PUTUSAN Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XXIII/2025 merupakan koreksi konstitusional yang signifikan terhadap rezim Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia, khususnya terkait tata kelola royalti pertunjukan musik.
Putusan ini tidak hanya mengakhiri perdebatan normatif, tetapi juga menata ulang relasi hukum antara pencipta, performer, penyelenggara pertunjukan, dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Sebagai konsultan HKI, putusan ini patut dibaca bukan sekadar sebagai kemenangan musisi, melainkan sebagai penegasan prinsip dasar hukum kekayaan intelektual: keseimbangan antara perlindungan hak eksklusif dan keadilan ekonomi.
Penegasan Subjek Wajib Royalti PertunjukanMK menafsirkan frasa “setiap orang” dalam Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta sebagai termasuk penyelenggara pertunjukan secara komersial. Tafsir ini bersifat konstitusional bersyarat dan langsung mengikat.
Secara hukum HKI, pertimbangan MK konsisten dengan doktrin economic beneficiary principle, yakni:
pihak yang mengendalikan penggunaan ciptaan dan menikmati manfaat ekonomi utama adalah pihak yang wajib membayar royalti.
Dalam pertunjukan musik komersial, penyelenggara mengatur acara, penyelenggara mengelola tiket dan pendapatan, penyelenggara menentukan skala komersial penggunaan ciptaan
Maka secara normatif dan logis, penyelenggara adalah subjek hukum utama kewajiban royalti. Penyanyi dan performer, yang hanya menjalankan jasa artistik, tidak dapat dibebani kewajiban royalti sepanjang tidak merangkap sebagai penyelenggara.
Status Hukum Penyanyi dan PerformerPutusan MK secara implisit namun tegas menempatkan penyanyi dan performer sebagai bukan pengguna ciptaan dalam arti komersial struktural. Mereka adalah pelaku pertunjukan, bukan pengendali eksploitasi ekonomi ciptaan.
Dengan demikian, penagihan royalti kepada penyanyi untuk pertunjukan komersial tidak memiliki dasar hukum konstitusional.
Klausul kontrak yang membebankan royalti kepada artis berpotensi batal demi hukum. Tindakan penegakan hukum terhadap penyanyi terkait royalti pertunjukan bertentangan dengan putusan MK.
Namun perlu ditegaskan, kewajiban royalti tetap melekat apabila penyanyi bertindak sebagai penyelenggara, misalnya dalam konser mandiri atau kegiatan usaha yang menggunakan musik secara komersial.
Penertiban Konsep “Imbalan yang Wajar”MK menyatakan frasa “imbalan yang wajar” dalam Pasal 87 ayat (1) inkonstitusional bersyarat apabila tidak dimaknai sebagai imbalan yang ditetapkan berdasarkan mekanisme dan tarif sesuai peraturan perundang-undangan.
Dalam perspektif HKI, putusan ini menghapus ruang subjektivitas dalam penetapan royalti, memaksa negara membangun standar tarif yang transparan, menuntut reformasi tata kelola LMK agar akuntabel dan dapat diaudit
Royalti tidak lagi boleh ditentukan berdasarkan tekanan, ancaman, atau kesepakatan sepihak, melainkan berbasis sistem hukum yang jelas.
Pembatasan Pendekatan PidanaDengan mewajibkan penerapan prinsip restorative justice sebelum sanksi pidana, MK menegaskan bahwa pelanggaran hak cipta—khususnya terkait royalti—adalah konflik ekonomi dan keperdataan, bukan kejahatan yang serta-merta layak dipidanakan.
Bagi praktik HKI, ini berarti aparat penegak hukum wajib mengedepankan penyelesaian non-pidana, pidana menjadi ultimum remedium, kriminalisasi sengketa royalti harus dihentikan.
Implikasi Praktis dan RekomendasiPutusan ini bersifat self-executing dan wajib segera diterapkan. Oleh karena itu:
1. Penyelenggara pertunjukan harus menyesuaikan model bisnis dan penganggaran royalti.
2. LMK wajib mengalihkan penagihan royalti kepada penyelenggara, bukan performer.
3. Penyanyi dan manajemennya berhak menolak penagihan royalti pertunjukan.
4. Pembentuk UU wajib merevisi UU Hak Cipta untuk merumuskan definisi “alasan yang sah”, sistem pemungutan dan distribusi royalti nasional, standar tarif yang transparan.
PenutupPutusan MK No. 28/PUU-XXIII/2025 adalah koreksi struktural yang memperkuat kepastian hukum dan keadilan dalam sistem HKI Indonesia. Putusan ini menegaskan bahwa royalti pertunjukan adalah kewajiban penyelenggara, bukan beban penyanyi, serta menempatkan hukum hak cipta kembali pada tujuan dasarnya: melindungi pencipta tanpa mematikan ekosistem kreatif.
Sebagai konsultan HKI, saya menilai putusan ini sebagai pijakan penting menuju tata kelola hak cipta yang lebih sehat, berkeadilan, dan konstitusional.
Kenny WistonKonsultan Hak Kekayaan Intelektual (HKI)