Ilustrasi dihakimi massa. (Foto: Presisi.co)
ADA pemandangan yang kian akrab di linimasa kita: seorang terduga pemerkosa di Gowa diseret dengan motor keliling kampung hingga tubuhnya tak lagi bernyawa (3/12/25), seorang terduga maling di Surabaya dibakar hidup-hidup di tengah sorak-sorai warga dan rekaman ponsel yang mengabadikan semuanya (30/10/25). Api menyala, kerumunan berdesak, dan hukum berjalan tanpa pasal, tanpa penyelidikan, tanpa ruang sidang. Kita menatap layar, meringis, tapi tak lagi terkejut.
Fenomena ini sering dibungkus sebagai “amarah spontan masyarakat.” Tapi itu penjelasan yang terlalu dangkal untuk luka sosial yang jauh lebih dalam. Yang sebenarnya membara adalah runtuhnya kepercayaan publik terhadap hukum -trust collapse- yang sudah mengendap lama dalam ingatan kolektif. Negara dianggap lambat, tak tegas, dan hanya sungguh-sungguh bekerja pada mereka yang punya kuasa atau koneksi. Semakin dalam distrust ini, semakin kosong ruang demokrasi kita. Sebab demokrasi tidak hanya membutuhkan pemilu, tetapi juga rasa aman dan kepastian hukum. Ketika rakyat percaya bahwa hukum tak mampu melindungi mereka, maka legitimasi negara yang menjadi fondasi demokrasi ikut retak. Demokrasi kehilangan wibawa begitu hukum kehilangan kredibilitas.
Max Weber menyebut negara modern sebagai entitas yang memonopoli penggunaan kekerasan yang sah. Ketika masyarakat mengambil alih kekerasan itu, bukan hanya amarah yang bicara, tapi juga rapuhnya fondasi negara. Kita sedang menyaksikan sebuah republik yang kehilangan wibawa hukumnya, dan rakyat yang akhirnya membangun “pengadilan alternatif” di jalanan.
Mengapa masyarakat begitu cepat membakar dan memukuli? Penelitian Tom Tyler tentang procedural justice menunjukkan bahwa kepatuhan pada hukum lahir dari rasa percaya bahwa proses hukum itu adil dan dapat diandalkan. Tetapi pengalaman sehari-hari warga Indonesia sering berjalan sebaliknya. Ada yang datang melapor, malah diminta “uang jalan.” Ada yang membawa bukti, tapi laporannya dipingpong. Ada pelaku yang ditahan dua hari, lalu terlihat kembali di warung kopi. Survei-survei menunjukkan hal serupa: kepercayaan kepada aparat penegak hukum bersifat rapuh, dan bisa runtuh hanya oleh satu perjumpaan buruk. Hingga memunculkan istilah "Lapor hilang kambing, malah hilang sapi" di masyarakat.
Di tengah kegelisahan ini, pemerintah baru saja mengesahkan revisi KUHAP sebagai undang-undang baru. Di atas kertas, revisi ini mengandung janji: digitalisasi proses hukum, perluasan alternatif penahanan, dan penguatan hak tersangka. Namun pertanyaannya tetap menggantung: apakah ini menjawab luka paling besar, yaitu krisis kepercayaan? Perbaikan norma memang penting, tetapi tanpa perubahan kultur aparat penegak hukum, revisi KUHAP hanya akan menjadi aturan baru yang hidup dalam kebiasaan lama. Publik tidak menunggu pasal baru?"publik menunggu perilaku baru.
Maka, ketika seorang pemerkosa tertangkap basah atau maling motor tersudut, massa tidak hanya menghukum orang itu -mereka sedang mengeksekusi kekecewaan panjang terhadap negara yang dirasa tak hadir. Hukum formal lambat; hukum jalanan cepat. Hukum formal tak pasti; hukum jalanan tuntas. Bara yang membakar tubuh seseorang adalah bara frustrasi kolektif yang tidak pernah diberi ruang untuk disembuhkan.
Namun di balik tragedi-tragedi itu, ada ironi yang memalukan. Koruptor yang mencuri ratusan miliar dari APBN tidak pernah dibakar massa. Mereka keluar dari sidang dengan pakaian rapi, raut percaya diri, bahkan melambaikan tangan kepada wartawan. Gembong narkoba besar memiliki pengacara papan atas. Korporasi perusak lingkungan yang memaksa warga kehilangan rumah, lingkungan, ekosistem usaha, dan masa depan tidak pernah diarak keliling kampung. Mereka berjalan di karpet hukum yang lebih empuk, lebih panjang, lebih bisa ditawar.
Michel Foucault mengingatkan bahwa kekuasaan mengatur bukan hanya melalui aturan, tetapi melalui tubuh: siapa yang boleh dihukum dan siapa yang selalu berhasil menghindar. Dalam konteks kita, tubuh rakyat kecil adalah wadah hukuman spontan; tubuh elite adalah wadah negosiasi. Data ICW memperkuatnya: rata-rata hukuman koruptor hanya sekitar dua tahun?"itu pun kerap dipotong remisi. Bandingkan dengan pencuri ayam yang bisa dipukuli sampai pingsan sebelum polisi tiba.
Keadilan kita berjalan dengan logika yang terbalik: semakin besar kejahatannya, semakin besar perlindungannya; semakin kecil pelakunya, semakin brutal bentuk hukuman yang diterimanya. Saya melihat hukum seperti air?"mengalir mencari celah yang paling bawah, yang paling lemah.
Pada titik ini, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: sebenarnya apa yang dibakar massa ketika membakar seorang maling? Tubuh pelaku itu hanyalah layar tipis. Yang terbakar adalah rasa gagal negara dalam memberi rasa aman; hancurnya harapan bahwa hukum bisa dipercaya; putusnya kontrak sosial antara warga dan institusi-institusi yang seharusnya melindungi mereka. Api itu, pada akhirnya, membakar kita semua sebagai masyarakat. Memusnahkan peradaban yang lama kita bangun. Dan ketika kepercayaan terhadap hukum gosong, demokrasi pun ikut hangus -sebab demokrasi tidak bisa tumbuh di atas bara ketidakpercayaan.
Negara perlu kembali hadir dengan cara yang bukan sekadar seremoni. Dengan reformasi kepolisian yang diawasi publik. Dengan proses peradilan yang transparan. Dengan layanan nyata bagi korban kekerasan seksual agar mereka tidak takut melapor. Dengan fokus pada kejahatan serius, bukan pada formalitas prosedural yang menghabiskan energi. Dengan menghukum koruptor dan perusak lingkungan setimpal dengan besarnya kerusakan yang mereka ciptakan. Barulah keadilan menemukan pijakannya kembali.
Bangsa ini berdiri di persimpangan: apakah kita ingin hidup dalam negara hukum atau negara amarah? Jika kita terus membiarkan kekerasan menjadi bahasa keadilan, kita akan membesarkan generasi yang percaya bahwa kerumunan lebih efektif daripada pengadilan. Tapi jika kita berani memperbaiki hukum, membangun kembali kepercayaan, dan memastikan keadilan tidak memilih bulu, barulah kita bergerak ke arah yang lebih beradab.
Sebab keadilan tidak memerlukan api untuk bekerja -ia hanya memerlukan keberanian negara untuk hadir, dan keberanian rakyat untuk kembali percaya.
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS).