RMOL. Tidak anti asing. Demikian pengakuan pemimpin PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dalam pidato politiknya saat merayakan hari lahir partainya ke -38 di kantor DPP PDIP Jakarta kemarin (Senin, 10/1).
Memang demikian adanya. Tiga tahun periode pemerintahan Megawati-Hamzah Haz 2001-2004 sangat mengandalkan privatisasi BUMN. Yang paling publik ingat, penjualan BUMN PT Indosat. Dari berbagai sumber tercatat privatisasi BUMN dengan nilai sekitar Rp 3,5 triliun pada 2001, Rp 7,7 triliun pada 2002, dan Rp 7,3 triliun pada tahun 2003
Maka tidak heran ketika Megawati melontarkan kritik pedasnya kepada pemerintahan SBY-Boediono atas arah ekonomi yang neoliberal mengandalkan penjualan aset bangsa dan utang luar negeri, publik balik menunjuk hidung Mega sebagai "senior" SBY dalam kebijakan privatisasi.
Sebagai anak kandung Presiden pertama Bung Karno yang pantas disebut sebagai “bapak nasionalisasiâ€, Mega cukup mengecewakan. Pada era Bung Karno Sekitar 90 persen perusahaan perkebunan asing berpindah ke tangan Republik Indonesia, dan ratusan pabrik atau perusahaan asing dinasionalisasi. Soekarno berjasa membangun sejumlah industri di dalam negeri yang kini malah terancam privatisasi salah satunya adalah PT Karakatu Steel yang dulu bernama Pabrik Baja Trikora.
Pada rezim Orde Baru, perusahaan-perusahaan nasional dikeruk habis untuk kepentingan keluarga dan kroni Soeharto. Pada 1994 privatisasi terhadap PT. Indosat juga dilakukan Orde Baru. BUMN yang jadi lahan korupsi Orba bukannya diperbaiki di era reformasi. Obral murah keseluruhan BUMN terjadi. Tercatat, periode 1991-2001, ada 12 BUMN yang diprivatisasi. Selama 2001-2006, pemerintah 14 kali memprivatisasi BUMN dan yang berhasil diprivatisasi 10 BUMN.
Sementara pada dua kali era SBY menjadi Presiden, 'ledakan privatisasi' terjadi. Pada tahun 2007, 15 BUMN masuk dalam daftar privatisasi dan membengkak menjadi 44 pada 2008, meskipun tertunda karena krisis global yang menimpa sektor finansial. Kisruh penawaran umum saham perdana atau IPO Krakatau Steel pada akhir tahun lalu semestinya menjadi pengalaman berharga bagi tim ekonomi SBY-Boediono dalam mengambil kebijakan swastanisasi BUMN.
Sejak privatisasi Indosat, Telkomsel, Semen Padang, dan banyak lagi swastanisasi perusahaan strategis terbukti tidak menguntungkan perekonomian nasional. Seperti diketahui, setidaknya lima perusahaan BUMN siap melaksanakan IPO pada tahun 2011. Jumlahnya masih bisa bertambah. Salah satu yang paling siap dijual adalah PT Garuda Indonesia, yang sebenarnya sudah direncanakan sejak 2009.
Berkaca pada Initial Public Offering (IPO) Krakatau Steel (KS), kalangan ekonom mencurigainya sebagai penjualan BUMN berkedok privatisasi via lantai bursa. Modus privatisasi saat ini sedikit berbeda dibandingkan dengan privatisasi perusahaan-perusahaan pelat merah sebelumnya, seperti Indosat atau Blok Cepu. Dalam privatisasi sebelum ini pihak asing menguasai saham lewat direct buying. Sementara untuk kasus Krakatau Steel, pihak asing mengambil “jalan memutar†dengan dalih alih teknologi dan asistensi ekspansi. Harga jual saham Krakatau Steel di pasar modal pun terlalu rendah, hanya Rp 850 per lembar saham. Mestinya, bila mengikuti harga pasar, saham perusahaan yang di era Presiden Sukarno bernaka pabrik Baja Trikora itu dijual di atas Rp 1.700 per lembar saham.
Kembali pada kritik Mega soal arah ekonomi bangsa di pemerintahan SBY, seolah Mega sedang melemparkan "bumerang panas" yang akhirnya mengenai kepalanya sendiri.
Sekretaris Sekretariat Gabungan Koalisi Pendukung Pemerintah, Syarief Hasan, yang pertama membantah pidato mantan Presiden pertama itu tentang kegagalan pemerintah menyejahterakan rakyat. Syarief menuding Mega tidak membaca indikator keberhasilan pemerintah. Dia mengatakan, keberhasilan SBY bukan cuma keberhasilan statistik.
"Dia (Megawati) tidak membaca indikator keberhasilan dong. Pertumbuhan ekonomi berapa? Income per kapita berapa? Lalu bandingkan saat dia memimpin cuma berapa?" kata Syarief di sela RKP 2011, JCC, Senayan, Jakarta, Senin (10/1).
Kritik paling tegas dari pengamat kebijakan publik, Ichsanudin Noorsy. Menurut Noorsy, ketika Megawati menjadi Presiden RI kelima, ada juga kebijakannya yang menyengsarakan rakyat. "Megawati itu ibarat menepuk air di dulang terpercik muka sendiri," sebutnya.
Publik paham, tidak ada masa pemerintahan Indonesia yang anti privatisasi, terutama di era reformasi yang begitu jatuh cinta pada konsep privatisasi yang didorong aliansi, propaganda dan kekuatan negara maju. Dimulai dari kegagalan Orde Baru yang memiliki hubungan baik dengan kapitalisme dan mengakhiri kemandirian Indonesia secara ekonomi sampai krisis 1997. Soeharto meminta "
mbah kapitalisme" IMF turun membantu. World Bank dan IMF tentu saja menawarkan paket reformasi yang tercantum dalam Structural Adjustment Program (SAP) dan Letter of Intent (LoI). IMF mendorong liberalisasi dan deregulasi dalam sektor keuangan dan BUMN. Di antaranya liberalisasi perdagangan, pengetatan anggaran belanja negara, dan privatisasi terhadap BUMN. Nyatanya, hingga kini, resep itu masih memikat.
Jadi, kalau kubu Mega dan kubu SBY saling lempar kritik dan saling klaim siapa yang paling nasionalis, maka rakyat dari petani kecil, buruh kecil, nelayan kecil, alias marhaen mungkin sekadar tersenyum sinis atau malah terbahak-bahak. Marhaen yang dicintai Bung Karno hanya menyaksikan para elit membuka aib masing-masing. Otak elit dikuasai paham noeliberal yang mendarahdaging, yang pantas disebut -meminjam istilah Mega- sebagai bencana mental.
Saat ini tak ada guna saling tuduh siapa penyebab bencana. Wong cilik teriak lapar, sembako mahal. Sementara retorika politik tidak bikin kenyang. Wong cilik alias marhaen tak paham apa oposisi, koalisi, apalagi inflasi. Lihat, mereka kini kian akrab dengan cabai busuk dan nasi basi! Gajah-gajah politik bertarung, marhaen dimana?
[ald]