Berita

Ilustrasi pelecehan. (Foto: Istimewa)

Publika

Pelecehan Seksual di Ruang Gerakan

SELASA, 09 DESEMBER 2025 | 15:07 WIB | OLEH: AGUNG NUGROHO*

DI banyak ruang gerakan, kita kerap menjumpai sosok yang fasih mengutip Marx, mengalir menyebut Gramsci, dan berapi-api menyuarakan Freire

Kata “pembebasan” mereka ucapkan seperti mantra yang tak pernah habis. Namun gelegar teori itu seketika kehilangan makna ketika orang yang sama justru melakukan pelecehan seksual terhadap kawan satu kolektifnya. 

Pada titik ini, pertanyaan paling mendasar pun menyeruak: apakah seseorang yang melakukan penindasan semacam itu masih layak disebut berideologi kiri?


Dalam kerangka teori kiri, pelecehan seksual bukan sekadar pelanggaran moral, melainkan tindakan politik yang menghidupkan kembali relasi kuasa yang justru hendak dihancurkan oleh gerakan. 

Marxisme memandang dominasi atas tubuh orang lain sebagai miniatur dari logika kapital: memosisikan manusia sebagai objek yang dapat digunakan dan dieksploitasi. 

Ketika pelaku pelecehan membawa logika tersebut ke dalam organisasi kiri, ia sedang melakukan reproduksi kecil kapitalisme itu sendiri. Artikulasi ideologisnya berubah menjadi slogan kosong yang tak menjejak pada praksis.

Feminisme sosialis membaca tubuh sebagai medan politik tempat patriarki dan kapitalisme beroperasi. 

Pelecehan seksual di dalam organisasi adalah ekspor kekuasaan patriarki ke jantung kolektif, merusak rasa aman, memecah solidaritas, dan menutup ruang gerakan yang seharusnya menjadi tempat terbangunnya relasi egaliter. 

Pelaku tidak hanya mengkhianati korban, tetapi juga meruntuhkan pondasi teoretis gerakan yang mengaku memperjuangkan pembebasan.

Dari perspektif Althusser, gerakan kiri berupaya menjadi aparatus ideologis yang membongkar dominasi lama. 

Ketika seseorang melakukan pelecehan seksual, ia justru menjadi saluran bagi aparatus ideologis lawan, menghidupkan kembali struktur kuasa patriarki di ruang yang seharusnya membangun etika baru. 

Secara material, tindakannya bersekutu dengan kekuatan opresif yang menjadi musuh historis gerakan kiri.

Gramsci pun menekankan pentingnya membangun moral kolektif progresif sebagai syarat munculnya hegemoni baru. 

Tidak ada hegemoni emansipatoris yang lahir dari organisasi yang membiarkan anggotanya saling melukai. 

Pelecehan seksual adalah sabotase moral terhadap proyek politik kiri. Dalam tindakan itu, pelaku tidak lagi berdiri di pihak progresif, tetapi menjadi operator hegemoni patriarki.

Freire mengingatkan bahwa seseorang hanya menjadi bagian dari gerakan pembebasan bila ia menyatukan refleksi dan tindakan yang membebaskan. 

Pelecehan seksual adalah tindakan penindasan; tidak mungkin seseorang menjadi pembebas sekaligus penindas pada saat yang sama. 

Klaim ideologinya mungkin masih terdengar, tetapi tindakan telah menempatkannya di sisi berlawanan dari nilai pembebasan.

Kiri, pada akhirnya, bukan label identitas; ia adalah kesetiaan antara pikiran, etika, dan tindakan. 

Seseorang yang melakukan pelecehan seksual sedang meninggalkan kesetiaan itu. Ia meruntuhkan kredibilitas ideologisnya sendiri dan merusak ruang perjuangan yang membutuhkan kepercayaan, keamanan, dan keadilan.

Gerakan kiri hanya dapat bertahan jika berani menjaga ruangnya dari segala bentuk reproduksi opresi. Pelecehan seksual di dalam kolektif bukan sekadar pelanggaran etik; itu adalah pengkhianatan terhadap gagasan pembebasan. 

Ideologi tidak runtuh oleh serangan lawan, tetapi oleh kegagalan mereka yang mengaku memegangnya untuk hidup setia pada prinsip yang mereka serukan.

Dan dalam konteks itu, pelecehan seksual di ruang gerakan adalah bentuk kontra-revolusi yang paling sunyi: ia tidak datang dari luar, tidak bersenjata, tetapi bekerja pelan dalam retak solidaritas dan hancurnya rasa aman. 

Di titik itulah, seseorang yang melakukannya tidak lagi berada di pihak kiri, melainkan berdiri tegak di sisi opresi yang selama ini menghalangi jalan pembebasan.

*Penulis adalah Direktur Jakarta Institute

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Pasutri Kurir Narkoba

Rabu, 03 Desember 2025 | 04:59

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Berjuang Bawa Bantuan Bencana

Kamis, 04 Desember 2025 | 05:04

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

UPDATE

Rais Syuriyah PBNU: Ada Indikasi Penetrasi Zionis

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:49

Prabowo: Saya Tidak Punya Tongkat Nabi Musa, Tapi Semua Bekerja Keras

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:42

Mohammad Nuh Jabat Katib Aam PBNU Kubu Sultan

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:19

Konstitusionalitas Perpol Nomor 10 Tahun 2025

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:18

Pemeriksaan Kargo Diperkuat dalam Pemberantasan Narkoba

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:11

Korban Meninggal Akibat Banjir dan Longsor Sumatera Tembus 1.006 Jiwa

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:53

Aktivis 98 Bagikan Paket Bantuan Tali Kasih Natal untuk Masyarakat

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:52

Kader Pemuda Katolik Bali Cetuskan Teori PARADIXIA Tata Kelola AI Indonesia

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:39

Ketika Jabatan Menjadi Instrumen Pengembalian Modal

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:35

Tokoh Muda Dukung Prabowo Kejar Lompatan Gizi dan Pendidikan Indonesia

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:29

Selengkapnya