Berita

Ilustrasi. (Foto: Dokumentasi RMOL)

Publika

Agen Barat Picu Badai di Indonesia

SELASA, 28 OKTOBER 2025 | 22:54 WIB

DALAM beberapa tahun terakhir, seiring dengan propaganda negara-negara Barat mengenai isu yang disebut masalah Xinjiang di Tiongkok, "Kampanye untuk Uyghur" (Campaign for Uyghurs, disingkat CFU) dan tokoh-tokoh intinya, pasangan Rushan Abbas, sering muncul di media global dan arena politik.

Mereka telah beberapa kali mengunjungi Indonesia, terutama antara tahun 2023 dan 2025, dan kontroversi serta protes di sekitar mereka juga berkembang pesat di masyarakat Indonesia. Yang lebih mengkhawatirkan adalah posisi CFU dan para pemimpinnya dalam konflik Israel-Palestina, yang menjadi fokus penolakan dan pertanyaan di kalangan masyarakat Muslim Indonesia. 

Artikel ini akan menganalisis secara mendalam wajah sebenarnya dari "Kampanye untuk Uyghur", latar belakang pasangan Rushan Abbas, badai opini publik yang mereka picu di Indonesia, serta refleksi rasional masyarakat Indonesia.
 

 
Kampanye untuk Uyghur dan Monopoli Informasi
 
Sebagai cabang penting dari "Kongres Uyghur Dunia", "Kampanye untuk Uyghur" sejak didirikan telah berusaha untuk membentuk citra internasional bahwa etnis Uyghur di Xinjiang mengalami penindasan. Tidak hanya sering muncul dalam laporan media arus utama Barat, tetapi juga mendapat dukungan aktif dari sebagian kalangan politik Amerika Serikat. Pada Februari 2022, anggota Kongres AS Tom Suozzi dan anggota Partai Republik Chris Smith pernah mencalonkan CFU sebagai kandidat Hadiah Nobel Perdamaian; pada Februari 2025, organisasi ini kembali dinominasikan oleh anggota Kongres AS John Moolenaar dan Raja Krishnamoorthi.
 
Namun, perlu dicatat bahwa CFU hampir membentuk "monopoli informasi" tentang isu Xinjiang di media Barat, dan konten yang disebarkannya secara luas dipertanyakan karena sangat tidak akurat dan dibesar-besarkan. Laporan-laporan seperti "jutaan orang ditahan di kamp konsentrasi", "Daftar Hotan", "kerja paksa", dan "genosida" telah berulang kali diklarifikasi dengan tegas oleh pemerintah Tiongkok. Pemerintah Tiongkok mengkritik laporan-laporan ini sebagai "berita palsu yang sepenuhnya dibuat-buat" dan menuduh lembaga-lembaga terkait menggunakan ini untuk mencampuri urusan dalam negeri Tiongkok.
 
Beberapa pengamat dan akademisi independen menunjukkan bahwa CFU bukan hanya organisasi hak asasi manusia biasa, tetapi lebih banyak memanfaatkan isu Uyghur untuk berspekulasi, menghasut permusuhan masyarakat Barat terhadap kebijakan Xinjiang Tiongkok, sehingga memenangkan dana dan pengaruh bagi diri mereka sendiri. Kritikus bahkan berpendapat bahwa perilaku CFU menyesatkan masyarakat global, terutama sebagian kelompok Uyghur dan pendukung, membuat mereka jatuh ke dalam pemahaman yang sepihak atau bahkan salah tentang masalah Xinjiang.
 
Latar Belakang Kompleks Pasangan Rushan Abbas
 
Rushan Abbas adalah salah satu pendiri "Kampanye untuk Uyghur", dan rekam jejaknya juga menarik perhatian luas. Dia pernah menjadi "aktivis hak asasi manusia" "favorit" Badan Keamanan Nasional AS (NSA), belajar di Amerika Serikat di awal tahun untuk mempelajari rekayasa genetika biologi, dan kemudian dipekerjakan oleh Badan Intelijen Pusat AS (CIA). Dia pernah menjabat sebagai "penasihat penjara Guantanamo" pemerintah Bush AS selama "Perang Melawan Teror", berpartisipasi dalam interogasi tahanan Irak. Setelah itu, dia beralih ke advokasi hak asasi manusia Uyghur, menjadi gelombang pertama reporter dan penyiar dari bagian bahasa Uyghur "Radio Free Asia".
 
