Berita

Ilustrasi. (Foto: AI)

Publika

Ketika Kehancuran dan Lost Generation Bukan Lagi Ramalan

SELASA, 23 DESEMBER 2025 | 05:59 WIB

DI awal era Reformasi dan tahun 2000-an, dua tokoh bangsa ini pernah melontarkan pernyataan yang saat itu terdengar mengagetkan, bahkan dianggap pesimistis oleh sebagian orang. Pak Amien Rais, salah satu arsitek Reformasi, dengan tegas menyatakan: "Negeri ini sudah mendekati kehancuran sempurna."

Sementara Pak Kwik Kian Gie, ekonom dan mantan menteri, memperingatkan: "Akan terjadi lost generation". Dua dekade kemudian, kita tidak lagi bisa menganggap pernyataan itu sebagai sekadar retorika politik atau pesimisme berlebihan. Realitas yang kita saksikan sehari-hari justru memperlihatkan bahwa peringatan itu sedang menjadi kenyataan--perlahan tapi pasti di depan mata kita sendiri.

Dari ruang kelas ketika pendidikan kehilangan ruh, seorang anak kelas 2 SD seharusnya sedang belajar membaca dengan lancar, menulis dengan rapi, dan tentu saja berbicara dengan santun. Namun apa yang kita dengar? Tutur kata yang kasar, bahasa seperti binatang, kata-kata kotor yang membuat telinga pekak bagi siapa pun yang masih percaya pada kebaikan. Ini bukan terjadi di satu atau dua tempat. Ini merata.


Di kelas 6 SD, anak-anak yang seharusnya sudah menguasai perkalian dasar ternyata kesulitan menghitung uang kembalian ketika membeli makanan. Perkalian sederhana, hal yang dulu dianggap wajar dikuasai anak kelas 3, kini menjadi momok di kelas tertinggi sekolah dasar.

Apa yang Salah?

Pendidikan kita telah kehilangan rohnya. Yang tersisa hanyalah pengajaran tanpa pendidikan. Hafalan tanpa pemahaman. Nilai tanpa karakter. Ijazah tanpa kecakapan hidup. Anak-anak kita lulus dengan sertifikat, tapi tidak dengan bekal moral dan keterampilan dasar yang memadai.

Di Jalanan: Cermin Kepedulian yang Hilang

Tempat sampah sudah tersedia, tapi tusukan bekas makanan tetap berserakan di jalan. Pedagang yang menjual makanan itu pun abai, seolah tidak melihat atau tidak peduli dengan sampah yang berhamburan di depan lapaknya sendiri. Rasa dan logika entah di mana.

Di jalan raya, kendaraan diparkir seenaknya--bahkan di depan gerbang rumah orang. Pengendara berhenti sembarangan, menghalangi lalu lintas, tanpa sedikitpun merasa bersalah. Tidak ada yang protes, dan kemudian tidak ada yang menegur. Karena ditegur nyolot, diprotes; "Hanya sebentar", tukasnya. Semua seolah wajar saja.

Ini bukan soal peraturan yang kurang, atau polisi yang tidak cukup. Ini soal kesadaran moral yang sudah tumpul. Ini tentang empati yang sudah mati. Ini tentang masyarakat yang kehilangan kepekaan terhadap hak orang lain dan tanggung jawab terhadap ruang publik. Dan sekali lagi, ini tidak hanya terjadi di satu tempat. Ini merata.

Ilmu Agama Tanpa Amal; Hafalan Tanpa Implementasi

Yang lebih ironis lagi adalah kondisi pendidikan agama kita. Anak-anak diajarkan untuk menghafal ayat-ayat suci, hadis-hadis Nabi, rukun iman, rukun Islam, dan berbagai dalil lainnya. Tapi semua itu berhenti sebagai hafalan, bukan sebagai bekal amalan moral. Mereka hafal ayat tentang kejujuran, tapi berbohong tanpa beban. Mereka hafal hadis tentang kebersihan, tapi membuang sampah sembarangan. Mereka hafal perintah berbakti kepada orang tua, tapi kasar kepada ibu bapaknya sendiri. Mereka hafal larangan menyakiti orang lain, tapi kata-kata mereka tajam seperti pisau.

