RMOL. Kabareskrim Mabes Polri Ito Sumardi mengatakan, pihaknya serius mengusut tuntas tragedi berdarah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, Minggu (6/2).
“Kami sudah kirim orang keÂsana, bahkan dipimpin WakaÂpolri. Dari Propam ikut, lengkap itu, Irwasum (Nanan Soekarna) juga di sana. Jadi kami serius menangani kasus ini,†tegas Ito Sumardi kepada Rakyat Merdeka, tadi malam.
Sebelumnya, sekitar seribu warga Desa Umbulan, KecamaÂtan Cikeusik, Kabupaten PandeÂglang, Provinsi Banten, menyeÂrang Jamaah Ahmadiyah pada Minggu pagi sekitar pukul 10.30 WIB. Bentrokan ini menyebabÂkan tiga orang anggota Jamaah Ahmadiyah meninggal dunia.
“Bagi Polri SKB itu adalah aturan yang harus dipatuhi, tetapi bukan berarti dengan aturan itu orang bisa membunuh, boleh membakar, merusak. Nggak ada di dalam SKB seperti itu. Kalau ada orang yang melakukan, berarti telah berbuat pidana dan bagi Polri kita akan bertindak tegas, siapapun juga,†tegas Ito.
Berikut kutipan selengkapnya:Ada anggapan bahwa kepoliÂsian lambat mencegah insiden ini, komentar Anda?Ya, pendapat orang kan boleh saja. Anggota kita kan sudah keÂsana, sudah mengamankan orang yang punya rumah.
Tapi ada orang dari Jakarta, itulah asal muasal tersulutnya konÂflik tersebut, sehingga meÂnyebabkan korban jiwa.
Padahal tadinya kan dijaga anggota Polri, tentunya dengan kekuatan terbatas. Tapi tiba-tiba dengan hitungan detik berkemÂbang jadi panas, sedangkan pengiriman pasukan memerlukan waktu sekitar 5 jam.
Barangkali intelijen Polri lengah sehingga informasi yang masuk tidak bisa segera diceÂgah?
Nggak sama sekali. Kita sudah lama mendeteksi. Tapi kan namaÂnya tiba-tiba berkembang karena tersulut emosi. Kita kan tidak bisa menyelidiki dalam hati orang. Sementara laporan inteÂlijen itu kan berdasarkan fenomena-feÂnomena.
Dari fenomena-fenomena itu dibuatkan analisis intelijen, sehingga diamankanlah Ismail Suparman dan Si Atep. Untuk menjaga tempatnya, dikasilah anggota di sana.
Lalu kenapa sampai ada pemÂÂbunuhan? Pada saat kedatangan yang mengaku Ahmadiyah dari JaÂkarta, itulah yang mungkin meÂnyulut terjadinya konflik. Tapi kekuatan Polri saat itu sangat tidak menguntungkan dan tidak mampu. Tapi bukannya kami membiarkan. Sama sekali tidak, tapi karena tidak mampu, pasuÂkannya terbatas.
Jadi bedakan antara tidak mau dan tidak mampu. Kalau misalÂnya hanya 10 orang polisi, keÂnapa kok alasannya tidak dianÂtisipasi? Nah begitu diambil sudah selesai kok. Tapi begitu datang lagi orang dari Jakarta, barulah berkembang menjadi besar. Jadi istilahnya itu bukan kita membiarkan sama sekali. Ikuti saja kronologinya. Kalau akhirnya kita tidak mampu karena memang tiba-tiba situasi berkembang begitu cepat, seÂhingga menyebabkan seperti itu.
Jadi tidak benar ada pemÂbiaÂran?
Kalau itu silakan saja dinilai, kita kan ikuti prosesnya. Sampai orang itu diambil, apa pembiaran. Itu kan proses yang telah dilakuÂkan Polri. Masyarakat di situ kan sama-sama orang Cikeusik, sama-sama bangsa Indonesia, tapi manakala sudah ada orang luar masuk meski berasal dari kelompoknya, itulah yang memÂbuat keruh, sehingga berkembang menjadi konflik.
Apa ada batas waktu untuk tunÂtaskan masalah ini?Ini yang keliru. Memangnya 1+1 = 2. Dalam perkara itu kan ada namanya perkara yang muÂdah dan sulit.
Nah perkara yang menyangkut masalah ini kan juga harus meÂnunggu situasi dan kondisi menjadi kondusif. Jadi, kita tidak semata-mata menegakkan huÂkum, tapi juga melindungi yang lain, ataupun harus melihat perÂkembangan situasi di lapangan, namun tetap kita lakukan secara profesional dan optimal.
SKB jadi dalil pembenaran laÂkukan penyerangan pada AhÂmadiyah?
Kalau itu saya tidak bisa berkoÂmentar. Masih memungkinkan menafsirkan SKB itu, ya silakan saja menafsirkan. Tapi bagi Polri, SKB itu adalah aturan yang harus dipatuhi tetapi bukan berarti dengan aturan itu orang bisa membunuh, boleh membakar, dan merusak.
Apa yang hendak dilakukan agar tidak terulang insiden seÂperti ini?Jangan dilihat dari Polri saja. Yang lebih utama adalah bagaiÂmana tindakan preventif. Karena ini adalah masalah agama, ini menjadi domain daripada kemenÂterian lain, terkait Menkokesra, Menag, Mendagri, tokoh-tokoh agama, MUI (Majelis Ulama Indonesia), Forum Lintas Agama, nah itulah yang harus duduk bersama-sama.
Polri itu kan sebatas menÂduÂkung, supaya ini tidak terjadi lagi. Kemudian kami lakukan peneÂgakan hukum.
[RM]