÂsional?
Sudah sangat terlambat karena pelaku ekonomi nasional telanjur dirugikan secara finansial atauÂpun ketenagakerjaan. Dulu, daÂlam berbagai kesempatan, pemeÂrintah seakan menyalahkan pemerintah sebelumnya dengan mengatakan perjanjian ACFTA merupakan hasil kebijakan rezim sebelumnya. Ini sikap tidak tepat mengingat pemeÂrintah seÂharusÂnya menerima tuÂgas apa pun guna mencari penyeÂlesaian probleÂmatika bangsa, bukan mencari kambing hitam.
Lantas, benar-benar tidak ada solusinya?
Jelas tak ada solusi jangka pendek karena permasalahan Indonesia dalam kasus ACFTA sudah menjadi permasalahan kumulatif. Kita harus lebih serius dengan satu niat dan tindakan baik bersama. Kalau tidak, kita makin kehilangan potensi ekoÂnomi dan serius terancam lost generation. [RM]
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48
Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
UPDATE
Rabu, 31 Desember 2025 | 12:10
Rabu, 31 Desember 2025 | 12:08
Rabu, 31 Desember 2025 | 12:01
Rabu, 31 Desember 2025 | 11:48
Rabu, 31 Desember 2025 | 11:40
Rabu, 31 Desember 2025 | 11:38
Rabu, 31 Desember 2025 | 11:26
Rabu, 31 Desember 2025 | 11:21
Rabu, 31 Desember 2025 | 11:16
Rabu, 31 Desember 2025 | 11:02