DI BAWAH panji negara hukum, Indonesia sesungguhnya tengah dikuasai oleh 'negara kompromi'. Hukum yang seharusnya menjadi pranata rasional untuk menegakkan keadilan, justru telah berubah menjadi instrumen tawar-menawar kepentingan. Korupsi tidak lagi sekadar pelanggaran terhadap hukum, melainkan hasil dari hukum yang diciptakan untuk dikorupsi.
Dalam konteks itu, plea bargaining informal menjadi bentuk paling nyata dari kolonisasi moral hukum oleh kekuasaan dan uang. Ia tidak diatur dalam sistem hukum positif Indonesia, tetapi hidup subur dalam praktik keseharian aparat penegak hukum. Dalam ruang gelap di antara penyidikan dan persidangan, terjadi negosiasi yang menukar tuntutan dengan pengakuan, mengurangi hukuman dengan dalih pengembalian kerugian negara, dan mengatur hasil keadilan sesuai kepentingan oligarki hukum.
Padahal, sistem hukum Indonesia berdiri atas asas due process of law sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka (2) KUHAP yang menyatakan: “Setiap tindakan dalam penegakan hukum pidana harus berdasarkan undang-undang dan bertanggung jawab menurut hukum.”
Ketika aparat hukum bertindak di luar itu, maka setiap kompromi bukan sekadar penyimpangan prosedural, tetapi pengkhianatan konstitusional.
Antara Legitimasi Formal dan Patologi Sistemik
Dalam sistem
common law, plea bargaining diatur secara terbuka dan diawasi oleh pengadilan. Di Amerika Serikat, misalnya, mekanisme ini diakui sebagai sarana efisiensi dengan kontrol yudisial yang ketat. Namun di Indonesia, tidak ada norma yang mengatur hal serupa. KUHAP tidak mengenal konsep negosiasi tuntutan, karena prinsip yang dijunjung adalah “legalitas dan kepastian hukum”.
Namun, kenyataannya, praktik “penyelesaian informal” perkara pidana telah menjadi budaya tersembunyi di dalam pasar gelap kekuasaan. KUHAP dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a memang membuka ruang bagi jaksa untuk menghentikan penuntutan demi kepentingan hukum (seponeren), tetapi ruang diskresi itu dimanipulasi menjadi celah transaksi. Jaksa, penyidik, atau bahkan hakim memanfaatkan “ruang abu-abu” ini sebagai ladang kompromi ?" membungkus kepentingan dengan alasan kemanusiaan, efisiensi, atau pengakuan bersalah.
Praktik serupa juga terjadi dalam konteks Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal 4 UU Tipikor memberikan peluang pengurangan hukuman bagi pelaku yang mengembalikan kerugian negara. Ketentuan ini secara filosofis bertujuan mendorong pemulihan, tetapi dalam praktiknya menjadi legitimasi plea bargaining informal. Pengembalian sebagian dana korupsi dijadikan “tiket moral” untuk menawar hukuman lebih ringan ?" sebuah absurditas hukum yang melecehkan rasa keadilan rakyat.
Korupsi Sebagai Simbiosis StrukturalKorupsi di Indonesia bukan sekadar kejahatan administratif, melainkan simbiosis antara hukum, kekuasaan, dan ekonomi. Dalam sistem hukum yang lemah, aparat penegak hukum tidak menjadi penegak norma, tetapi mediator kepentingan.
Penelitian empiris menunjukkan, dalam banyak perkara korupsi, terjadi intervensi politik dan lobi informal antara terdakwa dan aparat penegak hukum. Banyak kasus besar ?" dari e-KTP, Papa Minta Saham, BTS hingga suap pajak ?"memperlihatkan bahwa vonis bukan semata hasil pembuktian, tetapi hasil kalkulasi politik dan ekonomi.
Fenomena
justice for sale ini dikenal luas di lingkungan peradilan dan diakui secara tidak resmi sebagai “keniscayaan” dalam dunia hukum Indonesia.
Mahkamah Agung dalam berbagai pernyataannya berkali-kali menegaskan pentingnya integritas hakim. Namun integritas tanpa sistem pengawasan independen hanyalah ilusi moral.
Komisi Yudisial yang semestinya menjadi pengontrol etik sering kali dibungkam dengan dalih independensi kekuasaan kehakiman (Pasal 24 UUD 1945). Maka terjadilah anomali: kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengawasan publik menjadi ruang ideal bagi kompromi.
KPK pun tak kalah gilanya. Sejak revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, independensi KPK mengalami erosi serius. Mekanisme penegakan hukum antikorupsi kini berisiko terkooptasi politik. Dalam iklim hukum seperti ini, plea bargaining informal bukan sekadar penyimpangan, tetapi strategi bertahan hidup dari sistem hukum yang telah kehilangan arah moral.
Hukum yang Koruptif: Paradoks Penegakan Anti-KorupsiDi atas kertas, hukum pidana korupsi Indonesia tampak ketat dan represif. Pasal 2 dan 3 UU Tipikor menetapkan ancaman pidana berat bagi setiap penyalahgunaan kekuasaan. Namun dalam praktiknya, hukum ini sering dipermainkan seperti senjata yang diarahkan tergantung siapa musuh politik hari itu.
Sistem hukum Indonesia menderita apa yang disebut “korupsi normatif” ?" ketika norma hukum sendiri menjadi instrumen legitimasi penyimpangan. Praktik plea bargaining informal menjadi manifestasi dari hal ini: sebuah korupsi yang dilakukan dengan jubah hukum.
Kelemahan struktural sistem hukum Indonesia terlihat dari:
1. Minimnya transparansi dalam diskresi jaksa dan penyidik. Tidak ada kewajiban publikasi atas keputusan penghentian perkara atau negosiasi pengembalian uang negara.
2. Tidak adanya mekanisme kontrol publik terhadap keputusan non-penuntutan.
3. Tidak adanya norma eksplisit yang mengkriminalkan negosiasi informal dalam proses hukum.
Sebagai akibatnya, keadilan berubah menjadi objek transaksi yang bisa dinegosiasikan. Hukum tidak lagi menegakkan keadilan, melainkan mengatur perimbangan antara kepentingan dan keuntungan. Inilah bentuk tertinggi dari hukum yang koruptif.
Keadilan yang Terjual: Negara Sebagai Korporasi Moral BusukNegara yang membiarkan praktik plea bargaining informal sesungguhnya sedang mengkomersialisasi keadilan. Negara berhenti menjadi penjaga moral dan berubah menjadi korporasi yang memperjualbelikan vonis.
Fenomena ini dapat dibaca melalui teori Critical Legal Studies: bahwa hukum di negara korup adalah cermin dari struktur ekonomi-politik yang menindas. Di dalamnya, aparat penegak hukum berperan sebagai kapitalis moral ?" mengubah penderitaan publik menjadi nilai tukar personal.
Korupsi uang publik hanyalah gejala; akar utamanya adalah korupsi keadilan.
Dalam banyak kasus, terdakwa korupsi kelas atas bisa bernegosiasi dengan cara:
Mengembalikan sebagian dana (sebagai “itikad baik”).
Mengaku bersalah lebih awal demi “mendukung efisiensi proses hukum.”
Menjadi
justice collaborator untuk menyelamatkan diri.
Namun rakyat kecil yang mencuri untuk bertahan hidup tidak mendapat hak yang sama. Itulah paradoks yang menyayat: hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas, dan lumpuh di tengah.
Perlawanan Kita: Retorika ReformasiPemberantasan korupsi tidak akan berhasil selama hukum dibiarkan menjadi negotiable commodity. Perlawanan terhadap korupsi harus dimulai dengan pembongkaran total budaya kompromi dalam penegakan hukum.
Langkah konstitusional yang mendesak meliputi:
1. Kriminalisasi negosiasi informal antar penegak hukum dan terdakwa.
Perlu penambahan pasal dalam UU Tipikor atau KUHP baru yang menegaskan bahwa setiap kompromi di luar mekanisme hukum formal adalah
obstruction of justice dengan ancaman pidana berat.
2. Kewajiban publikasi seluruh keputusan diskresi penegak hukum.
Setiap penghentian perkara, peringanan tuntutan, atau penundaan wajib diumumkan dengan alasan yuridis yang jelas dan dapat diuji publik.
3. Penguatan independensi KPK dan pengawasan horizontal (publik).
KPK harus dikembalikan sebagai lembaga independen konstitusional, bebas dari intervensi eksekutif.
4. Etika yudisial yang berkarakter publik.
Hakim, jaksa, dan penyidik harus diwajibkan menandatangani public integrity declaration yang terbuka bagi pemantauan masyarakat.
5. Rekonstruksi pendidikan hukum.
Fakultas hukum tidak boleh lagi hanya mencetak teknokrat pasal, tetapi harus menanamkan kesadaran moral bahwa hukum adalah alat perlawanan terhadap ketidakadilan, bukan alat tawar-menawar kekuasaan.
Tanpa perubahan struktural dan moral, hukum akan tetap menjadi aktor utama dalam skandal korupsi yang tiada akhir.
Hukum yang Harus Mengadili Dirinya SendiriPlea bargaining informal bukanlah sekadar penyimpangan praktik hukum, melainkan refleksi bahwa hukum Indonesia sedang sakit secara struktural dan moral. Ia menunjukkan bahwa hukum tidak lagi tunduk pada keadilan, tetapi pada kekuasaan dan uang.
Dan. Hukum yang koruptif tak mungkin menyelesaikan korupsi, karena ia sendiri adalah bagian dari kejahatan yang ingin ia hukum.
Selama keadilan dapat dinegosiasikan, maka hukum hanyalah topeng bagi kejahatan yang dilegalkan. Maka tugas sejarah kita bukan hanya menghukum para koruptor, tetapi mengadili hukum yang telah mengkhianati keadilan.
Keadilan tidak lahir dari kompromi, melainkan dari keberanian.
Dan hukum yang berani adalah hukum yang bersedia menghukum dirinya sendiri.
Founder RECHT Research and Education Center for Humanitarian Transparency Law