Berita

Ilustrasi penjualan mobil bekas. (Foto: Istimewa)

Publika

BBN Kendaraan Bekas Dihapus: Mengapa Daerah Masih Mengulur-ulur?

Saatnya Bongkar Penghambat Reformasi Fiskal
KAMIS, 04 DESEMBER 2025 | 03:14 WIB

PENGHAPUSAN Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) kendaraan bekas melalui UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HPKD) adalah mandat nasional, jelas, eksplisit, dan tidak butuh tafsir. 

Namun kenyataannya, di banyak daerah kebijakan ini tidak berjalan mulus. Ada daerah yang lambat mengadopsi, ada yang membuat aturan turunan berbelit, bahkan ada yang mencoba “mengakali” dengan nomenklatur baru.

Ini jelas bukan masalah teknis. Ini masalah resistensi birokrasi -- dan resistensi seperti ini harus disorot terang-terangan.


BBN Kendaraan Bekas: Pungutan yang Sudah Layak Dikubur

Selama bertahun-tahun, publik dipaksa membayar pungutan yang secara ekonomi tidak produktif, secara hukum lemah, dan secara sosial merugikan. 

Tidak ada justifikasi rasional untuk mempertahankan BBN kendaraan bekas. Karena itu 
UU HKPD memutus rantai tersebut, menyisakan hanya enam komponen biaya resmi: PKB, SWDKLLJ, STNK, BPKB, TNKB, dan pengesahan STNK.

Ini sudah final. Sudah sah. Sudah berlaku.

Lalu apa hambatannya?

Hambatan Paling Nyata: Mentalitas Daerah yang Tak Siap Melepas Pungutan Lama

Ada tiga bentuk resistensi yang terjadi di lapangan:

1. Menunda perubahan dengan alasan “menunggu Perda baru”

Padahal UU sudah berlaku nasional. Tidak ada dasar hukum bagi daerah untuk mengulur-ulur dengan alasan harmonisasi atau penyusunan teknis. Implementasi pajak tidak boleh kalah oleh alasan birokrat yang malas bergerak.

2. Menciptakan pungutan baru berkedok layanan tambahan

Beberapa daerah mencoba membuat nomenklatur seperti “biaya administrasi peralihan”, “jasa balik data”, atau “pemeriksaan dokumen”.
Ini bukan kreativitas fiskal. Ini perlawanan terselubung terhadap UU.

3. Ketakutan kehilangan penerimaan daerah

Faktanya, kontribusi BBN kendaraan bekas sangat kecil. Tapi karena sudah bertahun-tahun nyaman dengan pola lama, sebagian daerah menolak berubah. Ini status quo bias yang merugikan publik.

Dampak Resistensi: Publik Dirugikan, Tertib Data Terganggu

Jika daerah terus menunda:

- Balik nama tetap mahal

- Banyak kendaraan tetap tidak dibaliknama

- Data kepemilikan dan pajak tetap kacau

- Penegakan hukum tak berjalan

- Pasar kendaraan bekas terhambat

Padahal, penghapusan BBN kendaraan bekas justru meningkatkan kepatuhan PKB tahunan dan memperbaiki akurasi database nasional.

Ini Saatnya Pemerintah Pusat Bertindak Tegas

Reformasi fiskal tidak bisa berjalan apabila daerah masih bebas melakukan interpretasi fleksibel terhadap UU. Kemendagri dan Kemenkeu harus lebih agresif:

- Mengawasi realisasi di setiap daerah

- Melarang pungutan baru yang menggantikan BBN

- Menindak Perda atau Pergub yang melanggar UU HKPD

- Memberikan pedoman implementasi yang mengikat, bukan sekadar imbauan

If needed, pemerintah pusat harus mengirim sinyal keras bahwa tidak ada tawar-menawar dalam reformasi pajak daerah.

Kesimpulan: Reformasi Sudah Benar, Tapi Ada yang Mengganjal -- dan Itu Harus Dibersihkan

UU No. 1/2022 menghapus BBN kendaraan bekas untuk membebaskan publik dari pungutan tidak produktif dan mendorong tertib administrasi kendaraan.

Kebijakannya benar. Arahnya tepat. Masalahnya bukan di regulasi. Masalahnya di daerah yang enggan berubah.

Dan kalau kita ingin Indonesia bergerak menuju sistem fiskal modern yang sederhana, jujur, dan efisien, resistensi seperti ini harus dipaksa runtuh. Tidak dengan kompromi, tapi dengan kepastian hukum.


Kenny Wiston
Praktisi Hukum

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

UNJ Gelar Diskusi dan Galang Donasi Kemanusiaan untuk Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:10

Skandal Sertifikasi K3: KPK Panggil Irjen Kemnaker, Total Aliran Dana Rp81 Miliar

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:04

KPU Raih Lembaga Terinformatif dari Komisi Informasi

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:41

Dipimpin Ferry Juliantono, Kemenkop Masuk 10 Besar Badan Publik Informatif

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:13

KPK Janji Usut Anggota Komisi XI DPR Lain dalam Kasus Dana CSR BI-OJK

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:12

Harga Minyak Turun Dipicu Melemahnya Data Ekonomi China

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:03

Kritik “Wisata Bencana”, Prabowo Tak Ingin Menteri Kabinet Cuma Gemar Bersolek

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:56

Din Syamsuddin Dorong UMJ jadi Universitas Kelas Dunia di Usia 70 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:54

Tentang Natal Bersama, Wamenag Ingatkan Itu Perayaan Umat Kristiani Kemenag Bukan Lintas Agama

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:46

Dolar AS Melemah di Tengah Pekan Krusial Bank Sentral

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:33

Selengkapnya