Berita

Ilustrasi pembangkit energi. (Foto: Artificial Inteligence)

Publika

Bioenergi untuk Sumatera Bukan PLTN

SENIN, 29 DESEMBER 2025 | 17:42 WIB | OLEH: YUSRA ABDI*

PADA Desember tahun 1979, di Amerika beredar film drama hukum keluarga berjudul Kramer vs Kramer yang dibintangi oleh Dustin Hoffman, Meryl Streep, Justin Henry, serta Jane Alexander. Film ini diadaptasi dari Novel karya  Avery Corman (1977) dan disutradarai oleh Robert Benton yang dikenal dengan gaya independen dan narasi emosional mendalam.
 
Judulnya merujuk pada pertarungan hukum perebutan hak asuh anak, sekaligus melambangkan pecahnya keluarga Kramer dan konflik internal masing-masing orang tua dalam mencari peran dan identitas baru.

Persidangan yang sengit menampilkan strategi saling menjatuhkan karakter (character assassination), memperlihatkan keterbatasan hukum dalam menilai cinta, pengasuhan, dan tanggung jawab emosional.


Film ini meraih sembilan nominasi Oscar dan memenangkan lima penghargaan utama, termasuk film terbaik, sutradara terbaik, aktor terbaik, aktris pendukung terbaik, dan skenario adaptasi terbaik.
 
Seperti pertarungan keluarga Kramer inilah Indonesia membuat Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034. Adanya pertarungan sengit antara kebijakan pro-fosil dan anti fosil, adanya character assassination dalam pemilihan jenis pembangkit dan juga upaya menjegal jenis pembangkit yang akan dibuat.

Dari kubu penentang energi fosil khususnya batubara kemudian melihat bahwa PLTU adalah stranded assets (aset terdampar) dan tidak memiliki masa depan lagi di Indonesia.
 
Dari pendukung energi fosil mereka mengatakan bahwa Indonesia masih memerlukan pembangkit fosil khususnya batubara karena PLTU batubara adalah pembangkit yang murah dan andal.
 
Seperti keluarga Kramer, pemerintah yang pro PLTU juga mencari “peran dan identitas baru” dengan menunjukkan kebijakan yang mengurangi energi fosil dengan memilih pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang tidak mengeluarkan emisi CO2 pada RUPTL PT PLN (Persero) 2025-2034.
 
Sayangnya kebijakan ini berjalan limbung dan tidak menunjukkan sebagai sebuah  kebijakan komprehensif dan koheren. Para pengambil keputusan dalam forum energi fosil mengatakan bahwa energi fosil masih diperlukan, namun ketika berganti forum pada energi terbarukan mereka mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar untuk energi terbarukan dan berjanji membangun energi terbarukan bebas emisi.

Di sisi lain pemerintah juga didesak untuk segera melakukan 100 persen elektrifikasi di Indonesia. Saat ini kita masih memiliki 5.700 desa yang belum memiliki listrik dan konsumsi listrik kita jauh di bawah China, Indonesia 1.448 kWh/per kapita sedangkan China 7.097 kWh per kapita.
 
Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan krusial dalam menentukan arah transisi energi nasional. Berdasarkan RUPTL PT PLN (Persero) 2025-2034, pemerintah menargetkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) akan mendominasi kapasitas pembangkit nasional hingga 76,9 GW pada tahun 2060.

Namun, sebuah keputusan membingungkan muncul dalam RUPTL tersebut, yakni rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) perdana dengan kapasitas 0,5 GW, di mana sebesar 250 MW direncanakan akan dibangun di Sumatera.

Keputusan ini memicu pertanyaan serius karena karakteristik geografis dan potensi sumber daya alam Sumatera justru lebih selaras dengan pengembangan bioenergi ketimbang nuklir.

Tidak ada yang salah dengan PLTN, namun membangun PLTN skala 250 MW tidak ada negara yang melakukannya. Agar efisien PLTN harus dibangun dengan skala besar (Gigawatt). Mesir baru saja mulai membangun PLTN El Dabaa tahun 2022, sebesar 4 x 1.200 MW, Uni Emirat Arab mengoperasikan 4 PLTN El Barakah sebesar 4 x 1345 MW, demikian juga Ethiopia baru saja menandatangani rencana pembangunan PLTN dengan Rusia dengan skala Gigawatt.

Membangun PLTN di Sumatera pada skala 250 MW mencerminkan kegagalan dalam pemahaman perencanaan energi.

