BEBERAPA hari ini saya sengaja menahan diri tidak menulis prahara PBNU. Masih terkonsentrasi bencana tanda tangan di tanah Sumatera yang sudah menelan korban 940 jiwa. Karena hari ini Syuriyah PBNU menggelar rapat pleno, ada baiknya alihkan sebentar pandangan pada momen besar itu.
Prahara di tubuh PBNU hari ini sudah mencapai level bencana alam superkomplet, banjir politik, tanah longsor otoritas, gempa struktural, angin puting-beliung argumen, bahkan sedikit semburan lahar dingin dari para kiai sepuh. Cocok benar dengan suasana Sumatera. Bedanya, bencana di PBNU ini bukan karena hujan, tapi karena awan mendung di hati para ulama yang saling tarik-menarik wibawa.
Di Hotel Sultan, Jakarta, yang hari ini rasanya seperti posko pengungsian elite, Syuriyah PBNU menggelar Rapat Pleno 9-10 Desember 2025. Mereka datang dengan agenda besar, menetapkan Penjabat (Pj) Ketua Umum menggantikan KH Yahya Cholil Staquf.
Undangan sudah tersebar ke Rais Aam KH Miftachul Akhyar, Katib Aam KH Ahmad Tajul Mafakhir, para Mustasyar, A’wan, Syuriyah, dan seluruh Banom. Yang tidak diundang? Ya, orang yang biasanya duduk di kursi paling depan, Gus Yahya. Namanya tidak kelihatan seperti desa yang hilang tertimbun longsor.
Sebelumnya, Syuriyah PBNU telah mengeluarkan Surat Edaran PBNU tertanggal 25 November 2025, semacam sirine BMKG sebelum tsunami, yang menyatakan pemberhentian Gus Yahya. Suratnya ditandatangani KH Afifuddin Muhajir dan KH Ahmad Tajul Mafakhir.
Gus Yahya beserta jajaran Tanfidziyah kaget seperti warga yang tiba-tiba melihat air bah merangsek ke ruang tamu. Mereka menolak pemberhentian itu, bahkan mengancam menempuh jalur hukum jika tidak ada dialog.
Namun Katib Syuriyah, Ikhsan Abdullah, tetap tenang seperti camat yang sudah terbiasa menangani banjir bandang, ia bilang pleno jalan terus, keberatan tetap keberatan.
Lalu datang upaya islah di Tebuireng pada 6 Desember 2025 yang semestinya menjadi tanggul besar untuk mencegah pecahnya bendungan konflik.
Para kiai sepuh, Mustasyar, dan Gus Yahya berkumpul, membentangkan data dan klarifikasi seperti tim SAR menata logistik di posko. Semua berjalan lembut seperti hujan rintik-rintik.
Sayangnya, Rais Aam KH Miftachul Akhyar tidak hadir. Kiai Miftachul menarik diri dan mengusulkan penundaan. Forum itu mendadak seperti gotong royong membersihkan longsor tanpa alat berat, semangat ada, hasil tidak kelihatan.
Namun di Hotel Sultan, Syuriyah tetap bergerak. Kiai Miftachul disebut-sebut menjadi Pj Ketua Umum. Suasana organisasi pun retak seperti tanah yang sudah lama menahan tekanan.
Satu sisi bilang pemakzulan sah, sisi lain bilang batal demi hukum. Gempa politik ini skalanya sudah di atas 7 SR, bisa dirasakan sampai ke grup WhatsApp alumni pesantren paling sunyi sekalipun.
Di tengah runtuhan wibawa dan banjir opini, muncullah ide Muktamar Luar Biasa (MLB). Banyak pihak menyebut MLB sebagai satu-satunya jalur evakuasi yang aman, karena AD/ART Pasal 74 menyatakan, Rais Aam dan Ketua Umum hanya bisa diberhentikan melalui muktamar atau MLB.
Surya Fermana yang tiba-tiba jadi seperti ahli vulkanologi politik, menjelaskan bahwa MLB akan mengembalikan kendali organisasi ke puncak forum tertinggi, bukan hanya ke satu lembaga.
Gus Yahya juga menegaskan dirinya hanya bisa dicopot lewat muktamar, bukan lewat keputusan sepihak. Bagi dirinya, keputusan Syuriyah itu seperti papan penahan banjir yang dipasang terbalik.
Belum cukup banjir, badai baru muncul dari Prof. Nadirsyah Hosen (Gus Nadir). Ia mengatakan, “di mana Kiai Afif berdiri, di situ kebenaran lebih dekat.”
Pernyataan itu langsung jadi angin kencang yang merobohkan tenda-tenda gubuk opini netizen. Tapi LBH PBNU membalas, kalau Syuriyah pun melanggar AD/ART, ya tetap bisa salah. Benturan ini seperti dua gunung yang saling gesek, lahir gempa susulan yang membuat warga NU makin bingung mau mengungsi ke mana.
Air mulai surut saat KH Ma’ruf Amin tampil sebagai peneduh badai. Dalam forum sesepuh di Tebuireng, Kiai Ma'ruf berkata pemakzulan Gus Yahya tidak sesuai dengan AD/ART.
Sebuah suara yang terasa seperti bantuan helikopter logistik ketika semua jalan darat putus. Kiai Ma'ruf meminta semua pihak kembali ke mekanisme organisasi dan menjaga marwah jam’iyah, semacam pesan, “Jangan robek tenda pengungsian sebelum matahari terbit.”
Namun, banjir konflik belum surut sepenuhnya. Rapat Pleno tetap berjalan tanpa nama Gus Yahya. Tanfidziyah menunggu seperti warga yang melihat tanggul hampir jebol.
Syuriyah maju terus seperti air pasang. MLB masih menggantung seperti ramalan cuaca yang belum final. Situasi internal PBNU kini seperti satu pulau kecil yang dihantam banjir, longsor, gempa, angin puting beliung, dan sambaran petir dalam satu hari yang sama.
Drama ini bukan lagi soal beda pendapat. Ini sudah bencana multidimensi, benturan moral-spiritual vs administratif, AD/ART vs tafsir, tradisi vs modernitas, doa vs dinamika kekuasaan. Kita semua, mau diakui atau tidak, sedang menyaksikan episode paling epik dalam sejarah PBNU modern.
Hari ini mungkin akan menjadi klimaks. Atau justru new normal bencana politik keulamaan yang akan terus beriak, seperti banjir yang datang setiap musim hujan. Yang jelas, seru sekali. Koptagul makin sedap ni.
Rosadi JamaniKetua Satupena Kalbar