Berita

Massa buruh menggelar aksi unjuk rasa di kawasan Balaikota DKI Jakarta. Foto: Istimewa)

Publika

Buruh Menjerit Minta Gaji Rp6 Juta

SELASA, 30 DESEMBER 2025 | 04:07 WIB

APA artinya pengusaha atau oligarki tanpa buruh. Semua industri tidak akan jalan. Namun, pemerintah lebih senang mendengarkan pengusaha ketimbang buruh, orang kecil. Untuk minta naik gaji, mereka harus teriak-teriak di jalan, demo. 

Senin 29 Desember 2025, Jakarta dan Bandung mendadak jadi panggung teater realisme magis. Ada 20 ribu buruh turun ke jalan. Bukan membawa senjata, tapi membawa angka Rp6 juta. 

Angka yang oleh sebagian elite dianggap mimpi siang bolong. Padahal, oleh buruh cuma tiket supaya hidup tidak selalu kejar-kejaran dengan tanggal tua.


Pemprov DKI Jakarta menetapkan UMP 2026 sebesar Rp5,7 juta. Naik 6,17 persen. Kenaikan ini diumumkan dengan penuh kebanggaan. Seolah-olah buruh baru saja memenangkan undian. 

Padahal di lapangan, harga beras, sewa kontrakan, listrik, transportasi, dan biaya sekolah anak sudah lebih dulu naik tanpa pidato pers. 

Kenaikan upah itu terasa seperti hujan gerimis di tengah banjir, secara teknis basah, secara praktis tenggelam.

Buruh minta UMP Rp6 juta, 100 persen sesuai Kebutuhan Hidup Layak. Bukan 200 persen, bukan gaji menteri, bukan fasilitas dinas. 

Hanya ingin definisi “layak” tidak dipotong faktor alpha 0,75, seolah-olah hidup buruh boleh disunat seperempatnya demi estetika regulasi. Dalam logika kebijakan, layak itu fleksibel. Dalam logika perut, layak itu mutlak.

Aksi dipusatkan di Patung Kuda, Monas, hingga Istana Merdeka, juga di Gedung Sate Bandung. Dua hari berturut-turut. 

Aparat menurunkan 1.392 personel dengan slogan pengamanan humanis. Humanis versi terbaru ini inovatif, tanpa senjata api, tapi dengan derek. 

Mobil komando buruh, mikrofon demokrasi jalanan, ditarik aparat di Jalan Medan Merdeka Selatan. Orasi terhenti. Suara buruh mendadak sunyi, bukan karena capek, tapi karena alat bicaranya disita. Demokrasi pun ikut kehilangan speaker.

Said Iqbal, Presiden KSPI, menyebut buruh diperlakukan seperti musuh. Sulit menyalahkannya. 

Akses ke Istana diblokade, aksi dialihkan. Pesannya jelas, silakan bicara, asal jangan terlalu dekat dengan kekuasaan. Demokrasi boleh hidup, tapi jangan parkir sembarangan.

Pemprov DKI Jakarta lewat Gubernur Pramono Anung menegaskan UMP Rp5.729.876 adalah yang tertinggi di Indonesia. 

Ini benar. Tapi mengatakan itu di Jakarta sama seperti bilang “kapal ini paling mewah” sambil mengabaikan fakta, lautnya sedang dihantam badai. Biaya hidup Jakarta juga tertinggi. 

Subsidi transportasi dan pangan disiapkan sebagai bantalan sosial. Bantalan ini empuk di kalimat, keras di kenyataan. Ia menahan benturan sesaat, tapi tidak menghentikan jatuhnya daya beli.

Pemerintah pusat menyebut aksi buruh sebagai aspirasi sah, UMP sudah sesuai regulasi, daya saing ekonomi harus dijaga. 

Buruh diminta damai, kondusif, tidak anarkis. Buruh pun patuh. Mereka tidak membakar, tidak merusak. Mereka hanya meminta hidup layak. Ironisnya, permintaan paling sopan itu justru dianggap paling merepotkan.

Buruh selalu diminta memahami negara, tapi negara jarang mau memahami buruh. Buruh dipaksa akrab dengan istilah makroekonomi, sementara pembuat kebijakan alergi pada daftar belanja bulanan buruh. 

Padahal tanpa buruh, tidak ada grafik pertumbuhan, tidak ada daya saing, tidak ada “tertinggi di Indonesia”.

Memahami jeritan buruh yang minta gaji Rp6 juta seharusnya tidak butuh gelar ekonomi. Cukup logika waras. 

Jika seseorang bekerja penuh di kota dengan biaya hidup paling mahal, lalu masih harus berhemat untuk sekadar hidup, maka yang bermasalah bukan teriakannya, tapi sistemnya. 

Membela buruh di titik ini bukan sikap politis, melainkan refleks kemanusiaan. Di negeri ini, refleks itu justru sering dianggap berlebihan.

“Abangkan buruh juga, kenapa tidak demo.”

“Bukan, saya pengangguran profesional, tak bisa demo karena tak ada organisasinya.” Ups

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Slank Siuman dari Jokowi

Selasa, 30 Desember 2025 | 06:02

Setengah Juta Wisatawan Serbu Surabaya

Selasa, 30 Desember 2025 | 05:30

Pilkada Mau Ditarik, Rakyat Mau Diparkir

Selasa, 30 Desember 2025 | 05:19

Bukan Jokowi Jika Tak Playing Victim dalam Kasus Ijazah

Selasa, 30 Desember 2025 | 05:00

Sekolah di Aceh Kembali Aktif 5 Januari

Selasa, 30 Desember 2025 | 04:50

Buruh Menjerit Minta Gaji Rp6 Juta

Selasa, 30 Desember 2025 | 04:07

Gegara Minta Duit Tak Diberi, Kekasih Bunuh Remaja Putri

Selasa, 30 Desember 2025 | 04:01

Jokowi-Gibran Harusnya Malu Dikritik Slank

Selasa, 30 Desember 2025 | 03:45

Pemprov DKI Hibahkan 14 Mobil Pemadam ke Bekasi hingga Karo

Selasa, 30 Desember 2025 | 03:05

Rakyat Tak Boleh Terpecah Sikapi Pilkada Lewat DPRD

Selasa, 30 Desember 2025 | 03:02

Selengkapnya