Gubernur Riau, Abdul Wahid (RMOL/Jamaludin Akmal)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengembangkan penyidikan kasus dugaan pemerasan terkait penganggaran proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PUPR PKPP) Provinsi Riau.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengonfirmasi bahwa tim penyidik telah melakukan penggeledahan di beberapa lokasi di Riau pada Kamis 6 November 2025. . Salah satu lokasi utama penggeledahan adalah rumah dinas Gubernur Riau, Abdul Wahid (AW).
"Dalam penggeledahan tersebut, penyidik mengamankan sejumlah dokumen, barang bukti elektronik, di antaranya penyidik menyita CCTV," kata Budi kepada wartawan, Jumat siang, 7 November 2025. Selanjutnya, tim penyidik akan melakukan ekstraksi dan analisis mendalam terhadap seluruh barang bukti elektronik dan dokumen yang telah diamankan.
Kasus ini bermula dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK sejak Senin 3 November 2025. KPK telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka dan langsung melakukan penahanan sejak Selasa 4 November 2025. Mereka adalah; Abdul Wahid (AW), Gubernur Riau, M Arief Setiawan (MAS), Kepala Dinas PUPR PKPP Pemprov Riau, serta M Nursalam (DAN), Tenaga Ahli Gubernur Riau.
Ketiganya kini ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) KPK.
Dalam konstruksi perkara yang diungkap KPK, dugaan pemerasan ini terkait dengan penambahan anggaran proyek jalan dan jembatan.
Pada Mei 2025, terjadi pertemuan antara seorang pengepul bernama Ferry dengan enam Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. Pertemuan itu membahas kesanggupan pemberian fee kepada Gubernur Abdul Wahid atas penambahan anggaran.
Anggaran UPT Jalan dan Jembatan yang semula hanya Rp71,6 miliar, ditingkatkan menjadi Rp177,4 miliar (kenaikan Rp106 miliar). Awalnya fee yang disanggupi adalah 2,5 persen, namun Arief Setiawan (mewakili Gubernur AW) meminta fee dinaikkan menjadi 5 persen atau senilai total Rp7 miliar.
Permintaan ini di kalangan internal Dinas PUPR PKPP Riau dikenal dengan istilah "jatah preman." Bagi yang menolak mematuhi permintaan tersebut, diancam akan dicopot atau dimutasi dari jabatannya. Setelah disepakati, seluruh Kepala UPT dan Sekretaris Dinas menyanggupi fee sebesar Rp7 miliar. Hasil kesepakatan itu dilaporkan kepada Kepala Dinas Arief dengan menggunakan kode "7 batang."
Berdasarkan temuan penyidik, setidaknya telah terjadi tiga kali setoran fee yang dikumpulkan oleh Ferry dan Kepala UPT:
Secara total, uang yang telah diserahkan dari Juni hingga November 2025 mencapai Rp4,05 miliar dari kesepakatan awal Rp7 miliar. Khusus untuk Gubernur Abdul Wahid, total penerimaan yang terdeteksi mencapai Rp2,25 miliar.