Berita

Ilustrasi. (Foto: Artificial Intelligence)

Publika

Setan Masjid

SENIN, 03 NOVEMBER 2025 | 05:26 WIB | OLEH: AHMADIE THAHA

MASJID konon tempat paling aman setelah pelukan ibu dan pangkuan kiai kampung yang selalu menepuk bahu sambil berkata, “Ndak apa-apa, Nak, hidup memang penuh ujian.” Namun entah setan dari mana, ada warga bikin masjid mirip tempat syuting film laga kelas menengah yang pemainnya bukan bintang, tapi warga sekitar.

Dan kita pun terhenyak: bagaimana bisa di rumah Allah, orang diperlakukan bukan seperti tamu, tapi seperti karung beras yang jatuh dari truk? Akhir pekan ini, kita menatap kenyataan paling pahit dari peristiwa yang mengguncang itu: seorang pemuda bernama Arjuna Tamaraya, tewas di area masjid akibat tendangan maut.

Perantau 21 tahun yang sekadar ingin memejamkan mata di Masjid Agung Sibolga, Sumatera Utara, itu pada Jumat jelang Subuh, menjadi korban pengeroyokan brutal oleh lima orang yang merasa terganggu oleh keberadaannya. Ia ditendang, dipukuli, diseret keluar, kepalanya terbentur anak tangga, bahkan dilempar buah kelapa.


Semua perlakuan itu tak pernah diajarkan oleh agama mana pun, apalagi dilakukan di tempat paling suci di muka bumi. Rekaman CCTV menyaksikan semuanya, lebih jujur dari hati para pelaku, sementara Arjuna sendiri tak pernah sempat bangun kembali dari tidur yang tak pernah ia minta untuk menjadi tidur terakhirnya.

Tragedi Arjuna Tamaraya di Masjid Agung Sibolga membuat kita bertanya dengan dahi mengernyit setinggi tower masjid. Khutbah macam apa lagi sebenarnya yang dibutuhkan jamaah? Apakah khutbah Jumat selama ini tak pernah menyentuh hal paling dasar dari agama mana pun: bahwa nyawa manusia itu bukan barang obralan?

Padahal ayatnya jelas, terang benderang, lantang tanpa speaker Toa: “barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya” (Qs. Al-Maidah: 32.

Sebuah kalimat yang kalau ditulis di spanduk, bisa bikin para pelaku penganiayaan itu merunduk seperti sandal jepit ketinggalan wudhu. Pada 2016, laman Facebook resmi UC Berkeley AS memposting foto plakat dengan kutipan ayat ini, “Whoever kills an innocent person it is as if he has killed all of humanity.”

Atas peristiwa di Sibolga tadi, kita pun jadi bingung, apakah khutbah-khutbah kita terlalu ilmiah sampai jamaah ketiduran sebelum sampai pada pesan utamanya? Atau sebaliknya, terlalu dangkal hingga nilai-nilai kemanusiaan tenggelam di antara contoh-contoh copy-paste dari grup WhatsApp?

Seberapa sering khutbah bicara tentang akhlak dasar yang membentuk manusia, bukan sekadar larangan-larangan yang membuat dahi kita semakin berlipat seperti sajadah bekas sujud panjang?

Arjuna hanya ingin tidur. Iya, tidur. Sesuatu yang bahkan kucing pun tidak pernah dianiaya gara-gara melakukannya. Boleh jadi ia tak punya saudara tempat berteduh. Atau ia dalam perjalanan fi sabilillah. Tapi di masjid, pada dini hari, Arjuna justru diperlakukan seperti penjahat kelas kakap yang melanggar titah kerajaan.

Tentu, ada adab di masjid. Tentu, ada aturan. Tak boleh tiduran, apalagi tidur. Tapi adab tak pernah mengajarkan tendangan ke kepala, dan aturan tak pernah menyuruh menginjak manusia, apalagi melemparkan kelapa seperti sedang latihan olahraga tradisional tingkat desa.

Pertanyaannya kemudian memelintir hati kita: seberapa jauh dakwah masjid menjangkau warga sekitar, darimana kata polisi para penganiaya berasal? Apakah para khatib, yang seringkali didatangkan dari luar lingkungan, memahami medan dakwah tempat mereka berdiri?

Atau jangan-jangan mereka hanya datang, berkhutbah seperti membaca pengumuman, lalu pulang dengan baju gamis dan sorban rapi, meninggalkan jamaah yang tetap bingung menghadapi masalah-masalah sosial yang lebih rumit dari penjelasan fiqih waktu asar?