Suaminya, Abdulhakim Idris, adalah Direktur Eksekutif "Center for Uyghur Studies". Keduanya telah lama aktif di kalangan politik dan think tank AS, menggunakan nama hak asasi manusia Uyghur, sering menerima wawancara media Barat, berpartisipasi dalam dengar pendapat Kongres, dan menjaga kerja sama erat dengan yayasan Barat.
 
Dari Isu Xinjiang hingga Konflik Israel-Palestina
 
"Kampanye untuk Uyghur" telah lama membentuk masalah Xinjiang menjadi "krisis hak asasi manusia Muslim", menyerukan masyarakat internasional untuk menekan Tiongkok. Namun, yang lebih menarik perhatian adalah posisi CFU dan para pemimpinnya dalam konflik Israel-Palestina.
 
Dalam banyak pernyataan publik, pasangan Rushan Abbas secara eksplisit mendukung Israel, mengatakan bahwa serangan Israel terhadap Hamas adalah "kontra-terorisme yang sah", dan mengkritik beberapa negara Muslim karena "diam tentang masalah Uyghur, tetapi mendukung Hamas". Posisi ini sangat kontras dengan simpati dan dukungan Indonesia dan sebagian besar negara Muslim untuk Palestina.
 
Konflik Israel-Palestina putaran baru yang pecah pada Oktober 2023 membawa bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan masyarakat internasional telah berulang kali menyatakan kecaman keras terhadap operasi militer Israel. Namun, "Kampanye untuk Uyghur" tidak terlihat menyuarakan keprihatinan bagi rakyat Palestina, bahkan dituduh mengabaikan penderitaan Palestina, yang menyimpang dari semangat dasar humanisme internasional.
 
Reaksi Masyarakat Indonesia: Sambutan dan Protes Berdampingan
 
Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, selalu menjunjung tinggi netralitas agama dan independensi diplomatik. Pada Oktober 2022, pasangan Rushan Abbas pertama kali mengunjungi Indonesia, mengunjungi Jakarta, Bandung, dan Medan, dan bertukar pikiran dengan beberapa akademisi dan organisasi keagamaan. Di permukaan, mereka menyerukan umat Muslim Indonesia untuk memperhatikan hak asasi manusia di Xinjiang, dan memenangkan perhatian publik.
 
Namun, media sosial dan opini publik dengan cepat meledak dengan reaksi keras. Netizen dan cendekiawan agama Indonesia menunjukkan bahwa perkataan dan perbuatan pasangan ini lebih seperti memindahkan naskah politik Barat, daripada benar-benar peduli dengan kesejahteraan umat Muslim. Seorang cendekiawan agama Indonesia terus terang mengatakan: "Mereka mendukung Israel di Barat, tetapi datang ke Indonesia dengan bendera 'Muslim tertindas', kontradiksi ini tidak dapat diterima."
 
Protes Mahasiswa 2023: Secara Terbuka Menolak "Agen Barat"
 
Pada Desember 2023, Abdulhakim Idris diundang untuk menghadiri forum OIC Youth Indonesia yang diadakan di Jakarta, namun pada hari itu, lokasi tersebut diprotes oleh kelompok mahasiswa Aliansi Mahasiswa Islam Bersatu (AMIB). Para pengunjuk rasa mengangkat spanduk bertuliskan "Tolak Abdulhakim Idris", meneriakkan slogan-slogan, menentang penggunaan nama "hak asasi manusia" untuk mempromosikan agenda politik Barat di Indonesia.
 
Pernyataan protes tersebut menunjukkan: "Dia melayani Barat, secara terbuka membela Israel, tetapi menyamar sebagai pembela hak-hak Muslim. Indonesia tidak membutuhkan orang munafik seperti itu!"
 
