Berita

Presiden Prabowo Subianto (Dokumen RMOL.id)

Publika

Diplomasi Rasional Presiden Prabowo

Oleh: Tri Wibowo Santoso
RABU, 12 NOVEMBER 2025 | 11:00 WIB

DIPLOMASI Presiden Prabowo Subianto mencerminkan pergeseran cara pandang Indonesia terhadap dunia. Bukan lagi diplomasi simbolik yang sibuk menjaga citra, melainkan diplomasi rasional yang menghitung kepentingan nasional dengan presisi. 

Dalam pendekatan ini, hubungan luar negeri tidak diukur dari frekuensi kunjungan, tetapi dari hasil konkret yang memperkuat posisi Indonesia di kawasan dan di dunia. Lawatan resmi Presiden Prabowo ke Australia pada 11 hingga 12 November 2025 adalah bukti nyata bagaimana diplomasi bisa dijalankan dengan keseimbangan antara kehormatan dan kepentingan.

Prabowo datang ke Australia bukan untuk berbasa-basi tanpa arah,  tetapi untuk mengonsolidasikan kepentingan strategis Indonesia dalam bidang pertahanan, ekonomi, dan pendidikan. Ia memahami bahwa hubungan kedua negara selama ini tidak selalu mulus, kadang hangat, kadang penuh kecurigaan. 


Namun, pendekatan yang ia ambil menunjukkan perubahan mendasar: Indonesia kini berbicara dari posisi sejajar, bukan inferior. Prabowo menegaskan bahwa kerja sama hanya bermakna jika dibangun atas dasar saling menghormati dan kesetaraan. Dengan cara itu, diplomasi menjadi alat memperkuat kedaulatan, bukan sekadar bentuk keramahtamahan negara.

Hubungan Indonesia dan Australia memiliki sejarah panjang yang penuh dinamika. Namun dalam konteks geopolitik baru di kawasan Indo-Pasifik, keduanya sama-sama menyadari perlunya menjaga stabilitas regional di tengah rivalitas kekuatan besar. Prabowo tidak terjebak dalam dikotomi antara Barat dan Timur. Ia tahu bahwa masa depan keamanan kawasan tidak bisa diserahkan pada satu blok kekuatan, melainkan harus dikelola melalui kerja sama antarnegara yang memiliki kepentingan nyata atas perdamaian dan stabilitas. 

Dalam hal ini, hubungan dengan Australia bukan bentuk ketergantungan, melainkan strategi cerdas untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain independen di kawasan.

Pendekatan rasional itu terlihat jelas dalam kebijakan pertahanan. Prabowo membangun kemitraan militer dengan Australia bukan karena tekanan geopolitik, tetapi karena kesadaran bahwa kemampuan pertahanan nasional harus tumbuh melalui sinergi, bukan isolasi. Latihan gabungan, pertukaran intelijen, dan penguatan keamanan maritim bukan langkah subordinatif, melainkan investasi strategis untuk memperkuat kedaulatan wilayah. Ia memandang kerja sama bukan ancaman, tetapi alat untuk meningkatkan kapasitas. Dengan logika itu, diplomasi pertahanan menjadi wujud kemandirian yang realistis, bukan ketergantungan yang terselubung.

Rasionalitas juga tampak dalam aspek ekonomi dan pendidikan. Prabowo memahami bahwa hubungan politik yang kuat harus ditopang oleh manfaat ekonomi yang nyata. Melalui perjanjian Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA), kedua negara berhasil meningkatkan nilai perdagangan dua arah secara signifikan. Namun Prabowo tidak melihat perjanjian itu sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai instrumen untuk memperkuat daya saing industri domestik. Hubungan ekonomi yang rasional berarti membuka kerja sama tanpa kehilangan orientasi nasional. 

Di sektor pendidikan, hubungan Indonesia-Australia menunjukkan dimensi diplomasi yang lebih halus namun strategis. Ribuan pelajar Indonesia yang belajar di Australia menjadi jembatan sosial dan kultural antara kedua bangsa. Prabowo melihat ini bukan sekadar pertukaran akademik, melainkan investasi sumber daya manusia jangka panjang yang akan menentukan arah diplomasi generasi mendatang.

Diplomasi rasional juga berarti menempatkan Indonesia sebagai kekuatan penyeimbang, bukan pengikut. Dalam peta geopolitik yang semakin kompleks, Prabowo tampaknya sadar bahwa peran Indonesia tidak ditentukan oleh jumlah pertemuan internasional yang dihadiri, tetapi oleh sejauh mana keputusan-keputusan luar negeri mampu menguntungkan rakyat di dalam negeri. Ia tidak berbicara dengan ambisi global yang kosong, tetapi dengan perhitungan strategis yang menempatkan kepentingan nasional di atas segalanya. 

Pendekatan seperti ini membuat posisi Indonesia di kawasan semakin dihormati karena dianggap rasional, konsisten, dan tidak mudah digiring oleh agenda pihak luar.
Ciri utama dari diplomasi rasional adalah keberanian mengambil posisi tanpa kehilangan keseimbangan. Prabowo menunjukkan bahwa Indonesia bisa bersahabat dengan siapa pun tanpa kehilangan prinsip kedaulatan. 

Ia mampu menjaga hubungan baik dengan kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Australia tanpa harus tunduk pada salah satunya. Dalam dunia yang diwarnai ketegangan geopolitik, sikap seperti ini bukan kelemahan, tetapi bentuk kecerdasan politik. Prabowo mempraktikkan prinsip bebas aktif dengan cara yang lebih tegas: bebas dalam menentukan arah, aktif dalam memperjuangkan kepentingan nasional.

Diplomasi semacam ini menuntut keteguhan karakter dan konsistensi moral. Rasionalitas bukan berarti dingin atau kaku, melainkan kemampuan menempatkan emosi politik di bawah kendali akal sehat. Prabowo memperlihatkan bahwa diplomasi tidak harus flamboyan untuk berhasil; cukup rasional, terukur, dan berbasis kepentingan yang jelas. Ia membawa semangat pragmatis yang jarang dimiliki oleh pemimpin politik era sekarang,  berpikir global, tapi bertindak nasional.

Dalam konteks hubungan dengan Australia, diplomasi rasional Presiden Prabowo adalah contoh bagaimana Indonesia bisa memperluas pengaruh tanpa kehilangan jati diri. Ia menunjukkan bahwa kerja sama antarbangsa bukan tentang siapa yang lebih kuat, tetapi tentang siapa yang lebih bijak mengelola perbedaan. Dalam dunia yang semakin tidak pasti, rasionalitas adalah bentuk keberanian baru: keberanian untuk tetap waras ketika banyak negara bertindak emosional.

Prabowo mungkin bukan diplomat klasik, tetapi ia memahami esensi diplomasi lebih baik dari banyak profesional: bahwa hubungan antarnegara pada akhirnya ditentukan oleh kejelasan tujuan dan keberanian untuk menegakkan kepentingan nasional tanpa kehilangan rasa hormat pada pihak lain. Dalam hal itu, diplomasi rasional yang ia jalankan bukan hanya strategi, tetapi refleksi dari kedewasaan politik sebuah bangsa yang tahu kapan harus tegas, kapan harus terbuka, dan kapan harus berhenti berbicara untuk mulai bekerja.


Penulis adalah Direktur Lingkar Study Data dan Informasi (LSDI)




Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya