Berita

Gde Siriana Yusuf. (Foto: Dokumentasi RMOL)

Publika

Mata Elang & Pertarungan Struktural Sektor Informal

SELASA, 16 DESEMBER 2025 | 08:39 WIB | OLEH: GDE SIRIANA YUSUF*

DI jalanan Jakarta, konflik sering kali tidak dimulai dari niat jahat, melainkan dari perut yang sama-sama lapar. Seorang mata elang berdiri dengan surat tugas dan target harian, di hadapannya seorang pemilik motor berdiri dengan cicilan leasing yang macet dan dapur yang nyaris padam.

Yang satu menarik kendaraan, yang lain merasa hidupnya ditarik.
Dua wajah kelelahan yang bekerja di sektor informal. Sama-sama menggantungkan hidup pada sistem yang rapuh, sama-sama tanpa perlindungan jaring pengaman, sama-sama bergantung pada sesuatu yang mudah dirampas.

Di titik inilah kekeliruan pertama terjadi. Konflik ini kerap dibaca sebagai pertarungan antara penegak kontrak leasing dan pelanggar kewajiban. Padahal yang berhadapan bukan hukum dengan pelanggaran, melainkan dua bentuk survival yang dipaksa saling bertubrukan.

Di titik inilah kekeliruan pertama terjadi. Konflik ini kerap dibaca sebagai pertarungan antara penegak kontrak leasing dan pelanggar kewajiban. Padahal yang berhadapan bukan hukum dengan pelanggaran, melainkan dua bentuk survival yang dipaksa saling bertubrukan.

Mata elang hidup dari sistem target, upah berbasis hasil, dan relasi kerja yang nyaris tanpa jaminan. Pemilik motor (ojek daring, kurir, buruh harian), menggantungkan nafkah sehari-hari mereka pada kendaraan yang oleh sistem kredit diperlakukan sebagai barang konsumtif, bukan sebagai alat produksi.

Dalam kacamata Marxian, ini adalah false conflict: konflik semu antar sesama kelas bawah. Struktur ekonomi bekerja dengan rapi mempertemukan mereka di satu arena, sementara aktor bermodal, seperti perusahaan leasing, pembiayaan atau kredit, tetap aman di balik kontrak dan regulasi. Risiko diturunkan ke bawah, konflik dibiarkan horizontal, dan kemarahan diarahkan ke sesama yang sama-sama rentan. Orang miskin dipaksa menagih penderitaan orang miskin lain, sementara sumber masalah struktural tak terjangkau oleh amarah publik.

Ketegangan ini memburuk ketika hukum tidak lagi dipercaya sebagai penengah. Secara normatif, penarikan kendaraan harus melalui putusan pengadilan. Menarik motor di jalan raya adalah tindakan ilegal. Namun Jakarta bukan hanya kota hukum positif, melainkan juga kota hukum rimba. Kota arena adu kuat dan adu jago. Proses hukum yang lama, mahal, dan sering dianggap tidak berpihak membuat aturan tinggal teks di atas kertas. Sementara aparat hadir secara ambigu. Kadang membiarkan hukum rimba berjalan, kadang melindungi hukum positif demi kepentingan tertentu. Dalam ruang kosong itulah kekerasan menemukan legitimasinya sendiri.

Ketika hukum tidak dipercaya, kekerasan berubah menjadi bahasa tercepat. Warga yang marah motornya ditarik, menghakimi kelompok mata elang karena merasa negara tidak datang tepat waktu. Mata elang membalas dendam kepada warga karena eksistensinya bergantung pada reputasi dan rasa takut dihakimi massa .

Inilah yang disebut sebagai privatisasi kekerasan: negara gagal memonopoli penegakan hukum, maka kekuasaan koersif berpindah ke tangan kelompok-kelompok sosial. Jalanan menjadi ruang negosiasi, dan tubuh manusia menjadi argumen terakhir.

Masalahnya tidak berhenti pada ekonomi dan hukum. Ia berubah berbahaya ketika konflik mulai diberi identitas. Ketika narasi bergeser dari soal cicilan dan prosedur ke bisik-bisik tentang “akamsi (anak kampung sini)” dan “orang timur”. Padahal akar masalahnya bukan etnis, melainkan profesi, kemiskinan, dan kekosongan negara.

Namun karena mata elang sering terorganisir secara primordial, dan warga membaca kekerasan yang menyertai penarikan motor sebagai ancaman kolektif, konflik pun mengalami apa yang oleh sosiologi disebut sebagai ethnicization of social conflict. Masalah struktural dipindahkan ke ranah “kami” dan “mereka”, dan rasionalitas pelan-pelan ditanggalkan.