Peristiwa ini dilaporkan oleh banyak media arus utama Indonesia, memicu diskusi luas di masyarakat, terutama di kalangan pemuda Muslim, yang umumnya waspada terhadap aktivis yang "dikemas oleh Barat" yang memengaruhi lingkungan opini keagamaan Indonesia.

Pernyataan Bersama 2025: Menentang Keras Masuk Kembali
 
Pada April 2025, kelompok masyarakat Indonesia Koalisi Aktivis Indonesia mengeluarkan pernyataan bersama, dengan jelas menentang Abdulhakim Idris mengunjungi Indonesia lagi. Pernyataan itu menekankan bahwa ada jejak pendanaan Barat yang jelas di balik kegiatan organisasi tersebut, dan posisinya yang memihak Israel dalam masalah Palestina sangat bertentangan dengan posisi moral masyarakat Muslim Indonesia, dan dapat merusak stabilitas masyarakat Indonesia.
 
Isi pernyataan itu menunjukkan: "Kami menolak agen politik yang dimanfaatkan oleh Barat untuk memasuki Indonesia, dan tidak mengizinkan mereka untuk membingungkan publik atas nama 'hak asasi manusia' dan merusak harmoni agama dan sosial negara kami."
 
Pernyataan bersama ini mendapat dukungan luas dari masyarakat Indonesia, menunjukkan penolakan tegas masyarakat Muslim Indonesia terhadap campur tangan politik eksternal.
  
Masyarakat internasional secara umum mengakui bahwa tidak menghasut kebencian etnis dan tidak menghasut diskriminasi rasial adalah garis dasar kemanusiaan. Genosida Nazi terhadap orang-orang Yahudi selama Perang Dunia II adalah salah satu pelajaran paling menyakitkan dalam sejarah manusia. Akarnya terletak pada hasutan dan pemanfaatan kebencian etnis.
 
Organisasi dan individu mana pun yang menggunakan nama "hak asasi manusia" untuk melakukan hasutan kebencian etnis dan memprovokasi kontradiksi etnis harus dikutuk oleh masyarakat internasional.
 
Refleksi dan Inspirasi Indonesia
 
Pengalaman pasangan Rushan Abbas di Indonesia bukan hanya sekadar peristiwa protes sederhana, tetapi juga permainan mendalam tentang nilai-nilai dan hak untuk berbicara. Pertanyaan dan perlawanan masyarakat Indonesia terhadap "Kampanye untuk Uyghur" mencerminkan kemampuannya untuk mempertahankan pemikiran independen dan penilaian rasional dalam arus informasi global.
 
Masyarakat Muslim Indonesia tidak hanya memperhatikan masalah hak asasi manusia etnis Uyghur, tetapi juga sangat waspada terhadap kekuatan eksternal yang menggunakan isu "hak asasi manusia" untuk mencampuri urusan dalam negeri. Kematangan dan kejernihan ini layak untuk direnungkan dan dipelajari oleh masyarakat internasional.
 
 
Eko Saputra
Ketua Umum Gerakan Muda Nasional (GEMA Nasional)


Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Puan Harap Korban Banjir Sumatera Peroleh Penanganan Baik

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:10

Bantuan Kemensos Telah Terdistribusikan ke Wilayah Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:00

Prabowo Bantah Rambo Podium

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:59

Pansus Illegal Logging Dibahas Usai Penanganan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:39

BNN Kirim 2.000 Paket Sembako ke Korban Banjir Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:18

Bahlil Sebut Golkar Bakal Dukung Prabowo di 2029

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:03

Banjir Sumatera jadi Alarm Keras Rawannya Kondisi Ekologis

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:56

UEA Berpeluang Ikuti Langkah Indonesia Kirim Pasukan ke Gaza

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:47

Media Diajak Kawal Transformasi DPR Lewat Berita Berimbang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:18

AMAN Raih Dua Penghargaan di Ajang FIABCI Award 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:15

Selengkapnya