Ilmu agama yang tidak menjadi karakter adalah ilmu yang mati. Pengajaran agama yang tidak melahirkan akhlak mulia adalah pengajaran yang sia-sia. Dan inilah yang sedang terjadi: generasi yang religius di ritual, tapi sekuler di perilaku.

Sudah Jadi Ayah-Bunda, Belum Jadi Orang Tua

Pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama: Dari mana anak-anak kelas 2 SD belajar kata-kata kasar itu? Tidak mungkin anak berbicara kotor kalau pendidikan yang utama, yaitu di rumah mengajarkan kesantunan. Tidak mungkin anak bersikap abai terhadap orang lain kalau di rumah mereka dibiasakan dengan empati dan kepedulian. Tidak mungkin anak tidak punya adab kalau orang tuanya konsisten mendidik dengan teladan. Ini artinya satu hal: banyak orang yang sudah menjadi Ayah dan Bunda, tapi belum menjadi orang tua. 

Menjadi Ayah atau Bunda itu biologis--cukup dengan melahirkan. Tapi menjadi orang tua itu adalah tanggung jawab besar: mendidik, membimbing, memberi teladan, membentuk karakter, dan menanamkan nilai-nilai kebaikan. Dan di sinilah banyak dari kita yang gagal. Kita sibuk mencari nafkah itu baik. Tapi kita lupa bahwa anak-anak membutuhkan lebih dari sekadar uang jajan. 

Mereka membutuhkan waktu, perhatian, dan keteladanan. Mereka butuh mendengar kita berbicara santun, melihat kita bertanggung jawab, merasakan kita peduli. Jika generasi hari ini hancur, bukan karena sistem pendidikan yang buruk semata. Tapi karena rumah-rumah kita tidak lagi menjadi sekolah pertama yang baik.

Akhir Tahun: Momentum Introspeksi

Kita sedang menjelang akhir tahun Masehi waktu yang biasanya digunakan untuk refleksi dan resolusi. Ini adalah momen yang tepat untuk kita berhenti sejenak, menoleh ke belakang, dan bertanya pada diri sendiri: Apa kontribusi saya terhadap kondisi ini? Apakah saya sudah menjadi bagian dari solusi, atau justru bagian dari masalah?

Ketika saya melihat anak tetangga berbicara kasar, apakah saya diam saja? Ketika ada yang buang sampah sembarangan, apakah saya ikut abai? Ketika ada yang parkir sembarangan menghalangi jalan, apakah saya merasa itu bukan urusan saya? Kita perlu ingat satu prinsip penting: membiarkan kejahatan terjadi, sama artinya dengan bergabung dalam jamaah pelaku kejahatan itu. 

Diam bukan netral. Diam adalah pilihan. Dan dalam banyak kasus, diam adalah bentuk pembiaran yang justru memperkuat kerusakan. Jika kita ingin negeri ini berubah dan berkah, kita tidak boleh hanya mengeluh. Kita harus mulai dari diri sendiri, dari keluarga kita, dari lingkungan terdekat kita.

Solusi: Mulai dari yang Kecil

Mulai dari sekarang apa yang bisa kita lakukan? Pertama, perbaiki pendidikan di rumah-rumah adalah madrasah pertama. Sebelum menyalahkan sekolah atau pemerintah, tanyakan dulu: apakah kita sudah mendidik anak-anak kita dengan baik? Apakah kita memberi teladan dalam kesantunan berbicara, kejujuran, tanggung jawab, dan kepedulian? 

Kedua, ajarkan dengan teladan, bukan hanya kata. Anak-anak belajar bukan dari apa yang kita katakan, tapi dari apa yang kita lakukan. Jika kita ingin mereka santun, kita harus santun. Jika kita ingin mereka jujur, kita harus jujur. Jika kita ingin mereka peduli lingkungan, kita harus menunjukkan kepedulian itu dalam tindakan nyata. 

