ilustrasi/ist
ilustrasi/ist
(untuk: cdgs)
DENGAN nama Tuhan yang telah menurunkan hujan malam ini.
Maafkan aku Dik. Setelah beratus-ratus pucuk surat yang kau kirimkan padaku, dan hanya beberapa yang sempat kubaca, maka akhirnya aku tulisan ini sebagai balasan jutaan bait puisi yang telah kau tulis.
Sebagai pembuka, aku ingin kau tahu, mengapa aku menuliskan kisah ini. Dua hari lalu, sahabat baikku baru saja merapat. Dia membagikan kisah petualangannya padaku selama berada di tengah lautan. Di saat bersamaan, dia kemudian teringat pada sebuah dongeng yang pernah didengarnya. Maka inilah dongeng temanku itu:
Dewa Awan terkesiap. Dia terkejut.
Arsi, di sini sedang musim hujan. Hujan terus turun sepanjang hari. Pernah sekali waktu air hujan masuk ke lantai bawah. Namun hanya sebentar peristiwa itu. Dengan tangkas pemerintah di kotaku mengeringkan air hujan dan mengirimnya entah ke mana. Aku masih akan di sini dan akan terus di sini, Sayang. Sebab aku yakin hujan tak akan mampu menenggelamkan kota ini.
Baiklah, aku tak akan memperpanjang rasa sakit hatiku pada kota kita. Aku akan lanjutkan kisah temanku itu yang seorang pelaut.
Setelah peristiwa itu, Dewa Awan terus memikirkan kata-kata Dewi Laut. Muncul di pikirannya sebuah hal yang gila. Dewa Awan ingin menjadi manusia. Seorang manusia yang akan kekeringan bila hari panas dan basah pada saat kehujanan. Setelah ditentukan, maka pada hari itu, Dewa Awan berubah wujud menjadi manusia. Seorang pemuda yang miskin dan tak berdaya.
Maka tibalah dia pada sebuah negeri yang tengah dilanda perang saudara. Tak ada seorang pun yang mampu menghentikan perang saudara itu. Ketika dia tiba di sana, sebuah kelompok yang bertikai berhasil menangkapnya. Dewa Awan disekap dan interogasi dengan ketat. Tak jarang tubuhnya yang lemah dijadikan sasaran pukulan yang bertubi-tubi. Dewa Awan marah, namun apa daya, dia tak bisa melakukan apapun. Susah payah dia berusaha melarikan diri, namun setelah berhasil, sekelompok lain dari mereka yang bertikai berhasil menangkapnya dan menuduhnya sebagai antek-antek musuh.
Sekali lagi Dewa Awan harus merasakan pahitnya menjadi mahluk yang tak berdaya. Di dalam ruang tahanan dia berpikir. Mengapa bisa manusia saling membunuh sesama? Bukankah yang memiliki kekuasaan atas manusia adalah Sang Hyang Memiliki Takdir?
Pihak yang satu menuduh pihak yang lain adalah pencoleng, sedangkan yang lain sebaliknya, menuduh pihak pertama sebagai pencoleng yang asli. Tak sadar, Dewa Awan menangis. Itu adalah tangisan pertamanya selama menjadi manusia. Dia teringat tentang nasib warga yang terjepit diantara peperangan dua kelompok itu. Dia menangis ketika melihat perempuan-perempuan menjadi korban perang. Anak-anak menjadi yatim piatu. Tangisannya semakin keras tatkala dia mengingat sekolah dibakar dengan kejamnya. Dia sedih karena nanti orang tak akan lagi mengingat dirinya akibat buku-buku sudah habis di bakar.
Tatkala dia sedang menangis, tiba-tiba Dewi Laut datang. Dengan gulungan ombak yang maha dahsyat dia lumat negeri itu. Dia telan apa saja yang ada di depannya. Termasuk ruang interogasi Dewa Awan. Habis, semua hanyut digulung. Dewa Awan berenang-renang menyelamatkan dirinya. Sekali lagi dia menangis. Karena yang dilihatnya ternyata bukan kelompok-kelompok bersenjata yang tengah bertikai, tetapi warga tak berdosa yang hanyut ditelan Dewi Laut.
Manisku, aku sedang tidak teringat pada kota kita. Aku sedang bercerita tentang kisah temanku yang beberapa hari lalu mampir di kotaku. Maaf kalau ternyata surat ini hanya membuatmu kembali luka. Tapi aku harus mengisahkan ini padamu. Biar engkau mengerti perasaanku yang sebenarnya saat ini. Aku akan lanjutkan kisah Wak Leman itu.
