Ketua Dewan Pembina Menteng Institute Muh. Akmal Ahsan. (Foto: Dokumentasi Menteng Institute)
Ketua Dewan Pembina Menteng Institute Muh. Akmal Ahsan menanggapi putusan pengadilan terhadap mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi.
Ia menilai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Ketua Sunoto perlu menjadi perhatian serius dalam proses hukum perkara tersebut.
“Dalam dissenting opinion-nya, Hakim Sunoto menyatakan bahwa tindakan Ira Puspadewi tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi. Keputusan akuisisi PT Jembatan Nusantara dinilainya sebagai kebijakan bisnis yang diambil berdasarkan prinsip business judgment rule (BJR),” kata Akmal dalam keterangan yang diterima redaksi di Jakarta, Minggu malam, 23 November 2025.
Lanjut dia, prinsip ini yang berlaku universal dalam tata kelola korporasi, melindungi direksi dari kriminalisasi keputusan strategis selama keputusan tersebut dibuat secara rasional, profesional, dan tanpa itikad buruk.
Akmal menilai pendapat hakim tersebut menjadi sinyal penting bagi dunia penegakan hukum dan tata kelola BUMN.
“Kalau semua keputusan bisnis itu dipidanakan, menurut saya, akan banyak kasus pidana yang salah kaprah. Para pimpinan BUMN yang punya kapasitas bagus, makin lama makin ragu ngambil keputusan strategis menyangkut perusahaan,” jelasnya.
Hakim Sunoto juga mempertanyakan dasar perhitungan kerugian negara dalam perkara ini.
Akmal menilai metode penilaian aset yang digunakan tidak kredibel sehingga menghasilkan angka kerugian yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ketidakjelasan unsur kerugian negara, menurut dia, melemahkan konstruksi pidana secara keseluruhan.
Ia menegaskan bahwa akuisisi PT Jembatan Nusantara merupakan upaya ASDP memperkuat layanan publik, termasuk di wilayah strategis dan daerah 3T. Karena itu, menurut dia, kebijakan bisnis berbasis kajian dan ditujukan untuk kepentingan pelayanan tidak dapat dengan mudah digolongkan sebagai tindak pidana hanya karena tidak memenuhi ekspektasi setelahnya.
Ia menambahkan, kriminalisasi kebijakan korporasi di BUMN berpotensi menurunkan keberanian manajerial. Padahal, dalam fase transformasi BUMN, pengambilan risiko merupakan keharusan.
“Jika setiap keputusan bisnis yang tidak sempurna dianggap tindak pidana, manajer akan memilih jalan aman. Stagnasi jauh lebih berbahaya bagi negara,” ungkapnya.
Akmal mendorong agar proses hukum di tingkat berikutnya mempertimbangkan secara serius dissenting opinion tersebut. Menurut dia, penegakan hukum perlu membedakan secara tegas antara korupsi dan keputusan bisnis yang mengandung risiko.
“Menyamakan keduanya adalah kekeliruan paradigma yang dapat merusak ekosistem BUMN dan iklim investasi nasional,” pungkasnya.