Ketiga, jangan abaikan kesalahan kecil ketika melihat anak buang sampah sembarangan, tegur dengan bijak. Ketika mendengar anak berbicara kasar, koreksi dengan sabar. Jangan biarkan kesalahan kecil menjadi kebiasaan. Kebiasaan buruk dimulai dari pembiaran terhadap hal-hal kecil. 

Keempat, hidupkan kembali nilai Agama dalam perilaku agama bukan hanya untuk dihafalkan. Agama adalah untuk diamalkan. Ajarkan anak-anak bahwa setiap ibadah harus melahirkan akhlak. Shalat harus melahirkan kejujuran. Puasa harus melahirkan empati. Zakat harus melahirkan kepedulian. Jika ibadah tidak mengubah perilaku, maka ada yang salah dalam cara kita beragama. 

Kelima, bangun kesadaran kolektif, jangan merasa ini bukan urusan kita. Ketika ada tetangga yang anaknya berperilaku buruk, dekati dengan cara yang baik. Ketika ada pedagang yang tidak peduli kebersihan, ingatkan dengan santun. Kita adalah masyarakat, dan masyarakat yang baik adalah masyarakat yang saling mengingatkan dalam kebaikan.

Musibah dari tangan kita sendiri. Allah SWT telah mengingatkan kita dalam firman-Nya, QS. Asy-Syura ayat 30: "Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." Ayat ini adalah cermin bagi kita semua. Jika hari ini kita melihat generasi yang hilang, masyarakat yang rusak, dan negeri yang mendekati kehancuran--itu bukan karena takdir yang tidak bisa diubah. Itu adalah konsekuensi dari perbuatan tangan kita sendiri: pembiaran, ketidakpedulian, dan kelalaian dalam mendidik. Tapi ayat yang sama juga memberi harapan: Allah masih memaafkan sebagian besar kesalahan kita. 

Artinya, pintu taubat dan perbaikan masih terbuka. Kita masih punya kesempatan. Kita masih bisa mengubah arah. Negeri ini belum benar-benar hancur. Generasi ini belum benar-benar hilang. Tapi itu tergantung pada pilihan kita hari ini: apakah kita akan terus diam dan membiarkan, atau kita akan bangkit dan memperbaiki? Peringatan Pak Amien Rais dan Pak Kwik Kian Gie bukan untuk membuat kita putus asa. Peringatan itu adalah panggilan untuk bangun. Mari kita mulai. Dari diri sendiri. Dari keluarga kita. Dari hari ini. Karena jika bukan kita, siapa lagi? Dan jika bukan sekarang, kapan lagi? Wallahu a'lam bishawab.


Dedi Waryidi
Pemerhati sosial dan politik 


Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

UPDATE

Laksdya Erwin Tinjau Distribusi Bantuan di Aceh Tamiang

Selasa, 23 Desember 2025 | 03:55

Jembatan Merah Putih

Selasa, 23 Desember 2025 | 03:40

Kongres Perempuan 1928 Landasan Spirit Menuju Keadilan Gender

Selasa, 23 Desember 2025 | 03:13

Menko AHY Lepas Bantuan Kemanusiaan Lewat KRI Semarang-594

Selasa, 23 Desember 2025 | 02:55

Membeli Damai dan Menjual Perang

Selasa, 23 Desember 2025 | 02:32

Komdigi Gandeng TNI Pulihkan Infrastruktur Komunikasi di Aceh

Selasa, 23 Desember 2025 | 02:08

Rocky Gerung: Kita Minta Presiden Prabowo Menjadi Leader, Bukan Dealer

Selasa, 23 Desember 2025 | 01:45

DPRD Minta Pemkot Bogor Komitmen Tingkatkan Mutu Pendidikan

Selasa, 23 Desember 2025 | 01:27

Kebijakan Mualem Pakai Hati Nurani Banjir Pujian Warganet

Selasa, 23 Desember 2025 | 01:09

Pemilihan Kepala Daerah Lewat DPRD Bikin Pemerintahan Stabil

Selasa, 23 Desember 2025 | 00:54

Selengkapnya