Ketika ombak surut, Dewa Awan turun dari atap rumah yang telah kosong ditinggal penghuninya. Dengan langkah gontai, dia pergi ke pantai. Dia menyeru kepada Dewi Laut. Dia marah kepada ombak yang telah membuat penduduk tak berdosa mati kembung di halaman rumahnya.
Maka muncullah Dewi Laut dari tengah-tengah samudera. Masih seperti dulu, dengan wajah sedih dan tertunduk, Dewi Laut datang kepadanya.
“Sekarang siapa yang lebih tidak mengerti apa itu cinta?†tanya Dewa Awan. Dewi Laut menangis kemudian menjawab. “Kamu.â€
Dengan heran dan menahan tawa, Dewa Awan membalas, “Apa yang telah kau perbuat dengan warga yang tak berdosa? Mengapa bukan kelompok bersenjata itu saja yang kau lumat?†tanya Dewa Awan.
“Aku tidak bisa menenggelamkan mereka.†Jawab Dewi Laut.
“Mengapa tak bisa? Kau punya kuasa untuk mengirimkan semua air yang ada di tengah lautan sana ke darat. Kau bisa menenggelamkan gunung. Mengapa tak kau lakukan itu?†Tanya Dewa Awan. Dewi Laut menangis.
“Aku tak bisa melakukannya tanpa hujan,â€
“Tak bisa? Kenapa?â€
“Kalau aku pindahkan semua air di laut ke daratan, bagaimana dengan mahluk lain di belahan bumi ini? Bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan perlakuanku pada manusia yang bergantung pada laut? Mereka bisa kehilangan cinta. Sementara aku berharap, meski ombak kecilku ini menelan warga tak berdosa, tetapi akan dapat tumbuh cinta di atasnya.†Jawab Dewi Laut.
Sayangku, Dewa Awan masih tetap tidak terima dengan alasan itu. Bagi dia, Dewi Laut tidak mengerti arti cinta sesungguhnya.
“Kau tidak tahu apa itu cinta,†kata Dewa Awan kecewa.
“Tak kusangka meski kau telah melewati seluruh kepedihan selama menjadi manusia, namun kau tetap tak mengerti juga apa itu cinta,†balas Dewi Laut menuding. “Mula-mula kau kirimkan hujan, kemudian kau ambil dia kembali. Kau hanya puas membagi tapi tak pernah iklas memberi.†ujar Dewi Laut sambil berlalu ke tengah samudera.
Tinggallah Dewa Awan termangu-mangu sendiri di tepi pantai.
Arsi kekasihku. Seperti kata temanku itu, menurut Wak Leman, sejak itu Dewa Awan menjadi Dewa yang sangat bijak. Meskipun setiap kali hujan tetap ada manusia yang mengutukinya, namun Dewa Awan tetap mengirimkan hujan. Karena hujan adalah puisi cinta yang diberikan Dewa Awan kepada lautan manusia di bumi kita.
Alkisah, honeyku. Tak lama setelah dongeng ini dibacakan kepada temanku, Wak Leman akhirnya ditangkap. Karena dia dituduh sebagai seorang pelarian politik. Mayatnya ditemukan menggembung di Sungai Deli. Aku memang tak pernah paham dengan politik di negeri kita. Tapi aku akan terus berjuang. Meski aku jauh dari tanah kelahiran.
Peluk cium untukmu
Dari kekasihmu di Perbatasan
Obem
Maardhatillah, 25 November 2007
PS: meski aku sudah selesai mendongeng, hujan masih tetap turun di luar jendela flatku. Cintaku padamu, mungkin masih cinta yang dulu. [**]
Populer
Senin, 01 Desember 2025 | 02:29
Minggu, 30 November 2025 | 02:12
Jumat, 28 November 2025 | 00:32
Minggu, 07 Desember 2025 | 23:55
Jumat, 28 November 2025 | 02:08
Minggu, 30 November 2025 | 03:18
Jumat, 28 November 2025 | 04:14
UPDATE
Senin, 08 Desember 2025 | 14:12
Senin, 08 Desember 2025 | 14:12
Senin, 08 Desember 2025 | 13:57
Senin, 08 Desember 2025 | 13:56
Senin, 08 Desember 2025 | 13:45
Senin, 08 Desember 2025 | 13:38
Senin, 08 Desember 2025 | 13:30
Senin, 08 Desember 2025 | 13:28
Senin, 08 Desember 2025 | 13:23
Senin, 08 Desember 2025 | 13:22