Penggunaan PLTN memerlukan syarat teknis dan ekonomi yang sangat spesifik yang saat ini tidak dipenuhi oleh Sumatera. PLTN memiliki kepadatan daya (power density) yang tinggi, lebih relevan untuk wilayah sangat padat penduduk, kekurangan lahan, dan memiliki permintaan listrik yang tinggi, hal mana yang tidak dipenuhi jika PLTN dibangun di Sumatera.

Hal penting lainnya adalah sistem kelistrikan Sumatera saat ini masih terfragmentasi dengan pertumbuhan beban yang lebih rendah dibanding sistem Jawa-Bali. Sumatera belum memiliki industrial basin atau kawasan industri padat energi yang mampu menyerap daya dari pembangkit skala besar secara stabil dan optimal.

Membangun PLTN di wilayah dengan kepadatan beban rendah ibarat memaksakan ukuran sepatu yang terlalu besar; teknologinya mungkin canggih, tapi tidak pas dengan kebutuhan.

Sumatera bukan sekadar pulau besar, ia adalah pusat biomassa terbesar di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara. Dengan luas perkebunan kelapa sawit mencapai lebih dari 10,7 juta hektare, wilayah ini menghasilkan residu dalam skala raksasa yang mencakup tandan kosong (EFB), cangkang (PKS), serat mesokarp, hingga limbah cair Palm Oil Mill Effluent (POME).

Secara nasional, residu sawit mencapai lebih dari 200 juta ton per tahun, dengan porsi terbesar ada di Sumatera.

Berdasarkan perhitungan teknis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi listrik dari bioenergi di Sumatera mencapai 15.588 MW. Potensi ini terdiri dari energi sawit sebesar 12.654 MW, sekam padi 9.808 MW, dan sampah kota sebesar 2.066 MW.

Ironisnya, target penambahan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBio) di Sumatera dalam RUPTL terbaru hanya puluhan megawatt—angka yang sangat kecil dibandingkan potensi teknis yang tersedia.

Membangun PLTN membutuhkan ekosistem regulasi yang sangat ketat, lisensi keselamatan nuklir, dan fasilitas pengelolaan limbah radioaktif. Hal ini menciptakan beban institusional yang berat dan waktu pembangunan yang sangat panjang.

Bioenergi, di sisi lain, menggunakan teknologi yang sudah matang dan dapat diimplementasikan jauh lebih cepat untuk menurunkan emisi dan dapat dikombinasikan dengan mengganti PLTD PLN (tersebar).

Dari perspektif ekonomi, bioenergi menawarkan keuntungan yang jauh lebih kompetitif dibandingkan nuklir bagi pembangunan daerah karena akan terdapat sumber ekonomi baru bagi daerah dan membuka kesempatan lapangan kerja baru.

Residu sawit berupa palm kernel shell (PKS) yang melimpah dapat digunakan secara langsung pada boiler namun residu padat lainnya (phytomass) dapat dirubah menjadi biochar, biocoal atau biocarbon -material kaya karbon- dengan proses pyrolisis, hydrothermal carbonization, atau continuous gasification.

Proses ini mentransformasi biomassa residu sawit menjadi bentuk baru, pyrogenic-carbon material yang menyerupai batubara (coal-like material) dan dapat digunakan sebagai bahan baku pembangkit listrik.

Brazil adalah negara penghasil biocoal terbesar di dunia dan biocoal yang dihasilkan digunakan pada industri metalurgi. Pada proses pyrolysis, selain bentuk padat, biomassa juga dapat menghasilkan synthetic-gas (syngas) yang juga dapat menghasilkan hidrogen dan metanol. Metanol merupakan campuran penting bagi biodiesel.

Biochar berperan penting dalam kerangka kebijakan FOLU Net Sink 2030 Indonesia untuk memperkuat stok karbon tanah dan mengurangi risiko emisi. Penerapan biochar dapat meningkatkan struktur tanah, retensi air, aktivitas mikroba, dan siklus nutrisi sekaligus mengurangi emisi nitrous oxida dan metana.

Pada tanah tercemar dan terdegradasi, biochar dapat mengimobilisasi logam berat, membatasi toksisitas lindi, dan meningkatkan efektivitas fitoremediasi. Biochar juga dapat menyimpan karbon selama 1.000 tahun.

Sebaliknya, PLTN bersifat kaku dan harus dibangun dalam skala besar untuk mencapai skala efisiensi sedangkan bioenergi bersifat modular dan terdistribusi. Pembangkit biomassa dan biogas berkapasitas 3–20 MW dapat dibangun dekat dengan sumber bahan baku dan pusat beban, sehingga mengurangi kebutuhan transmisi dan meningkatkan keandalan sistem lokal.

