Tiga mantan petinggi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi, Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono keluar dari Rutan KPK setelah mendapat rehabilitasi dari presiden. (Foto: RMOL/Jamaludin)
Indonesia Audit Watch (IAW) menyoroti rehabilitasi terpidana kasus PT ASDP Indonesia Ferry yang dinilai berpotensi menjadi preseden berbahaya bagi pengelolaan keuangan negara. Meski rehabilitasi merupakan kewenangan Presiden, kerugian negara seharusnya tetap menjadi prioritas yang tidak boleh diabaikan.
"Selama 15 tahun memantau kasus-kasus BUMN, saya belum pernah melihat sesuatu yang bergerak secepat rehabilitasi ASDP. Lima hari setelah majelis hakim menjatuhkan vonis Tipikor, status terpidana hilang melalui sebuah Keppres. Tentu kewenangan Presiden tetapi kerugian negara Rp 1,253 triliun menjadi tanggung jawab siapa?" ujar Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, kepada RMOL, Minggu, 30 November 2025.
Kasus ini, kata Iskandar, bermula pada 2014 saat PT Jembatan Nusantara (PT JN) menawarkan 53 kapal tua kepada ASDP. Evaluasi teknis kala itu menyebut kapal-kapal buatan 1959?"1966 tersebut dalam kondisi tidak layak operasi. ASDP akhirnya menolak karena dinilai bertentangan dengan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan BUMN.
Namun situasi berubah pada 2017-2018 setelah pergantian manajemen ASDP. Serangkaian pertemuan informal disebut berlangsung di hotel, kantor PT JN, hingga rumah pribadi seorang pihak bernama Adjie yang disebut sebagai “shadow director” karena bukan direksi maupun komisaris, tetapi sangat menentukan arah transaksi.
Rekayasa kebijakan internal terjadi pada 2018?"2019 melalui terbitnya Keputusan Direksi (KD) yang awalnya memperketat persyaratan kerja sama. Akan tetapi, KD berikutnya justru menghapus kewajiban feasibility study, persetujuan komisaris, hingga evaluasi finansial mitra. Kontrak kerja sama usaha bahkan diteken sebelum ada persetujuan komisaris.
Manipulasi valuasi disebut terjadi pada 2021 setelah Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) menaikkan nilai kapal menjadi Rp 2,092 triliun. Padahal BUMN PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) sebelumnya menyatakan sebagian kapal tidak layak akuisisi. Pola ini disebut mirip dengan sejumlah kasus besar seperti Jiwasraya dan Asabri.
Puncaknya terjadi pada 20 Oktober 2021 saat penetapan harga akuisisi Rp 1,272 triliun dilakukan di rumah pribadi Adjie. Keputusan itu disebut tidak melalui rapat direksi resmi, tanpa notulen, dan tanpa persetujuan komisaris, yang dinilai melanggar ketentuan UU Tipikor.
Pada 2022, ASDP mengalirkan dana Rp 1,223 triliun ke tiga entitas yang disebut berada dalam lingkar pengendalian Adjie-A Mashuri. Aliran dana tersebut dinilai menunjukkan pola berlapis (layering) yang identik dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
KPK kemudian menetapkan kerugian negara sebesar Rp 1,253 triliun berdasarkan audit BPKP. Pengadilan Tipikor memvonis para terdakwa bersalah dengan unsur perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, serta kerugian negara terbukti nyata.
"Namun situasi berubah setelah muncul jalur aspirasi dari DPR yang diteruskan ke Sekretariat Negara dan Mahkamah Agung. Presiden kemudian menerbitkan Keppres rehabilitasi dalam waktu singkat. Namun sangat disayangkan proses tersebut murni administratif tanpa diikuti audit ulang kerugian negara maupun penelusuran aliran dana," kata Iskandar.
Akibat Keppres tersebut, status terpidana gugur dan mekanisme penggantian kerugian negara melalui jalur pidana otomatis terhenti. Hal ini menyebabkan tidak ada lagi subjek hukum yang bisa dimintai tanggung jawab atas kerugian negara Rp 1,253 triliun yang kini berpotensi membebani APBN.
Iskandar mengajukan sejumlah rekomendasi kepada Presiden Prabowo Subianto, mulai dari peninjauan ulang Keppres rehabilitasi, penerbitan aturan rehabilitasi bersyarat, hingga pembentukan satgas pemulihan kerugian negara. Ia menegaskan, kasus ASDP kini menjadi tolok ukur komitmen negara dalam menjaga uang rakyat dan kredibilitas penegakan hukum di sektor BUMN.
“Kasus ASDP ini akan menjadi benchmark penanganan korupsi BUMN ke depan. Rehabilitasi boleh dilakukan tetapi kewajiban mengembalikan kerugian negara harus dilakukan terlebih dahulu agar tidak menjadi celah berbahaya bagi keuangan negara,” tegas Iskandar Sitorus.