Anggota DPR RI Fraksi Gerindra, Azis Subekti (RMOL/Ahmad Satrio)
Peringatan 20 tahun Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki harus menjadi momentum refleksi serius bagi negara dalam menepati seluruh janji perdamaian kepada rakyat Aceh. Perdamaian yang telah terjaga selama dua dekade dinilai perlu diperkuat dengan pemenuhan komitmen negara secara nyata.
Anggota DPR RI Fraksi Gerindra, Azis Subekti, menegaskan bahwa dua dekade pasca penandatanganan MoU Helsinki, Aceh telah membuktikan bahwa perdamaian merupakan pilihan yang tepat. Senjata telah lama terdiam, kehidupan sosial berangsur pulih, dan pembangunan berlangsung lebih terbuka.
“Namun, peringatan dua dekade perdamaian ini seharusnya tidak berhenti pada seremoni dan nostalgia sejarah. Ini semestinya menjadi ruang refleksi bersama: sejauh mana negara benar-benar telah menepati janjinya kepada rakyat Aceh?” kata Azis kepada wartawan, Senin, 29 Desember 2025.
Menurutnya, perdamaian Aceh bukan sekadar peristiwa masa lalu, melainkan janji politik dan moral negara. Perdamaian hanya akan kokoh jika diiringi rasa keadilan serta kesejahteraan yang dirasakan langsung oleh masyarakat.
“Tanpa itu, damai berisiko hanya menjadi ketenangan formal di permukaan, sementara kegelisahan tetap tersimpan di bawahnya,” ujar legislator Gerindra tersebut.
Azis juga menyoroti pernyataan Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem yang menyebut realisasi komitmen pemerintah pusat baru mencapai sekitar 35 persen. Ia menilai pernyataan tersebut harus dibaca sebagai suara lapangan yang jujur, bukan sekadar keluhan politik.
Terutama terkait pemenuhan lahan bagi mantan kombatan, Azis menilai persoalan tersebut terus berulang akibat proses birokrasi yang kerap kembali ke titik awal setiap kali terjadi pergantian kepemimpinan di kementerian terkait.
“Dalam proses yang berlarut-larut itu, pihak yang paling merasakan dampaknya adalah mereka yang seharusnya paling cepat dipulihkan kehidupannya,” jelasnya.
Ia juga menyinggung insiden pengibaran bendera bulan bintang yang kemudian ditertibkan aparat TNI. Menurut Azis, peristiwa tersebut perlu dilihat secara lebih empatik dan komprehensif.
“Ini bukan semata persoalan simbol, melainkan ekspresi kegelisahan sosial yang belum sepenuhnya tertangani. Sejarah wilayah pascakonflik menunjukkan, ketika kesejahteraan tertinggal, simbol sering menjadi bahasa terakhir untuk menyampaikan kekecewaan,” ujarnya.
Karena itu, Azis menegaskan bahwa menjaga perdamaian Aceh tidak cukup hanya dengan pendekatan keamanan. Negara, katanya, harus hadir secara lebih manusiawi melalui pendekatan kesejahteraan yang konsisten dan berkeadilan.
“Integrasi ekonomi mantan kombatan, melalui kepastian lahan, pekerjaan, dan penghidupan yang layak, bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi fondasi utama bagi perdamaian jangka panjang,” tegasnya.
Dalam konteks tersebut, Azis menilai pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memiliki momentum penting untuk menuntaskan pekerjaan rumah sejarah di Aceh.
“Menyelesaikan butir-butir MoU Helsinki yang masih tertunda bukan hanya soal Aceh, tetapi juga tentang kehadiran negara dalam memenuhi janji kepada warganya,” katanya.
Ia menambahkan, negara yang menepati janji akan menumbuhkan kepercayaan rakyat. Sebaliknya, janji yang terus tertunda hanya akan memperlebar jarak emosional antara rakyat dan kekuasaan.
“Perdamaian bukan sesuatu yang selesai dalam satu generasi atau satu dokumen perjanjian. Ia adalah proses panjang yang menuntut kesabaran, konsistensi, dan empati negara. Aceh telah memilih jalan damai dan setia pada Republik Indonesia. Kini, tugas negara adalah memastikan bahwa pilihan itu berbuah kesejahteraan, bukan sekadar penantian,” pungkas Azis.