Ini bukan sekadar soal retorika. Masjid adalah pusat moral sosial, bahkan pusat peradaban. Ia bukan hanya ruang ibadah, tetapi ruang didik kemanusiaan. Kalau masjid tak mampu menjinakkan amarah warganya, lantas apa makna deretan panjang kajian, tabligh akbar, dan ceramah subuh?

Kalau orang bisa meninggal dipukuli atas urusan sepele di sana, apakah yang selama ini kita bangun adalah rumah ibadah atau benteng emosi tak tersalurkan?

Di luar sana, negara-negara lain bahkan sedang sibuk memikirkan bagaimana rumah ibadah bisa menjadi pusat rehabilitasi sosial, pusat dialog lintas iman, pusat konseling keluarga.

Kita? Masjid kita kadang masih sibuk memutuskan siapa boleh tidur, siapa tidak; mungkin juga siapa boleh duduk di shaf terdepan, siapa harus minggir. Dramanya mengalahkan parlemen, minus fasilitas AC dan honor rapat.

Ironisnya, tragedi Arjuna justru memberi kita cermin paling jernih. Bahwa yang rusak bukan masjidnya, tapi manusia yang menghuninya. Dan bahwa dakwah bukan tentang panjang pendek khutbah, tetapi sejauh mana pesan itu mengubah perilaku.

Dan bahwa, seorang pendatang tak dikenal tetaplah saudara seiman dalam kemanusiaan, yang wajib diperlakukan dengan hormat. Bukan dengan sepakan, bukan dengan teriakan, bukan dengan seretan ke tangga yang merenggut nyawanya.

Pada akhirnya, kita belajar dari peristiwa paling pahit ini: bahwa masjid dapat kembali pada peran aslinya bila kita kembalikan kemanusiaan sebagai inti dakwah. Bahwa khutbah yang baik bukan yang panjang, bukan yang puitis, bukan yang bising oleh mikrofon -- tetapi yang mampu mencegah tangan orang berbuat semena-mena.

Dan bahwa kehilangan satu nyawa di rumah Allah adalah alarm yang tak boleh kita matikan, betapa pun berisiknya.

Dari tragedi muncul pelajaran. Dari luka hadir kesadaran. Dari satu nyawa yang terampas, kita diingatkan bahwa angka-angka statistik kriminal itu bukan sekadar data; itu adalah manusia yang tak sempat pulang.

Semoga masjid kembali menjadi rumah keselamatan, bukan ruang kemarahan. Semoga dakwah kembali memanusiakan manusia sebelum mengajarinya hukum. Dan semoga kita, para jamaah yang sibuk mengejar pahala, tidak lupa bahwa ibadah pertama adalah menghormati kehidupan.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Berjuang Bawa Bantuan Bencana

Kamis, 04 Desember 2025 | 05:04

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

UPDATE

12 Orang Tewas dalam Serangan Teroris di Pantai Bondi Australia

Minggu, 14 Desember 2025 | 19:39

Gereja Terdampak Bencana Harus Segera Diperbaiki Jelang Natal

Minggu, 14 Desember 2025 | 19:16

Ida Fauziyah Ajak Relawan Bangkit Berdaya Amalkan Empat Pilar Kebangsaan

Minggu, 14 Desember 2025 | 19:07

Menkop Ferry: Koperasi Membuat Potensi Ekonomi Kalteng Lebih Adil dan Inklusif

Minggu, 14 Desember 2025 | 18:24

Salurkan 5 Ribu Sembako, Ketua MPR: Intinya Fokus Membantu Masyarakat

Minggu, 14 Desember 2025 | 18:07

Uang Rp5,25 Miliar Dipakai Bupati Lamteng Ardito untuk Lunasi Utang Kampanye Baru Temuan Awal

Minggu, 14 Desember 2025 | 17:34

Thailand Berlakukan Jam Malam Imbas Konflik Perbatasan Kamboja

Minggu, 14 Desember 2025 | 17:10

Teknokrat dalam Jerat Patronase

Minggu, 14 Desember 2025 | 17:09

BNI Dukung Sean Gelael Awali Musim Balap 2026 di Asian Le Mans Series

Minggu, 14 Desember 2025 | 16:12

Prabowo Berharap Listrik di Lokasi Bencana Sumatera Pulih dalam Seminggu

Minggu, 14 Desember 2025 | 16:10

Selengkapnya