Model dual-fluidized bed reactor yang dikembangkan TU Wien Austria -melalui pabrik Güssing di Austria- menunjukkan efisiensi tinggi untuk produksi listrik dan panas. Teknologi yang sama tentunya dapat menggunakan residu sawit (OPB) di Sumatera.

Studi dari Asian Development Bank (ADB) menunjukkan bahwa PLTBio yang memanfaatkan POME di Sumatera memiliki Levelized Cost of Electricity (LCOE) di kisaran 7–10 sen USD/kWh. Sebagai perbandingan, estimasi biaya untuk PLTN generasi III diproyeksikan jauh lebih mahal, yakni di atas 12 sen USD/kWh.

Pengembangan bioenergi di Sumatera memiliki dimensi urgensi lingkungan yang tidak dimiliki oleh nuklir. POME yang tidak diolah melepaskan gas metana (CH4) ke atmosfer, yang dianggap memiliki potensi pemanasan global 28 kali lebih tinggi dibandingkan CO2.

Saat ini, baru sekitar 10% pabrik kelapa sawit yang memiliki fasilitas penangkapan biogas (biogas capture). Padahal, potensi listrik dari biogas POME di Sumatera diperkirakan mencapai 1,13 GW.

Dengan mengubah limbah ini menjadi energi, kita menyelesaikan dua masalah sekaligus: menyediakan listrik stabil untuk daerah dan menekan emisi gas rumah kaca secara signifikan.

Biogas sekarang ini di Eropa juga digunakan dalam bentuk lain seperti bio-CNG dan bio-LNG, karenanya mereplikasi keberhasilan Eropa bukanlah perkara sulit dan ini sudah dibuktikan dengan adanya retrofitting kendaraan angkutan di kebun sawit dengan mengganti bahan bakar solar dengan bio-CNG.

Bio-LNG saat ini adalah sektor paling dinamis dalam bioenergi Jerman. Karena berbentuk cair pada -160 derajat Celcius ia memiliki kepadatan energi tinggi yang dibutuhkan untuk truk berat jarak jauh. Pangsa pasar bio-LNG di SPBU LNG melonjak drastis. Pada 2022 hanya 1% sementara pada pertengahan 2024 melebihi 50% dari total penjualan LNG di Jerman.

Indonesia telah meresmikan pabrik Bio-CNG komersial pertama di Langkat, Sumatera Utara, yang mampu mengurangi emisi sebesar 3,7 juta ton CO2 per tahun. Bio-CNG telah terbukti efektif sebagai bahan bakar kendaraan operasional dan pengganti solar pada genset, memberikan penghematan biaya yang signifikan.

Pada akhirnya, pertanyaan energi Sumatera bukanlah “teknologi apa yang paling canggih”, melainkan “teknologi apa yang paling sesuai”. Jika jawabannya didasarkan pada geografi, ekonomi politik, dan keberlanjutan sosial-ekologis, maka kesimpulannya jelas: bioenergi untuk Sumatera, bukan PLTN.
 
Energy Investment & PPP Specialist ENRI Indonesia

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Bangunan di Jakarta Bakal Diaudit Cegah Kebakaran Maut Terulang

Senin, 29 Desember 2025 | 20:13

Drama Tunggal Ika Teater Lencana Suguhkan Kisah-kisah Reflektif

Senin, 29 Desember 2025 | 19:53

Ribuan Petugas Diturunkan Jaga Kebersihan saat Malam Tahun Baru

Senin, 29 Desember 2025 | 19:43

Markus di Kejari Kabupaten Bekasi Mangkir Panggilan KPK

Senin, 29 Desember 2025 | 19:35

DPP Golkar Ungkap Pertemuan Bahlil, Zulhas, Cak Imin, dan Dasco

Senin, 29 Desember 2025 | 19:25

Romo Mudji Tutup Usia, PDIP Kehilangan Pemikir Kritis

Senin, 29 Desember 2025 | 19:22

Kemenkop Perkuat Peran BA dalam Sukseskan Kopdes Merah Putih

Senin, 29 Desember 2025 | 19:15

Menu MBG untuk Ibu dan Balita Harus Utamakan Pangan Lokal

Senin, 29 Desember 2025 | 19:08

Wakapolri Groundbreaking 436 SPPG Serentak di Seluruh Indonesia

Senin, 29 Desember 2025 | 19:04

Program Sekolah Rakyat Harus Terus Dikawal Agar Tepat Sasaran

Senin, 29 Desember 2025 | 18:57

Selengkapnya