Berita

Ilustrasi.(Foto: artificial intelligence)

Publika

Frekuensi Adik-Kakak

KAMIS, 23 OKTOBER 2025 | 12:36 WIB | OLEH: AHMADIE THAHA

BEGINILAH kalau presiden punya adik pebisnis: aroma kebijakan negara bisa berubah jadi wangi kue basah bisnis keluarga. Tak selalu busuk, tapi juga tak serta-merta harum. Baru saja Hashim Djojohadikusumo memenangkan tender frekuensi akses internet, Prabowo Subianto langsung menimpali: pemerintah akan pakai punya adiknya.

Hashim -- adik kandung sang presiden -- memenangkan tender frekuensi 1,4 GHz senilai Rp403 miliar lewat perusahaannya, PT Solusi Sinergi Digital Tbk, berkode saham WIFI (agar terdengar akrab di telinga rakyat). Pita frekuensi ini digadang-gadang mampu menghadirkan internet kecepatan 100 Mbps seharga Rp 100 ribu dari Jawa sampai Papua.

Sekilas terdengar heroik, seperti kisah penyelamat digital Nusantara. Tapi mari kita mengerti dulu: frekuensi 1,4 GHz ini bukan sekadar gelombang tak terlihat ciptaan Tuhan yang menari di udara. Ia semacam jalur tol nirkabel bagi sinyal internet -- cocok untuk fixed wireless broadband, alias internet tetap tanpa kabel.


Ia dipancarkan dari menara ke rumah-rumah warga. Posisinya di antara frekuensi rendah seperti 700 MHz (jangkauannya luas tapi lambat) dan frekuensi tinggi seperti 3,5 GHz (cepat tapi ngos-ngosan kalau nabrak tembok). Maka 1,4 GHz ini disebut frekuensi “manis”: seimbang antara jangkauan dan kecepatan.

Artinya, internet dari “WIFI” ini bukan Wi-Fi yang biasa kita dapatkan di kafe atau di halte busway yang sudah ngadat, sambil numpang colokan. Ini jaringan besar berbasis radio frekuensi yang menggantikan peran kabel fiber optik, di kota hingga daerah yang sulit dijangkau akses internet. 

Kalau fiber optik itu jalan tol di darat dan laut -- cepat tapi mahal karena harus gali tanah dan bentang kabel di tiang-tiang pancang hingga di bawah laut -- maka 1,4 GHz ini jalan tol di udara: cukup cepat, cukup murah, asal rutenya tak dikuasai keluarga bangsawan.

Lalu bagaimana dengan Starlink? Nah, Starlink itu seperti pesawat luar angkasa -- bisa menyapa pelosok Papua, tapi biaya langganannya bikin jantung bergetar. Frekuensi 1,4 GHz ini seperti helikopter logistik: tak setinggi Starlink, tapi bisa mendarat lebih dekat ke warga.

Dalam tender resmi, dua nama besar muncul: Surge (WIFI) milik Hasyim Djojohadikusumo untuk wilayah Jawa dan Papua -- wilayah yang “gemuk” secara ekonomi. Pemenang satunya lagi MyRepublic, perusahaan akses internet milik grup Sinarmas, untuk jaringan 1,4 GHz wilayah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali-Nusa.

Surge (WIFI) belum menyebut siapa pemasok teknologinya -- apakah Huawei, Ericsson, atau hasil karya anak bangsa dari laboratorium kampus. Sedangkan MyRepublic terang-terangan sudah menggandeng Huawei untuk jaringan broadband wireless access (BWA) berbasis frekuensi 1,4 GHz.

Lalu tampillah Prabowo dengan pernyataan heroik: pemerintah tidak akan pakai Starlink, tapi akan pasang “WiFi” di setiap sekolah. Kalimat yang indah tapi penuh dilema semantik. Karena rakyat awam bisa bingung: WiFi yang mana dulu? WiFi teknologi, atau WIFI perusahaan adik presiden?

