BALI kembali menjadi panggung utama sebuah ironi nasional: surga wisata dunia dengan mesin pariwisata yang berputar kencang, namun regulasi akomodasinya masih berjalan dengan logika abad lalu.
Pemerintah daerah terus menyuarakan “perang terhadap akomodasi ilegal”, namun publik jarang memahami bahwa yang disebut “ilegal” itu bukanlah platform-nya, bukan Airbnb, bukan Booking.com, bukan OTA mana pun. Yang ilegal adalah pelaku usaha yang menjalankan akomodasi tanpa izin, tanpa membayar pajak hotel, tanpa standar usaha, dan tanpa melapor tamu asing, meskipun bangunannya mewah dan penuh bintang di Instagram.
Fenomena ini mencapai puncaknya di Bali, ketika Gubernur dan pemangku adat mulai secara terbuka mengkritik menjamurnya villa, apartemen dan guest house yang beroperasi tanpa dasar hukum.
Namun, di balik narasi “akomodasi ilegal” itu, ada jurang pemahaman yang tidak pernah dijelaskan. Siapakah yang sebenarnya wajib memiliki izin? Pemilik properti, operator, atau platform?
Jawabannya sederhana, yang wajib berizin adalah pihak yang menjalankan usaha—bukan yang memiliki bangunan. Tetapi kesederhanaan ini hilang dalam praktik.
Bali: Surga Wisata, Surga Pelanggaran AdministratifModel bisnis villa dan apartemen di Bali berkembang sangat cepat. Banyak pemilik hanya menyerahkan unit kepada operator, manajer, atau agen. Lalu operator ini menyewakan unit atas nama mereka, memungut pembayaran, dan memasarkannya lewat platform digital. Namun sebagian besar tidak pernah memiliki NIB, apalagi Sertifikat Standar Usaha Akomodasi.
Lebih parah lagi, pajak hotel (PBJT 10%) tidak dibayarkan, padahal pajak inilah yang menjadi sumber penerimaan daerah. Banyak villa berharga miliaran dengan tarif 200-800 Dolar AS per malam beroperasi sepenuhnya di luar radar negara.
Inilah sumber kecamuk yang membuat Pemerintah Provinsi Bali mulai mengeluarkan peringatan keras, bahkan wacana penghentian layanan platform tertentu. Padahal, yang perlu dihentikan bukan platformnya—melainkan pelaku usaha “bayangan” yang bertahun-tahun bekerja tanpa legalitas.
Mutatis Mutandis: Aturan Berlaku Sama untuk Villa, Apartemen, dan Guesthouse
Regulasinya sebenarnya jelas dan konsisten. Baik apartemen, villa, guesthouse, homestay, glamping, maupun pondok wisata, semua tunduk pada prinsip yang sama:
1. Pelaku usaha = pihak yang menjalankan dan menerima pembayaran dari tamu.
Bisa pemilik. Bisa operator. Bisa manajemen profesional.
2. Pelaku usaha wajib memiliki:
NIB (OSS-RBA)
Sertifikat Standar Usaha Akomodasi (KBLI 55110/55120/55130)
Kewajiban Pajak Hotel (PBJT)
Kewajiban PPh
Kewajiban lapor tamu asing 1×24 jam
3. Pemilik tidak otomatis pelaku usaha.
Jika pemilik hanya menyerahkan properti dan menerima bagi hasil, yang wajib berizin adalah operator.
Kekacauan muncul karena banyak operator di Bali beroperasi seperti hotel bintang lima tetapi tanpa satu pun izin, dan pemda lebih memilih menyasar “Airbnb” sebagai scapegoat, bukan pelaku usaha yang sesungguhnya.
Paradoks Bali: Menghajar Platform, Membiarkan Pelaku Usaha BayanganDi beberapa daerah Bali, diskursus publik menyempit pada satu kalimat: “Airbnb merusak tata kelola akomodasi.”
Padahal Airbnb hanyalah etalase digital.
Memblokir etalase tidak menghentikan toko ilegal.
Mengatur pemilik properti tanpa membenahi operator liar hanya memperkuat ekonomi gelap.
Mengacaukan platform tidak menyelesaikan masalah: ketidakmampuan menertibkan pelaku usaha yang tak terlihat.
Regulasi yang benar justru sederhana:
Daftar pelaku usaha akomodasi berbasis NIB
Kewajiban memungut dan menyetor PBJT
Audit operasional berdasarkan siapa yang menerima pembayaran
Standarisasi SOP dan pelaporan tamu
Jika Bali serius ingin menata pariwisata, target harus diarahkan pada pelaku usaha yang menerima uang, bukan pada platform digital yang hanya menampilkan iklan.
Penutup: Ini Saatnya Bali Menjadi Contoh, Bukan Korban KekacauanBali dapat menjadi model nasional: bukan dengan menutup OTA, bukan dengan memburu influencer, tapi dengan membereskan core issue, siapa pelaku usaha, siapa yang berizin, siapa yang bayar pajak.
Itu saja.
Jika prinsip ini ditegakkan mutatis mutandis di semua jenis akomodasi, Indonesia tidak hanya akan memiliki pariwisata yang maju, tetapi juga adil, sehat, dan memberi PAD yang layak. Bukan sekadar surga bagi wisatawan, tetapi juga bagi hukum yang ditegakkan tanpa pandang bulu.
Dan ketika itu terjadi, Bali bukan lagi menjadi cermin kekacauan, tetapi cermin kedewasaan pariwisata Indonesia.
Kenny WistonPraktisi Hukum