Berita

Presiden ke-2 RI Soeharto saat mengumumkan pengunduran diri pada 21 Mei 1998. (Foto: ANTARA)

Politik

Pemberian Gelar Pahlawan Buat Soeharto Hilangkan Makna Reformasi

JUMAT, 31 OKTOBER 2025 | 20:21 WIB | LAPORAN: BONFILIO MAHENDRA

Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto dinilai tidak sekadar soal layak atau tidak layak. 

Menurut pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, langkah tersebut berimplikasi serius terhadap sejarah, hukum tata negara, dan fondasi demokrasi di Indonesia.

“Pemberian gelar ini bukan hanya perkara pantas atau tidak pantas. Ini soal bagaimana kita memahami sejarah dan arah demokrasi Indonesia ke depan,” ujar Bivitri kepada wartawan di Jakarta, Jumat, 31 Oktober 2025.


Menurutnya, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dapat mengaburkan landasan historis reformasi yang melahirkan berbagai perubahan institusional, termasuk pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) dan dimasukkannya pasal-pasal hak asasi manusia (HAM) ke dalam UUD 1945.

“Kalau Soeharto dianggap pahlawan, seolah-olah kita kehilangan dasar sejarah atas lahirnya lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi itu. Reformasi bisa kehilangan maknanya,” jelas dia.

Bivitri juga menyoroti bahwa penyandingan nama Soeharto dengan tokoh-tokoh lain dalam daftar usulan, seperti Marsinah, terkesan sebagai upaya untuk mengaburkan fakta sejarah.

“Seolah pemberian gelar ini prosedural biasa. Kalau Soeharto diusulkan sendirian, mungkin masyarakat lebih mudah menolak. Tapi kalau bersama tokoh lain, kita jadi ragu dan sungkan, apalagi harus berhadapan dengan keluarga para calon penerima gelar,” ungkapnya.

Lebih jauh, Bivitri mengingatkan bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bisa berdampak pada legitimasi perubahan konstitusi pascareformasi.

“Kita bisa kehilangan dasar sejarah yang menunjukkan bahwa amandemen UUD 1945 itu perlu, karena kekuasaan Soeharto dulu terlalu besar. Dulu tidak ada Pasal 7 yang membatasi masa jabatan presiden dua periode, tidak ada MK. Saya khawatir langkah ini menjadi pembenaran untuk mengubah kembali konstitusi,” beber dia.

“Kalau Soeharto dijadikan pahlawan, nanti bisa saja muncul argumen, ‘Soeharto saja dipilih tujuh kali, kenapa tidak boleh lagi?’ Itu yang berbahaya bagi masa depan demokrasi kita,” pungkas Bivitri.


Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya