Ilustrasi (Artificial Intelligence)
Sumatera tidak hanya ideal secara geografis untuk kelapa sawit. Dengan luas perkebunan sawit yang mencapai lebih dari 8,78 juta hektare atau sama dengan setengah dari total areal perkebunan sawit Indonesia, pulau ini adalah mesin uang utama bagi sektor perkebunan RI.
Kontribusi industri sawit di Sumatera telah mengubah tatanan ekonomi regional secara drastis, menjadikannya pendorong pertumbuhan dan kesejahteraan.
Dirangkum dari berbagai sumber, redaksi mencatat bahwa industri sawit di Sumatera menghasilkan "kue ekonomi" yang sangat besar, baik secara langsung (perkebunan) maupun tidak langsung (hilirisasi).
Pertama, pencipta devisa dan PDB. Industri sawit secara keseluruhan menyumbang sekitar 3 persen terhadap PDB Nasional, dan merupakan penghasil devisa terbesar bagi Indonesia. Sumatera, sebagai pusat produksi yang menguasai 8,78 juta hektare, adalah kontributor utama di balik angka tersebut.
Kedua, lumbung energi dan industri. Provinsi seperti Sumatera Selatan sedang berupaya bertransformasi dari lumbung energi 'di bawah tanah' menjadi lumbung energi 'di atas tanah' melalui hilirisasi sawit menjadi biofuel dan oleokimia.
Ketiga, pengentasan kemiskinan regional. Pertumbuhan ekonomi di daerah sentra sawit, seperti Riau dan Sumatera Utara, terbukti lebih tinggi dan signifikan dibandingkan daerah non-sawit. Di Riau, peningkatan produksi minyak sawit mentah (CPO) sebesar 10 persen mampu menurunkan persentase penduduk miskin sebesar 4,7 persen.
Keempat, pencipta kelas menengah baru. Pengembangan perkebunan sawit mampu mengubah daerah terbelakang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di pedesaan, menciptakan kelas berpendapatan menengah di kalangan petani, dengan pendapatan yang lebih tinggi dan berkelanjutan dibanding komoditas lain.
Kelima, penyerapan tenaga kerja. Sektor perkebunan sawit menyerap jutaan tenaga kerja, baik langsung maupun tidak langsung, yang menjadi tulang punggung ekonomi di banyak kabupaten.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, secara umum jumlah tenaga kerja yang terserap pada industri sawit mengalami peningkatan yakni dari 12,5 juta orang pada tahun 2015 menjadi sekitar 16,5 juta orang pada tahun 2024. Dari jumla itu, tenaga kerja yang terserap pada perkebunan kelapa sawit Indonesia tersebut, sebanyak 9,7 juta orang merupakan tenaga kerja langsung. Angka tersebut terdiri dari 5,2 juta orang tenaga kerja perkebunan kelapa sawit rakyat dan 4,5 juta karyawan perusahaan perkebunan kelapa sawit milik negara ataupun milik swasta.
Meskipun manfaat ekonomi sawit sangat besar dan transformatif, keberadaan perkebunan monokultur skala besar di Sumatera menimbulkan trade-off ekologis yang mahal, yaitu hilangnya keanekaragaman hayati.
Penggantian hutan alami dengan perkebunan sawit menyebabkan penurunan drastis keanekaragaman hayati, mengganggu keseimbangan ekosistem dan memicu konflik satwa.
Kerusakan hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) juga memperparah risiko banjir dan erosi tanah, yang pada akhirnya merusak kualitas dan kesuburan tanah.
Laporan penelitian mencatat, dampak pembuangan limbah pabrik kelapa sawit (PKS) juga menjadi ancaman nyata terhadap keberlangsungan hidup masyarakat di tingkat kabupaten.
Sumatera adalah contoh nyata di mana industri sawit berperan sebagai motor penggerak utama ekonomi regional, menciptakan devisa dan mengangkat kesejahteraan petani.
Namun, keberlanjutan peran ini sangat bergantung pada kemampuan pemerintah dan korporasi untuk menyeimbangkan manfaat ekonomi triliunan Rupiah dengan tanggung jawab ekologis untuk mengendalikan deforestasi, konflik satwa, dan risiko bencana.