Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky . (Foto: RMOL/Alifia Dwi Ramandhita)
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 5,04 persen year on year (yoy) disebut menuai tanda tanya.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky menilai angka tersebut melampaui prediksi banyak pihak dan tidak sepenuhnya didukung indikator ekonomi yang ada.
“Pertumbuhan triwulan tiga itu tampak melampaui prediksi banyak pihak, kecuali pemerintah sendiri. Rincian sektoral dan komponen PDB tampak kurang meyakinkan,” kata Awalil kepada RMOL pada Rabu, 5 November 2025.
Awalil mengungkap, konsensus ekonom yang dihimpun Bloomberg sebelumnya hanya memperkirakan pertumbuhan 4,8 persen yoy. Sementara beberapa ekonom juga berpendapat bahwa pertumbuhan sulit menembus level 5 persen.
BPS juga mencatat pertumbuhan ekonomi secara kuartalan (qoq) hanya 1,43 persen, termasuk tiga terendah dalam beberapa tahun terakhir.
Awalil menyoroti sektor industri pengolahan yang tumbuh tinggi hingga 5,54 persen, padahal, rata-rata pertumbuhan sektor ini pada 2011-2024 hanya 4,01 persen. Porsinya terhadap PDB pun perlahan turun, dari 21,76 persen pada 2011 menjadi 18,98 persen pada 2024, yang merupakan indikasi terjadi deindustrialisasi.
Selain itu, Purchasing Managers’ Index (PMI) beberapa bulan lalu juga sempat berada di zona kontraksi dan penjualan barang industri masih lesu, termasuk mobil, motor, dan semen.
“Data sektor industri pengolahan dari BPS tampak tidak sejalan dengan indikator lainnya. Ada perusahaan besar tutup atau PHK besar-besaran,” tegasnya.
Konsumsi rumah tangga juga hanya tumbuh 4,89 persen, terendah untuk triwulan III sejak 2011 di luar masa pandemi. Ini memperkuat penurunan daya beli yang juga terekam dalam survei konsumen BI dan LPS.
Adapun kontributor pertumbuhan terbesar justru datang dari sektor jasa, seperti perdagangan, akomodasi-makanan minuman, informatika-komunikasi, hingga jasa perusahaan.
Konsumsi pemerintah juga melonjak 5,49 persen, tertinggi lima tahun terakhir ditengah klaim Pemerintah Pusat dan Daerah sedang melakukan efisiensi.
“Investasi (PMTB) pun 5,04 persen terutama disumbang subkomponen Mesin dan Perlengkapan yang mencapai 17,00 persen. Persoalannya masih kurang jelas bagaimana perlakukan hitungan atas penambahan mesin dan peralatan. Apakah sudah dihitung sejak dibeli atau tersedia atau saat mulai berproduksi,” ucapnya mempertanyakan.
Menurut Awalil, angka yang dirilis BPS berpotensi mendistorsi kondisi fundamental ekonomi yang sebenarnya masih lemah.
“Kami masih menganggap pertumbuhan triwulan III seharusnya sekitar 4,85 persen dan setahun hanya kisaran 4,90 persen,” tegasnya.
Ia mengingatkan bila “angka mempercantik diri” ini terus berlanjut, maka pertumbuhan ke depan justru bisa semakin melambat dan menimbulkan persoalan baru.
“Jika perhitungan yang mempercantik diri ini berlanjut, maka kemungkinan pertumbuhan setahun 2025 memang bisa mencapai 5,05 persen. Namun berpotensi akan menimbulkan masalah pada tahun-tahun selanjutnya, yang terpaksa akan lebih rendah,” tandasnya.