ITS Giuseppe Garibaldi. (Foto: RMOLJateng/Istimewa)
WACANA akuisisi kapal induk ringan eks-Angkatan Laut Italia, ITS Giuseppe Garibaldi adalah sebuah narasi tentang rayuan yang kuat. Ia menawarkan kilauan citra blue-water navy, sebuah ambisi agung yang seakan-akan merupakan takdir mutlak bagi negara kepulauan terbesar di dunia ini.
Kapal induk - sang pangkalan udara yang bergerak - menjanjikan proyeksi kekuatan dan efek gentar yang seketika terasa di perairan luas. Namun, di balik kemegahan dek penerbangannya, para arsitek kebijakan di Jakarta dihadapkan pada dilema strategis terberat: Apakah kapal bekas pakai yang sarat dengan biaya operasional tak terperi, benar-benar manifestasi jawaban paling tepat bagi kedaulatan kita?
Sebuah pembelian yang bernilai ratusan juta dolar mungkin terlihat seperti harga diskon untuk sebuah aset prestisius. Namun, para pemikir pertahanan menatap pada hantu yang jauh lebih menakutkan: Total Ownership Cost (TOC) yang tak terhindarkan. Kapal yang telah menjalani empat dekade pelayaran ini menuntut biaya perawatan harian yang brutal, bahan bakar yang melahap anggaran, dan logistik bagi hampir seribu awak kapal. Lebih fatal lagi, sebuah kapal induk tanpa pengawalan adalah kerentanan yang mengundang bahaya.
Ia menuntut Satuan Tugas Kapal Induk yang utuh–fregat canggih, destroyer, dan kapal selam - sebuah komitmen yang akan menjadi lubang hitam finansial, mengancam untuk menenggelamkan program modernisasi Alutsista lain yang jauh lebih mendesak. Jika demikian, kapal induk itu bukan simbol kekuatan, melainkan hanya "Gajah Putih" yang mahal, menyerap sumber daya bangsa tanpa memberikan efektivitas tempur yang sepadan.
Fakta geografi Indonesia sebagai kepulauan yang luas namun diwarnai perairan sempit, menuntut sebuah strategi yang lebih cerdas. Daripada mengejar proyeksi kekuatan ofensif yang boros, kita harus memilih kemampuan bertahan yang tak tertembus, sebuah strategi yang dikenal sebagai Anti-Access/Area Denial (A2/AD). Doktrin ini memanfaatkan karakter kepulauan kita sebagai perisai alami, mengalihkan investasi ke aset yang memberikan daya pukul asimetris, mengubah kelemahan menjadi kekuatan taktis.
Kekuatan kita harus dimulai dari keheningan dasar laut. Investasi pada armada kapal selam diesel-elektrik modern, terutama yang dilengkapi teknologi Air Independent Propulsion (AIP), adalah pilihan yang jauh lebih mematikan. Kapal selam AIP menawarkan keunggulan siluman yang superior, mampu beroperasi dalam laut lebih lama tanpa snorkeling, menjadikannya tulang punggung strategi Sea Denial. Mereka berlayar dalam senyap, menahan akses di jalur-jalur pelayaran strategis, sebuah kekuatan underwater yang efektif sekaligus efisien.
Di permukaan, armada fregat dan korvet kita harus menjadi benteng yang bergerak. Kapal-kapal ini harus memiliki pertahanan udara multi-lapis (multi-layered air defense) yang terintegrasi penuh dari jarak jauh hingga jarak pendek - siap melindungi wilayah utama dari ancaman udara dan rudal, sekaligus berfungsi sebagai platform peluncur rudal anti-kapal jarak jauh. Ini adalah perisai yang lebih merata dan efektif daripada perlindungan tunggal yang terpusat pada satu kapal induk raksasa. Visi ini juga harus merangkul dimensi udara dan siber.
Pengadaan pesawat AWACS (Airborne Warning and Control System) dan integrasi radar darat TNI AU dengan kapal permukaan adalah mata dan telinga yang menciptakan sistem peringatan dini berlapis. Lebih lanjut, keberanian untuk berinvestasi pada kemampuan perang siber dan Kecerdasan Buatan (AI) akan melumpuhkan musuh pada lapisan digital, sebelum kontak fisik terjadi.
Namun, pengubah permainan (game changer) sejati terletak pada dimilikinya daya pukul asimetris: rudal hipersonik. Rudal yang mampu bergerak jauh di atas Mach 5 ini, yang dapat diluncurkan secara tersembunyi dari kapal selam atau darat, akan menembus pertahanan kapal induk manapun dengan kecepatan dan akurasi yang mematikan. Rudal ini memberikan Indonesia keunggulan daya pukul yang superior tanpa perlu memikul beban aset sekelas kapal induk yang mahal dan rentan.
Pilihan kita kini bukan sekadar memilih kapal, tetapi memilih visi angkatan laut kita di masa depan. Garibaldi adalah nostalgia kejayaan militer abad ke-20. Sebaliknya, modernisasi berbasis A2/AD–penguatan kapal selam AIP, armada permukaan berlapis, integrasi siber-drone, dan rudal hipersonik–adalah cetak biru untuk pertahanan maritim abad ke-21 yang lebih adaptif, mematikan, dan proporsional dengan karakter serta kemampuan finansial Indonesia.
Jika tujuan kita adalah menjaga kedaulatan dengan cara yang paling efektif dan efisien, maka setiap rupiah yang dialokasikan untuk kapal induk bekas harus dialihkan untuk membangun benteng pertahanan Nusantara yang canggih, berlapis, dan tak tertembus. Inilah jalan yang lebih bijak dan cerdas menuju kemandirian maritim sejati.
Laksamana Muda (Purn) Rosihan Arsyad
Mantan Penerbang TNI AL dan Gubernur Sumatera Selatan, pemerhati kemaritiman Indonesia