RMOL.Tokoh-tokoh senior Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) memilih tak lagi maju di bursa Presidium ICMI dalam Munas V di Bogor. Salah satu di antaranya adalah Jimly Asshiddiqie. Bekas Ketua Mahkamah Konstitusi ini lebih senang jika ICMI dipimpin anak-anak muda.
“Saya sudah 20 tahun menguÂrus ICMI, sudah jadi KeÂtua Dewan Pakar, Ketua Dewan Penasehat, munculin yang baru-barulah, yang muda-muda. Kita ini harus kaderisasi dan regeneÂrasi cepat. Bangsa kita membuÂtuhkan itu supaya jangan yang tua-tua yang memimpin. Yang memimpin republik kita sekarang ini harus yang muda-muda,†kata Jimly kepada Rakyat Merdeka, tadi malam.
Berikut petikan lengkap waÂwanÂcara dengan bekas anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ini:
Kenapa anda tidak mencaÂlonÂÂkan diri sebagai Ketua Umum ICMI?
Kita sudah sepakati tidak mengÂgunakan sistem ketua umum melainkan presidium. Ini tujuannya agar tidak menimbulÂkan politisasi di ICMI nanti. Kita harapkanlah tokoh-tokoh muda yang segenerasi seperti Priyo Budi Santoso, Ilham Akbar Habibie yang umur-umur 40 taÂhuÂnan lah kita dorong untuk regenerasi cepat. Saya kan sudah Ketua Dewan PaÂkar, sekaÂrang (maÂsih) menjabat Ketua Dewan PeÂnasehat, kita begini-begini sudah tua ini, hehe... Jadi, saya menganÂtarÂkan saja yang muda-muda untuk dipromosikan. Sebab bangsa kita ini memÂbutuhÂkan reÂgenerasi cepat.
Kan Anda juga masih segar toh?
Saya sudah 20 tahun mengurus ICMI, sudah jadi Ketua Dewan Pakar, Ketua Dewan Penasehat, munÂculin yang baru-barulah, yang muda-muda. Kita ini harus kaderisasi dan regenerasi cepat. Bangsa kita membutuhkan itu supaya jangan yang tua-tua saja yang memimpin.Yang meÂmimÂpin republik kita sekarang ini harus yang muda-muda.
Berapa jumlah Presidium yang akan memimpin ICMI?
Lima orang yang kita pilih. Kita harapkan lima orang ini yang secara bergiliran memimpin ICMI, sementara Ketua Dewan Penasehat, Dewan Pakar itu mengayomi saja.
Menurut Anda apa tanÂtangan ICMI ke depan?
Ada tiga. Pertama, kaderisasi, bukan hanya sektor negara tapi juga dunia usaha, civil society, di kampus, itu kaderisasinya harus berlangsung dengan efektif. KeÂdua, penggodokan konsep-konÂsep alternatif untuk kemajuan bangsa, agar bisa disumbangkan pada negara, pemerintahan, parpol, dunia usaha, ilmiah dan society. Dan ketiga, agenda pada aksi program-program yang sifatnya rintisan sehingga kita bisa menÂcontohkan berbagai ide-ide alterÂnatif, bukan hanya diÂwacana tapi program nyata di masyarakat. Tiga ini yang penting.
Untuk memenuhi ketiga tanÂtangan itu, kriteria calon PresiÂdium harus seperti apa?
Pertama, muda-muda. Kedua dia beranekaragam latar belaÂkang, ilmu dan bidang keahlian.
Bagaimana posisi ICMI terÂhaÂdap pemerintah?
ICMI itu kumpulan orang yang intelektual kritis, objektif dan rasional. ICMI tidak boleh larut dalam feodalisme.
Apakah memang ada gejala larut dalam feodalisme yang meÂÂlanda tubuh ICMI?
Bukan, kultur kita kan masih feodal, masih patternalistik baik di bidang politik, sosial dan buÂdaya. Memang kita begitu. MakaÂnya kultur intelektual, rasional, objektif dan egaliter yang harus kita dorong. Karena itu generasi baru kita dorong supaya cepat regeneÂrasinya.
Dominasi ICMI tidak lagi begitu menonjol pasca ICMI diÂpimpin BJ Habibie. Bahkan hamÂpir kehilangan gregetnya. MenuÂrut Anda apa penyebabÂnya?
Penyebabnya saya rasa karena leadership saja. Saya rasa dengan munculnya tokoh-tokoh baru ini Insyaallah meningkat.
Untuk itu apa yang harus diÂlakukan?
Ya, kita dorong lagi agar lebih aktif.
Ada prasangka bahwa peÂmimÂÂpin ICMI bakal menduÂduki kursi menteri?
Boleh sajakan, itu tidak salah. Tapi kita bukan hanya menteri, kita juga calon pengusaha, calon ilmuwan, calon pemenang hadiah nobel, calon aktivis pergerakan LSM, itu bagus-bagus saja. Kan bagus buat regenerasi.
Bukankah ini berarti ICMI hanya dijadikan sebagai kendaÂraan untuk meraih kekuasaan?
Ya, tidak apa-apa. Yang penting kita harus menyumbang kader. Tapi bukan cuma menteri, menÂteri terlalu sedikit. Kita harus caÂlon pengusaha juga, DPR/DPRD juga di semua partai. Kan bagus kaderisasi. Daripada muncul politisi instan yang tidak terdidik, dan tidak terlatih. Jadi kalau kader-kader kita nanti sudah maÂtang jadi politisi, dia kan tidak perlu studi banding lagi. Kan sudah mahfum. [RM]