RMOL. Pemberlakuan pajak restoran dan rumah makan terhadap warteg dikarenakan jenis usaha ini sudah masuk dalam prasyarat objek pajak yang diatur dalam UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Dari sisi politis, rencana Pemprov DKI Jakarta menetapkan pajak untuk warung Tegal (warteg) yang beromzet Rp 60 juta per tahun sangat merugikan citra Gubernur Fauzi Bowo, biasa disebut Foke. Bayangkan, saat ini berapa puluh ribu pelaku usaha warteg di kawasan DKI Jakarta yang menganggap Pemprov di bawah pimpinannya tidak berpihak pada rakyat kecil.
Namun, pengamat parlemen, Tom Pasaribu, mengajak masyarakat untuk lebih jernih melihat sumber persoalan.
Menurut Tom, permasalahan yang tidak boleh dilupakan adalah mengapa DPRD DKI Jakarta menyetujui warteg dikenakan pajak. Bahkan, DPRD DKI telah menetapkan, warteg menjadi wajib pajak dan akan berlaku mulai 1 Januari 2011 mendatang.
Setelah isu ini marak di media massa, Gubernur malah sempat menyatakan, penetapan pajak 10 persen untuk warung makan belum diketahuinya.
"Laporan belum saya terima. Saya mendengar itu ke permukaan dan akan meminta laporan secara terintegrasi dari Kepala Dinas Pelayanan Pajak. Karena sampai saat ini saya belum terima laporan. Saya tidak akan mengambil keputusan yang tidak berpihak kepada orang kecil. Saya belum menerima laporan dan belum bisa memberikan keterangan lebih lanjut," beber Fauzi Bowo di Balaikota DKI, Jumat (3/12).
Tom mengatakan, ada yang ganjil dari pernyataan Foke. Perlu melihat persoalan secara komprehensif karena DPRD DKI Jakarta sendiri harus dipertanyakan keberpihakannya pada rakyat.
"Perda-Perda yang sangat urgen bagi rakyat sampai sekarang macet pembahasannya di DPRD," tegasnya.
Ia juga mengaku prihatin bahwa posisi DPRD DKI saat ini cacat hukum karena Tatib DPRD sudah tidak aktif sejak Desember 2010. Persoalan lain di DPRD adalah hingga kini belum ada penetapan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DKI Tahun Anggaran 2011 menjadi APBD DKI 2011.
"UU mengatur 1 Desember APBD harus sudah disahkan DPRD," terangnya.
Tom mengaku bukan membela dalam hal ini Gubernur atau Pemprov. Yang ia khawatirkan, ada sesuatu di balik terbitnya Perda itu.
"Saya tidak bela eksekutif, saya berdiri di tengah. Perda pajak warteg itu bisa jadi bodong. Lalu Gubernur itu dipaksa menandatangani. Yang harus bela kepentingan rakyat itu bukan Gubernur tapi DPRD," tegasnya.
Ia ingatkan, peraturan daerah tidak hanya boleh diusulkan eksekutif tetapi juga DPRD dengan minimal pengusul yang sudah ditentukan.
"Cari dulu yang usulkan itu siapa, bisa kita telusuri itu nanti. Jujur saja, di belakang partai-partai di DPRD itu ada juga kekuatan para pengusaha makanan besar," bebernya.
Kembali ke persoalan Perda pajak warteg, menurut Tom, Gubernur memiliki hak untuk tidak menandatangani Perda itu.
"Kalau dari pengakuan Gubernur, ia belum dapat laporan soal Perda itu padahal sudah mau disahkan, berarti Perda itu kemungkinan besar batal dengan cara menolak untuk menandatangani," pungkasnya.
[ald]