Padahal yang dimaksud Prabowo jelas: WIFI sebagai perusahaan merek dagang keluarganya. Tapi publik, tentu saja, tak semudah itu memisahkan istilah dari konteks politik. Maka pertanyaan pun mengalir: ini kebijakan negara, atau proyek keluarga besar Subianto -- Djojohadikusumo Bersaudara?

Kita tak perlu buru-buru menuduh ada nepotisme. Tapi kita pun tak boleh pura-pura tuli terhadap potensi bahaya yang sama: kekuasaan dan bisnis berpelukan di ranjang kebijakan publik. Di India, Mukesh Ambani lewat Reliance Jio pernah membangun jaringan internet murah yang mengubah wajah negeri -- dari desa hingga kota -- tanpa perlu kakak presiden untuk membuka pintu istana.

Jika Indonesia meniru kisah sukses Jio, langkah Surge di frekuensi 1,4 GHz bisa jadi tonggak revolusi digital rakyat kecil: guru di pedalaman mengunduh bahan ajar tanpa buffering, siswa di lereng pegunungan ikut kelas daring tanpa menghadap langit, UMKM menjual produknya tanpa harus naik pohon mencari sinyal.

Tapi jika kebijakan ini berubah menjadi ladang rente yang dijaga oleh pagar restu politik, maka kita sedang membangun Digital Oligarchy versi lokal -- di mana koneksi rakyat diatur seperti distribusi sembako. Siapa yang dekat dengan gudang kekuasaan, dia yang cepat dapat sinyal.

Maka persoalannya bukan siapa yang menang tender, melainkan bagaimana transparansi dijaga. Jika benar jaringan murah ini menjangkau sekolah-sekolah terpencil tanpa markup dan tanpa markus, biarlah rakyat berterima kasih. Tapi bila nanti sinyal 1,4 GHz hanya kencang di kawasan elit sementara Merauke tetap buffering, kita tahu: yang lancar bukan internetnya, melainkan koneksinya antar-keluarga.

Karena itu, semoga ketika presiden berkata “WIFI untuk semua sekolah,” itu bukan slogan dari ruang kabinet ber-AC, melainkan langkah nyata yang membuat anak di pedalaman bisa belajar matematika tanpa menunggu sinyal sekuat doa ibunya.

Sebab kalau proyek ini gagal, rakyat tak butuh penjelasan soal spektrum atau pita frekuensi. Mereka hanya akan berbisik sinis, “Yang cepat bukan internetnya, tapi keluarganya.” Dan jika bisikan itu berubah jadi teriakan, bukan karena rakyat benci, tapi karena mereka muak melihat nirkabel yang terlalu banyak kabel politiknya.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

Pesawat Perintis Bawa BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:02

UPDATE

Eddy Soeparno Bicara Komitmen Prabowo Percepat Dekarbonisasi

Senin, 15 Desember 2025 | 16:13

Praperadilan Kakak Kandung Hary Tanoesoedibjo Dua Kali Ditolak Hakim

Senin, 15 Desember 2025 | 15:55

Miliarder Siapkan Hadiah Besar Atas Aksi Heroik Warga Muslim di Bondi Beach

Senin, 15 Desember 2025 | 15:48

DPR Tegaskan Perpol 10/2025 Tidak Bertentangan dengan Konstitusi

Senin, 15 Desember 2025 | 15:41

Ketaatan pada Rais Aam Fondasi Kesinambungan Khittah NU

Senin, 15 Desember 2025 | 15:39

Gubernur Sulut Dukung Penguatan Kapasitas SDM Bawaslu

Senin, 15 Desember 2025 | 15:29

Keselamatan Masyarakat Harus Jadi Prioritas Utama Selama Nataru

Senin, 15 Desember 2025 | 15:19

Pramono Terima Hasil Kongres Istimewa MKB Demi Majukan Betawi

Senin, 15 Desember 2025 | 15:12

KPK Geledah Rumah Dinas Plt Gubernur Riau SF Hariyanto

Senin, 15 Desember 2025 | 14:54

Command Center Diresmikan Percepat Digitalisasi dan Pengawasan Kopdes Merah Putih

Senin, 15 Desember 2025 | 14:43

Selengkapnya