Di sinilah Jakarta memperlihatkan wajah Durkheimian-nya dengan telanjang. Dalam pandangan Émile Durkheim, kota modern yang tumbuh cepat tanpa fondasi norma bersama akan jatuh ke dalam kondisi anomie. Jakarta adalah contoh nyaris sempurna: kota migran dengan solidaritas mekanik yang telah lama runtuh, sementara solidaritas organik—yang seharusnya dibangun lewat pembagian kerja adil dan hukum yang dipercaya—tak pernah benar-benar matang. Hukum hadir sebagai regulasi, tetapi gagal menjadi moral kolektif.

Dalam ruang anomik semacam ini, orang-orang mencari pegangan pada kelompok terdekat: daerah asal, profesi, atau jaringan kekuatan. Solidaritas tidak lagi dibangun atas dasar keadilan, melainkan atas rasa terancam bersama. Maka jangan heran jika mata elang menjadi solid, warga membentuk perlawanan, dan kekerasan berulang tanpa rasa bersalah. Dalam masyarakat anomik, kekerasan bukan lagi penyimpangan, melainkan mekanisme adaptasi—cara bertahan hidup di kota yang tak memberi kepastian.

Di tingkat kultural, masyarakat juga memberi vonis moral. Cara kerja mata elang dinilai “tidak berkah”. Penarikan di jalan, perampasan di depan keluarga, atau intimidasi verbal dipandang melanggar rasa keadilan sosial, meski dibungkus legalitas kontrak. Di sini hukum formal bertabrakan dengan etika sosial. Sesuatu bisa sah di atas kertas, tetapi runtuh di mata nurani publik. Dan ketika legitimasi moral hilang, kekerasan sering kali dianggap sebagai koreksi yang wajar.

Pertanyaannya lalu sederhana namun menusuk: apakah menarik motor di jalan raya dibenarkan secara hukum? Tidak. Tetapi pertanyaan yang lebih penting adalah mengapa praktik ilegal itu terus berlangsung dan dibiarkan. Jawabannya membawa kita kembali ke pusat masalah: negara yang hadir setengah-setengah, tegas pada pasal, longgar pada praktik; rajin membuat aturan, malas memastikan keadilan substantif.

Pada akhirnya, konflik mata elang bukan kisah tentang individu jahat atau warga bandel. Ini adalah potret kegagalan struktural: sistem kredit yang eksploitatif, hukum yang kehilangan wibawa, dan kota yang tumbuh tanpa etika bersama. Kita sibuk mengutuk satu pihak, sambil lupa bahwa yang paling nyaman justru mereka yang tak pernah turun ke jalan, tak pernah ditarik motornya, dan tak pernah dikejar target dengan rasa takut.

Jakarta terus bergerak, seolah semua ini hanyalah gangguan lalu lintas. Namun di balik setiap penarikan paksa, tersimpan satire paling pahit tentang kehidupan urban: ketika negara absen, rakyat bertarung; ketika keadilan mahal, identitas dijadikan senjata. Dan barangkali, yang paling tragis, kita mulai menganggap semua itu wajar—selama kontrak tetap berjalan, setoran aman, dan kekerasan tak pernah naik kelas menjadi urusan mereka yang berkuasa.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

UNJ Gelar Diskusi dan Galang Donasi Kemanusiaan untuk Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:10

Skandal Sertifikasi K3: KPK Panggil Irjen Kemnaker, Total Aliran Dana Rp81 Miliar

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:04

KPU Raih Lembaga Terinformatif dari Komisi Informasi

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:41

Dipimpin Ferry Juliantono, Kemenkop Masuk 10 Besar Badan Publik Informatif

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:13

KPK Janji Usut Anggota Komisi XI DPR Lain dalam Kasus Dana CSR BI-OJK

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:12

Harga Minyak Turun Dipicu Melemahnya Data Ekonomi China

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:03

Kritik “Wisata Bencana”, Prabowo Tak Ingin Menteri Kabinet Cuma Gemar Bersolek

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:56

Din Syamsuddin Dorong UMJ jadi Universitas Kelas Dunia di Usia 70 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:54

Tentang Natal Bersama, Wamenag Ingatkan Itu Perayaan Umat Kristiani Kemenag Bukan Lintas Agama

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:46

Dolar AS Melemah di Tengah Pekan Krusial Bank Sentral

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:33

Selengkapnya